ujungkelingking - Dalam keseharian, di semua tempat umum seperti bus, ruang pertemuan, resto, koridor gedung dan lainnya, terdengar dering ringtones handphone silih berganti, si penerima pun kadang kala berteriak-teriak seolah tidak ada orang disampingnya.
Perasaan tidak nyaman disebabkan oleh dering hp dan isi percakapan telepon semacam ini dapat mengganggu kehidupan dan memutus konsentrasi orang lain. Pengalaman saya berwisata untuk kali pertama ke Jepang telah membuat saya belajar “peradaban hp” di dalam kehidupan masyarakatnya.
Begitu pesawat yang ditumpangi grup wisata mendarat di Bandara Haneda, Tokyo, Jepang, secara refleks saya membuka handphone hendak mewartakan keselamatan kepada keluarga, tetapi saya segera menyadari keteledoran saya yang belum mengurus koneksi jarak jauh internasional, sehingga tentu saja hp saya tak dapat dipakai. Maka, saya matikan saja hp itu dan benar-benar menikmati sebuah perjalanan tamasya yang bebas gangguan.
Para wisatawan yang serombongan dengan saya pun kebanyakan telah mematikan handphone mereka. Namun yang membuat saya heran ialah di sepanjang jalan, baik pada saat saya menumpang KA bawah tanah, berkunjung, berwisata, belanja, makan di resto dan berbagai kegiatan lainnya, di luar dugaan sama sekali tak terdengar dering hp sedikit pun dan tidak nampak seorang pun yang menerima telepon dengan suara keras, benar-benar bebas dari segala “gangguan” hp seperti yang sering dijumpai di Tiongkok, maupun negara Asia lainnya.
Selama dalam perjalanan wisata, kami telah menyewa sopir lokal di berbagai kota yang menjadi tujuan kami. Suatu kali, sebelum kami turun dari kendaraan, sopir bertanya kepada Fumiko, tour guide kami, apakah diperbolehkan mencatat nomor hp-nya. Fumiko dengan senang hati menyanggupi. Setelah sopir membacakan nomor hp-nya, maka Fumiko mengirim kartu bisnisnya. Dengan segera, si sopir mengacungkan hp-nya yang bergetar dan berkata: “Telah terima”.
Tak tahan lagi saya merasa tertarik dan setelah turun dari kendaraan, saya langsung bertanya kepada Fumiko: “Kenapa kalian semua menyukai penggunaan cara getar, apakah terdapat aturan khusus? Selain itu saya selama di Jepang tak pernah mendengar dering ringtpnes hp, apakah semua orang Jepang seperti itu?” Fumiko tertawa dan berkata: “Tidak ada aturan apa-apa, ini hanyalah kebiasaan kami orang Jepang saja, dengan demikian jadi tidak mengganggu orang lain,” Jawabnya dengan nada suara datar sekenanya, seolah tak ada yang patut diherankan. Namun saya yang mendengarnya justru terheran-heran, ternyata masih ada suatu peradaban masyarakat yang terlebih dahulu memikirkan orang lain seperti ini. Tak urung saya pun mengagumi Fumiko, si sopir, dan semua orang Jepang yang mengamalkan tindakan itu dari lubuk hati dan menaruh respek terhadap kehidupan yang lebih beradab.
Dan dalam perjalanan selanjutnya, saya pun tak henti-hentinya mengamati lagi “peradaban hp” orang-orang Jepang tersebut.
Suatu kali ketika saya akan berbelanja, menaiki KA bawah tanah, begitu naik kereta lantas menemukan di sebelah atas kursi khusus bagi kaum tua-renta, pasien dan wanita hamil, tertempel stiker mencolok berisi warning bagi penumpang yang berdiri di deretan bangku khusus tersebut agar mematikan hp mereka. Saya sungguh tidak mengerti, kenapa harus mematikan hp di sebelah bangku khusus itu? Fumiko menjelaskan: “Ini adalah demi menghindari dampak radiasi hp terhadap kaum tua-renta dan penderita penyakit jantung dengan alat bypass jantung.” Di sepanjang perjalanan itu, juga tak sedikit orang sedang menundukkan kepala menekan-nekan tombol hp mereka saat mengirim sms. Di tempat-tempat umum, orang Jepang kebanyakan mengatur hp mereka pada posisi getar untuk menghindari bunyi dering dan memilih cara sms untuk saling bertukar berita demi mempertahankan ketenangan di tempat umum.
