Tuesday, December 10, 2013

ujungkelingking - Setelah kemarin membaca postingan mas Wong Crewchild tentang Semeru dan postingan mbak Khusna tentang ikan Gabus, saya jadi teringat kenangan saya ketika dulu mendaki ke puncak Hargo Dumilah, Lawu.

Namun kalau sudah ngomongin soal gunung, tidak afdol rasanya kalau saya tidak menceritakan tentang ustadz saya yang satu ini. Ust. Wildan, namanya. Beliau termasuk orang yang -bisa dibilang- unik alias eksentrik. Salah satu contoh ke-eksentrik-an beliau adalah tentang hobi. Kalau para ustadz yang lain hobinya seputar main bola, bulutangkis atau bersepeda, beliau memiliki hobi yang cukup berbeda, yaitu mendaki gunung dan berburu.

Keakurasian tembakan beliau tidak perlu ditanyakan lagi. Pernah, beliau membidik sebuah cangkir kecil yang diletakkan di atas genteng pada bangunan berlantai dua. Sekali tembak, jatuhlah cangkir itu, entah kemana. Ya, mungkin bagi pemburu profesional hal-hal semacam ini sudah menjadi makanan sehari-hari. Namun bagi kami yang pegang senapan aja baru kali itu, tentu sangat mengagumkan.

Pada suatu kesempatan yang lain, beliau pernah memanggil saya selaku ketua di kelas, menyuruh saya agar mengajak anak-anak makan bersama. Rupanya beliau baru saja mendapatkan beberapa ikan gabus. Beberapa ikan gabus itupun kemudian diserahkan kepada saya untuk dimasak bersama-sama. Dan setelah saya coba mengamati ikan-ikan itu, saya baru menyadari kalau bidikan yang mengenai ikan-ikan itu berada di posisi yang persis sama. H-hee, niat banget.

Hal lain tentang Ust. Wildan ini adalah beliau tidak pernah mau difoto, baik itu dalam acara formal ataupun tidak. Saya jadi ingat tokoh utama dalam film God of Gambler, h-hiii. Bahkan saya menduga foto beliau yang ada di buku biodata para asatidz adalah satu-satunya foto beliau di dunia ini. Atau jangan-jangan di buku itu foto beliau juga tidak ada?

Pernah, salah seorang teman saya berhasil memotret beliau pada sebuah kesempatan. Mengetahui itu, beliau segera mengejar teman saya tersebut sampai dapat. Lalu mengeluarkan negatif-nya dari kamera. Hanguslah foto itu. :'( 

Nah, kembali ke ide awal artikel ini. Setelah membaca artikel mas Wong Crewchild tersebut, saya kemudian mencoba mencari-cari buku diary saya yang sudah terkubur sejak zaman pra-sejarah. Di dalam buku itu saya sempat menuliskan beberapa detil tentang perjalanan kami ke puncak Lawu. Namun detil-detil yang lain sudah kabur dimakan waktu.

Alkisah pun bermula...

***

Sabtu, 29 Juni 2002. Kami berangkat dari pesantren. Kami semua satu kelas (ada sekitar 30-an personil, 4 orang teman kami memutuskan tidak ikut karena beberapa hal).

Pendakian ini memang dalam rangka perpisahan kelas. Kami naik dari kelas 5 (setara kelas XI) ke kelas 6. Ust. Wildan memang selalu menjadi provokator dalam setiap pendakian kami. Beliau selalu mengiming-imingi kami tentang sebuah kepuasan di dalam pendakian, keindahan alamnya, dsb. Saya ingat beliau pernah mengatakan di kelas pada tahun pertama kami di pesantren, "Kalau kalian tidak berani mendaki, betina kalian". H-hee, sangar ya? Tapi dari situlah kami mulai termotivasi untuk melakukan hal-hal semacam ini. Bahkan pernah juga, saya ke Penanggungan sendirian, tanpa seorang teman.

Ada lagi kalimat beliau yang masih saya ingat, "Lebih baik meminta tapi tidak diberi daripada memberi tapi tidak diterima". Tapi yang ini sih ndak ada hubungannya sama cerita saya.

Nah, karena Ust. Wildan yang mem-provokasi kami, jadilah beliau dilibatkan dalam pendakian kali ini. Namun nanti, ada hal yang dilakukan oleh beliau yang bikin kami semua #tepokjidat.

