Thursday, February 24, 2011

Syukuri apa yang ada… Hidup adalah anugerah…”
(Jangan Menyerah, by: D’Masiv)

ujungkelingking - Beberapa waktu yang lalu, pada sebuah tayangan di salah satu stasiun televisi, seorang host bertanya kepada bintang tamunya –yang kebetulan- adalah band penyanyi lagu di atas. Pertanyaan simpel, tapi juga menggelitik: “Kalau dikatakan jangan menyerah, kenapa pada lirik lagu tersebut ada kalimat syukuri apa yang ada? Bukankah dengan kita mensyukuri apa yang ada berarti sudah tidak diperlukan lagi yel-yel jangan menyerah?”

Pertanyaan itu tak urung membuat saya berpikir. Sebab selama ini bila kita ditanya perbedaan secara etimologi dari kata “menyerah” dan “bersyukur”, kita kerap kali kebingungan. Lalu jawaban yang kemudian terlontar adalah, kalau “menyerah” itu ya, menyerah. “Bersyukur” ya, bersyukur. Itu, baru secara bahasa saja. Bagaimana dengan kenyataannya pada kehidupan sehari-hari kita?

Satu misal, seorang pegawai rendahan dengan upah pas-pasan. Lalu datang seseorang dan bertanya, kenapa tidak mencoba usaha atau pekerjaan lain? Maka pegawai itu menjawab bahwa dia bersyukur dengan keadaannya yang seperti itu.

Menurut anda, pegawai dalam contoh di atas sebenarnya masuk kategori yang mana? Dia bersyukur, atau dia justru menyerah pada keadaan?

Untuk menjawabnya, tentu saja kita harus mundur selangkah untuk mendefinisikannya. Akan banyak variasi jawaban nantinya. Tetapi secara garis besar bisa kita artikan bahwa “menyerah” adalah hasil akhir dari sikap putus-asa. Menyerah berarti berhenti, buntu, atau titik. Sedangkan “syukur” berarti (masih) koma. Syukur, bukan berarti selesai. Kita akan mengatakannya seperti ini: “Saya bersyukur dengan keadaan yang sekarang ini, tapi…”

Anda lihat, ada tambahan kata “tapi” disitu, yang menyiratkan masih ada satu hal lagi untuk dilakukan.

Yup, keep fight!

Agama, mengajarkan kepada kita untuk tidak berputus-asa dalam hal kebaikan. Karena hal-hal baik menanti orang yang pantang putus-asa.

Kehidupan sosial, memberitahu kita bahwa orang-orang besar adalah orang-orang yang pada masa lalunya pernah terpuruk, tapi definisi “menyerah” tidak pernah ada dalam dirinya.

Hamka pernah menulis begini: “Takut gagal adalah gagal sejati. Takut mati adalah sebelum mati. Hidup itu ialah gerak. Dan gerak itu adalah maju, berjuang dan naik. Jatuh, dan naik lagi.”
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, February 24, 2011
Categories:

0 comments:

Post a Comment

Komentar Anda tidak dimoderasi.
Namun, Admin berhak menghapus komentar yang dianggap tidak etis.

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!