Dalam sebuah perjalanan lainnya, seorang peserta mual dan muntah lantaran belum terbiasa dengan suasana disana, maka saya mengikutinya periksa ke sebuah RS di dekat penginapan sesuai pengarahan dari Fumiko. Begitu memasuki RS, dapat dijumpai tanda pelarangan penggunaan telpon di dalam ruangan. Sekali lagi daya menanyai Fumiko dengan penasaran, kemudian bertanya pula dengan juru rawat, saya baru mengerti bahwa ternyata RS membatasi penggunaan hp, karena mengkhawatirkan dampak suara gaduh yang ditimbulakan hp, terhadap pasien yang sedang beristirahat, menghindari masuknya suara gaduh ke stetoskop, sekaligus demi menghindari gangguan gelombang terhadap peralatan medis. Jika memang harus menerima telpon, maka dapat dilakukan di dalam “sel telpon” yang khusus disediakan oleh pihak RS, namun tetap tidak diperkenankan berbicara terlalu keras dan terlalu lama.
Sekali berwisata ke Jepang, gangguan dering ringtones hp terhadap telinga seolah lenyap dan membuat saya dapat merasakan dengan tenang “peradaban hp” orang Jepang, yang menurut saya sungguh patut untuk ditiru oleh bangsa lain. Seandainya saja orang-orang juga bisa berperilaku bagaikan orang-orang Jepang itu, menggunakan hp dengan bunyi seminimum mungkin, dan menyebarluaskan pengaruh peradaban mulia seperti ini ke dalam kehidupan bermasyarakat, maka kehidupan kita akan terasa begitu indah menawan.
Semoga saja hari tersebut sudah tidak lama lagi.
(Ditulis oleh Jing Yi dari The Epoch Times)
Perasaan tidak nyaman disebabkan oleh dering hp dan isi percakapan telepon semacam ini dapat mengganggu kehidupan dan memutus konsentrasi orang lain. Pengalaman saya berwisata untuk kali pertama ke Jepang telah membuat saya belajar “peradaban hp” di dalam kehidupan masyarakatnya.
Begitu pesawat yang ditumpangi grup wisata mendarat di Bandara Haneda, Tokyo, Jepang, secara refleks saya membuka handphone hendak mewartakan keselamatan kepada keluarga, tetapi saya segera menyadari keteledoran saya yang belum mengurus koneksi jarak jauh internasional, sehingga tentu saja hp saya tak dapat dipakai. Maka, saya matikan saja hp itu dan benar-benar menikmati sebuah perjalanan tamasya yang bebas gangguan.
Para wisatawan yang serombongan dengan saya pun kebanyakan telah mematikan handphone mereka. Namun yang membuat saya heran ialah di sepanjang jalan, baik pada saat saya menumpang KA bawah tanah, berkunjung, berwisata, belanja, makan di resto dan berbagai kegiatan lainnya, di luar dugaan sama sekali tak terdengar dering hp sedikit pun dan tidak nampak seorang pun yang menerima telepon dengan suara keras, benar-benar bebas dari segala “gangguan” hp seperti yang sering dijumpai di Tiongkok, maupun negara Asia lainnya.
Selama dalam perjalanan wisata, kami telah menyewa sopir lokal di berbagai kota yang menjadi tujuan kami. Suatu kali, sebelum kami turun dari kendaraan, sopir bertanya kepada Fumiko, tour guide kami, apakah diperbolehkan mencatat nomor hp-nya. Fumiko dengan senang hati menyanggupi. Setelah sopir membacakan nomor hp-nya, maka Fumiko mengirim kartu bisnisnya. Dengan segera, si sopir mengacungkan hp-nya yang bergetar dan berkata: “Telah terima”.