Pukul 11.50 kami naik kereta api dari Bangil menuju Madiun. Perjalanan memakan waktu sekitar empat jam. Sesampainya di sana, karena hari sudah hampir malam, kami menuju desa Plaosan. Rupanya di desa ini sebuah panti asuhan yang kenal dengan Ust. Wildan. Di sanalah kami bermalam (dan numpang makan).

Pagi-pagi sekali Ust. Wildan menyuruh dua orang teman saya untuk menemani beliau. Dipikir kemana, ternyata ke pinggir jalan raya. Begitu ada angkutan umum yang lewat, beliau stop. Beliau langsung naik sambil bilang, "Sudah ya, saya balik dulu". Dong! Bengonglah teman saya. Piye iki jal, diajak ke Lawu, begitu sampai malah balik pulang. Ndak tanggung jawab ini mah.

Namun bukan kami namanya kalau surut mundur. Berbekal kekompakan, kami tetap berangkat menuju gerbang masuk pendakian. Namun ternyata jalan yang kami lewati cukup jauh juga. Beberapa teman yang berpikir cepat langsung nggandol pick up yang kebetulan lewat. Sementara sebagian yang lain -termasuk saya- akhirnya terpaksa urunan buat nebeng mobil. Perjalanan ke atas sekitar 15 atau 20 menit hingga kami tiba di pintu gerbang pendakian. Saya ingat di sana ada sebuah jembatan yang merupakan perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jadi bila kita menyeberang ke sana kita sudah berada di Jawa Tengah.

Setelah seluruh personil berkumpul, kami pun memulai pendakian. Rute yang kami pilih adalah melalui jalur Cemorosewu. Bila tidak familiar dengan nama ini, rekan-rekan mungkin lebih kenal nama Telaga Sarangan. Katanya sih, lewat jalur Cemorosewu ini lebih susah, namun bisa sampai ke puncak lebih cepat.

Dari jalur ini kami harus melewati 5 pos. Sungguh sebuah perjalanan panjang yang amat-sangat menguras tenaga. Kami sampai harus berhemat air minum. Sehingga untuk minum seseorang hanya dijatah satu tutup botol air mineral. Menyedihkan, hiks...

Namun semua kelelahan itu terbayar sudah ketika kami sampai di puncaknya yang tertinggi. Di bawah kami adalah kumpulan awan yang menyerupai gumpalan kapas. Sejauh mata memandang, kami bisa melihat puncak-puncak dari gunung-gunung lain. Kami sempat berpose pada sebuah tugu di sana.

Kami pun turun dan memulai perjalanan pulang.

Kami sampai di pesantren pada tanggal 2 Juli 2002. Berarti semuanya memakan waktu 4 hari. Dan jangan membayangkan bagaimana keadaan kami yang tidak mandi dan tidak ganti celana dalam selama itu.

#Ngethel, bos.

Akhirnya, nemu juga satu poto.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, December 10, 2013
Categories:

31 comments:

  1. Maaf, pertamax-nya tak amankan dulu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maaf lagi, tidak ada dokumentasi, krn dulu masih pake kamera analog.

      Delete
    2. Maaf lagi, belum sempat baca semu :'(

      Delete
    3. Eh, korek2 di fb-nya temen2 kok nemu foto itu... ambil aja lah...

      Delete
  2. Wehh keren nih Ust. Wildan :D... Pasti gaul ya orangnya pak, terus pas nyampe pesantren beliau bilang apa pak???? #penasaran

    ReplyDelete
  3. 1. Ustaz Wildan keren luar biasa, saya acung jempol buat keeksentrikan beliau...jarang banget ada ustaz seperti itu.

    2. Kalau tahun 2002 Pak Pri kelas XI, artinya kita sebaya Pak..
    (hehe, memang ngefek apa ya Pak? saya kepedean)

    3. Semenjak kenal dunia blogging, saya sudah 3 kali membaca serunya naik Hargodumilah...salah duanya yaitu Pak Pri dan Pak Zach

    4. Saya pernah ke Telaga Sarangan 2 kali, namun saya tak pernah menikmati indahnya mendaki dan berjalan kaki sejauh itu..hiks, mesakake

    ReplyDelete
    Replies
    1. pak ustadznya gondrong apa tidak ?
      wah ternyata kita tidak sebaya ya, jaman 2002 saya masih SD wooooy

      Delete
    2. @mbak Khusna, kan sdh pernah saya bilang kita sebayaan... kl soal mendaki dan jln jauh mending enggak deh... nanti lecet loh...

