Friday, April 13, 2012

ujungkelingking - Kita pasti pernah mendengar sebuah ungkapan, "katakan yang benar, walaupun itu pahit". Kalimat ini tak salah, namun agaknya perlu diresapi maknanya agar kita tak salah dalam penerapannya.

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah khutbah Jum'at yang tidak saya hadiri*. Dari komentar dan cerita teman-teman, saya menarik kesimpulan bahwa sang Khotib pada waktu itu hendak mengamalkan kalimat di atas. Sayangnya dengan cara -yang saya anggap- salah.

*artinya saya sholat Jum'at di tempat lain!

Bagaimana tidak, beliau berceramah dengan mengangkat tema tentang hal-hal yang dilakukan oleh sebagian saudara kita yang lain, yang kebetulan dalam beberapa hal “berseberangan” dengan sang Khotib. Beliau mengatakan (baca: memvonis) bahwa amalan A itu haram! Ritual B itu bid'ah! Cara ibadah model C itu sesat! Dan sebagainya. Saya tidak akan mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Khotib itu benar atau salah, karena bukan itu tujuan tulisan ini, akan tetapi yang saya sasar disini adalah frase terakhir dari kalimat tersebut di atas.

Mengatakan hal yang benar, walaupun itu pahit hendaknya dipahami bahwa resiko "kepahitan" itu akan jatuh pada diri kita. "Kepahitan" tersebut jangan sampai menimpa atau ditujukan kepada orang yang kita nasehati. Alih-alih menerima kebenaran, justru ketersinggungan yang akan didapatkan orang tersebut.

Satu contoh sederhana. Suatu ketika, secara tak sengaja Anda menabrak atau menggores cat motor teman Anda yang tengah terparkir. Untungnya, teman Anda tidak tahu. Apa yang akan Anda lakukan?

Karena Anda adalah orang yang bertanggung jawab, tentunya Anda akan berkata dengan jujur bahwa Andalah yang melakukan semua itu. Anda mengatakan hal yang sebenarnya, padahal Anda tahu resiko yang bakal Anda terima. Mungkin teman Anda itu bakal memaki-maki Anda di depan orang banyak, atau mungkin dia akan meminta ganti rugi, atau dia akan memutuskan pertemanan dengan Anda. Dan segala "kepahitan" itu Anda siap menerimanya. Inilah yang dimaksud dengan mengatakan yang benar, walaupun pahit.

Berbeda dengan ketika misalnya seorang atasan memaki-maki karyawannya karena kesalahannya yang sepele. Atasan tersebut mungkin benar dengan mencemooh karyawan tersebut sebagai orang yang bodoh, goblok, pandir, dan atau yang lebih sadis lagi, akan tetapi "kepahitan" kali ini bukan berada pada si atasan, melainkan diterima oleh karyawan tersebut.

Bagaimana bisa kebenaran diterima bila yang ditonjolkan adalah ketersinggungan?

Adduhh!
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, April 13, 2012
Categories:

0 comments:

Post a Comment

Komentar Anda tidak dimoderasi.
Namun, Admin berhak menghapus komentar yang dianggap tidak etis.

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!