Tak tahan lagi saya merasa tertarik dan setelah turun dari kendaraan, saya langsung bertanya kepada Fumiko: “Kenapa kalian semua menyukai penggunaan cara getar, apakah terdapat aturan khusus? Selain itu saya selama di Jepang tak pernah mendengar dering ringtpnes hp, apakah semua orang Jepang seperti itu?” Fumiko tertawa dan berkata: “Tidak ada aturan apa-apa, ini hanyalah kebiasaan kami orang Jepang saja, dengan demikian jadi tidak mengganggu orang lain,” Jawabnya dengan nada suara datar sekenanya, seolah tak ada yang patut diherankan. Namun saya yang mendengarnya justru terheran-heran, ternyata masih ada suatu peradaban masyarakat yang terlebih dahulu memikirkan orang lain seperti ini. Tak urung saya pun mengagumi Fumiko, si sopir, dan semua orang Jepang yang mengamalkan tindakan itu dari lubuk hati dan menaruh respek terhadap kehidupan yang lebih beradab.
Dan dalam perjalanan selanjutnya, saya pun tak henti-hentinya mengamati lagi “peradaban hp” orang-orang Jepang tersebut.
Suatu kali ketika saya akan berbelanja, menaiki KA bawah tanah, begitu naik kereta lantas menemukan di sebelah atas kursi khusus bagi kaum tua-renta, pasien dan wanita hamil, tertempel stiker mencolok berisi warning bagi penumpang yang berdiri di deretan bangku khusus tersebut agar mematikan hp mereka. Saya sungguh tidak mengerti, kenapa harus mematikan hp di sebelah bangku khusus itu? Fumiko menjelaskan: “Ini adalah demi menghindari dampak radiasi hp terhadap kaum tua-renta dan penderita penyakit jantung dengan alat bypass jantung.” Di sepanjang perjalanan itu, juga tak sedikit orang sedang menundukkan kepala menekan-nekan tombol hp mereka saat mengirim sms. Di tempat-tempat umum, orang Jepang kebanyakan mengatur hp mereka pada posisi getar untuk menghindari bunyi dering dan memilih cara sms untuk saling bertukar berita demi mempertahankan ketenangan di tempat umum.
Dalam sebuah perjalanan lainnya, seorang peserta mual dan muntah lantaran belum terbiasa dengan suasana disana, maka saya mengikutinya periksa ke sebuah RS di dekat penginapan sesuai pengarahan dari Fumiko. Begitu memasuki RS, dapat dijumpai tanda pelarangan penggunaan telpon di dalam ruangan. Sekali lagi daya menanyai Fumiko dengan penasaran, kemudian bertanya pula dengan juru rawat, saya baru mengerti bahwa ternyata RS membatasi penggunaan hp, karena mengkhawatirkan dampak suara gaduh yang ditimbulakan hp, terhadap pasien yang sedang beristirahat, menghindari masuknya suara gaduh ke stetoskop, sekaligus demi menghindari gangguan gelombang terhadap peralatan medis. Jika memang harus menerima telpon, maka dapat dilakukan di dalam “sel telpon” yang khusus disediakan oleh pihak RS, namun tetap tidak diperkenankan berbicara terlalu keras dan terlalu lama.
Sekali berwisata ke Jepang, gangguan dering ringtones hp terhadap telinga seolah lenyap dan membuat saya dapat merasakan dengan tenang “peradaban hp” orang Jepang, yang menurut saya sungguh patut untuk ditiru oleh bangsa lain. Seandainya saja orang-orang juga bisa berperilaku bagaikan orang-orang Jepang itu, menggunakan hp dengan bunyi seminimum mungkin, dan menyebarluaskan pengaruh peradaban mulia seperti ini ke dalam kehidupan bermasyarakat, maka kehidupan kita akan terasa begitu indah menawan.
Semoga saja hari tersebut sudah tidak lama lagi.
(Ditulis oleh Jing Yi dari The Epoch Times)
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, February 23, 2011
0 comments:
Post a Comment
Komentar Anda tidak dimoderasi.
Namun, Admin berhak menghapus komentar yang dianggap tidak etis.