      @Ustdnya gak gondrong, malah irit rambutnya ^_^
      Eh, 2002 itu yg setelahnya 2001 kan ya?

      Delete
    3. Pak Agus kok gitu sih...padahal kemarin bilang usia beliau 28 loh...cuma selisih 1 tahun weeekkk haha, kebobgkar deh

      Delete
    4. setahun lebih setengah abad...

      Delete
    5. hahahaha....kok sewot sih kalau saya lebih muda...

      Delete
  4. ikan gabus lagi, emang ikan gabus itu jadi primadona sih...
    eh dari bangil itu naik logawa ya mas ?dan tiketnya masih murah sepertinya.
    saya salut dengan rekan dan tim mas pri yang pantang surut dalam menghadapi sesuatu yang belum jelas keselamtannya.
    dan mereka semua lulus.
    mas pri sekarang jadi ustadz kan? menggantikan ban kapten ustadz wildan

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah pinter nahwu sorof iki rek...

      Delete
    2. KA-nya lupa, mas. Cuma yg saya inget waktu pulangnya kereta over gerbong. Dia narik 10 gerbong. Alhasil, tiap 15 menit berhenti, mogok.

      Delete
    3. Kebetulan Ust. Wildan itu ngajar Sharaf. Tp justru ini pelajaran yg saya paling gak ngerti... :'(

      Delete
  5. slogannya asyik lebih baik meminta tapi tidak diberi daripada memberi tapi tidak diterima...artinya itu bikin kepala muter2

    ReplyDelete
    Replies
    1. Artinya, mbak. Kl kita udh niat memberi tapi ditolak kan bikin dongkol. Ujung2nya kita gak mau punya niat memberi lagi. Dan ini jelek.

      Tp kl kita meminta tapi ndak dikasih, kita mungkin malu. Akhirnya kita tak pernah lagi meminta.

      Delete
  6. pasti indah banget ya pemandangan dari puncak :)

    itu kalimat terakhirnya hahaha... males kok ngebayanginnya juga :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. mendaki gunung itu capek, mbak. tapi nagihi... kita yg di atas awas, seolah-olah pengen tiduran di awan...

      Delete
  7. pak ustadnya nyentrik, bisaan ngerjain para santri, hihi
    nggak kebayang baunya 4 hari ngga mandi, haha (itu yg biasa saya alami kalo naik gunung)
    wah sudah nyampe hargo dumilah juga...belanja nggak di pasar setan :)
    banyak cerita mistisnya, ada kawan yg meninggal disini (cari wangsit)
    mendaki gunung meskipun melelahkan, sllu bikin ketagihan

    ReplyDelete
    Replies
    1. sempet ktmu beberapa org... mungkin mreka yg cari2 pesugihan gitu ya, mas?

      Delete
  8. wkwkwkwk.. itu ustadz sepertinya minta di ketaki ndas nya mas.. lawong sudah patuh mengikuti dia sebagai panutannya.. malah dengan santainya bilang mau pulang.. xixixixi....

    wah nggak madi dan terutama nggak ganti celana dalam nya nggak usah di bahas mas.. mambunya sampai sini nih.. wkwkwkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kl sdh kenal sm beliau, pasti gak bkl heran, kok... beliau smpe jd favorit di pesantren. anak2 sering di ajak berburu...

      *ah, masa' sih, mas. kn skg udh mandi?

      Delete
  9. wha.. Kesian wanita yang suka naik gunung gitu.. Trus disebutnya apa coba?..

    Hargo dumilah. Selalu meninggalkan kenangan tersendiri bagi siapa saja yang pernah menjejakan di sana. Puncak tertinggi sebagai mana manusia yang telah mencapai puncak kemanjsiaannya bisa memilah milah mana yang baik dan membawa manfaat di laksanalannya dan mana yang buruk dan membawa modhorot ditinggalkannya.

    ReplyDelete

Komentar Anda tidak dimoderasi.
Namun, Admin berhak menghapus komentar yang dianggap tidak etis.

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!