ujungkelingking - Hampir pada setiap tahun, seperti saat sekarang ini, terjadi "perselisihan" pada kalangan umat muslim di Indonesia dalam menentukan awal puasa dan awal hari raya. Biasanya, seperti yang sudah-sudah, kalau tidak berbeda dalam menetukan 1 Ramadhan, pasti kita akan berbeda dalam menetapkan 1 Syawal.
Adanya perbedaan tersebut muncul karena beberapa kalangan dari kaum muslimin yang memilih menggunakan pedomannya sendiri dan menolak mengikuti ketetapan pemerintah. Padahal mentaati pemerintah adalah kewajiban bagi seorang muslim, tentu saja hal ini dengan catatan selama ketetapan tersebut tidak menyelisihi syari'at.
Islam itu mudah, dan tidak menghendaki kesukaran
Islam itu mudah, dan tidak menghendaki kesukaran
"Apabila bulan telah masuk keduapuluh sembilan malam. Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tigapuluh hari."[Bukhari: 1907, Muslim: 1080]
Meskipun di jaman Rasulullah sudah ada ahli hisab, namun dalam penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal, keahlian mereka tidak dipakai. Seandainya ilmu hisab itu cukup penting peranannya, maka ketika hilal tidak terlihat, Rasulullah pastilah akan memerintahkan untuk bertanya kepada ahli hisab, dan bukan sekedar menggenapkan hitungan bulannya. Tapi, itulah, agama ini bukan hanya agama bagi orang-orang cerdas saja. Islam itu sederhana: jika hilal terlihat, maka besok sudah waktunya untuk mengawali puasa atau hari raya. Jika tidak terlihat, berarti awal puasa atau hari raya adalah keesokan harinya lagi (lusa).
Selesai.
"Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah (buta-huruf). Kami tidak mengenal tulis-menulis (pada waktu itu jarang yang bisa, pen.) dan tidak pula mengenal hisab (astronomi). Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30)."
[Bukhari: 1913, Muslim: 1080]
Mengikuti pemimpin, mempersatukan umat
Menarik mencermati hadits di atas. Setidaknya ada 2 hal yang bisa disimpulkan.
Pertama, satu orang saja saksi yang melihat hilal, itu sudah cukup. Artinya tidak perlu semua rakyat muslim Indonesia berbondong-bondong ke suatu tempat untuk memastikan penampakan hilal ini.
Kedua, ketika Rasulullah sudah mendapat kepastian tentang hilal ini, maka beliaulah -selaku pemimpin umat Islam memerintahkan untuk melaksanakannya. Maka ketika pemerintah (dalam hal ini menteri agama) sudah mendapat kepastian tentang hilal, maka kewajiban merekalah untuk menyampaikan kepada masyarakat dan menetapkan awal Ramadhan atau Syawal. Selanjutnya seluruh muslim di Indonesia tunduk pada ketetapan ini. Dan inilah yang lebih menghindari perselisihan.
Menggunakan pedoman sendiri, bolehkah?
Ketika seseorang atau sekelompok orang melihat hilal, namun kesaksian tersebut tidak dapat dipastikan oleh pemerintah, apakah boleh orang atau kelompok tersebut menggunakan pedomannya sendiri?
Dalam hal ini para ulama' terbagi dalam 3 pendapat.
Satu, orang atau kelompok tersebut boleh menggunakan pedomannya sendiri (yaitu berpuasa dan berhari raya berbeda dengan pemerintah) namun harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Hal ini adalah untuk mencegah perselisihan di kalangan umat Islam.
Dua, orang atau kelompok yang melihat hilal tersebut, boleh berpuasa sebagaimana hilal yang telah dilihatnya namun harus berhari raya mengikuti pemerintah (mayoritas kaum muslimin).
Tiga, orang atau kelompok tersebut tidak boleh mengamalkan pedomannya, dan ia berpuasa dan berhari raya bersama pemerintah dan mayoritas kaum muslimin.
Pendapat terakhir inilah yang saya anggap lebih kuat, sebagaimana disebutkan dalam ayat dan hadits berikut.
*Dirangkum dari beberapa sumber
"Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku (Ibnu Umar, pen.) beritahukan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa."
[Abu Daud: 2342, di shahih-kan oleh Al Albani]
Menarik mencermati hadits di atas. Setidaknya ada 2 hal yang bisa disimpulkan.
Pertama, satu orang saja saksi yang melihat hilal, itu sudah cukup. Artinya tidak perlu semua rakyat muslim Indonesia berbondong-bondong ke suatu tempat untuk memastikan penampakan hilal ini.
Kedua, ketika Rasulullah sudah mendapat kepastian tentang hilal ini, maka beliaulah -selaku pemimpin umat Islam memerintahkan untuk melaksanakannya. Maka ketika pemerintah (dalam hal ini menteri agama) sudah mendapat kepastian tentang hilal, maka kewajiban merekalah untuk menyampaikan kepada masyarakat dan menetapkan awal Ramadhan atau Syawal. Selanjutnya seluruh muslim di Indonesia tunduk pada ketetapan ini. Dan inilah yang lebih menghindari perselisihan.
Menggunakan pedoman sendiri, bolehkah?
Ketika seseorang atau sekelompok orang melihat hilal, namun kesaksian tersebut tidak dapat dipastikan oleh pemerintah, apakah boleh orang atau kelompok tersebut menggunakan pedomannya sendiri?
Dalam hal ini para ulama' terbagi dalam 3 pendapat.
Satu, orang atau kelompok tersebut boleh menggunakan pedomannya sendiri (yaitu berpuasa dan berhari raya berbeda dengan pemerintah) namun harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Hal ini adalah untuk mencegah perselisihan di kalangan umat Islam.
Dua, orang atau kelompok yang melihat hilal tersebut, boleh berpuasa sebagaimana hilal yang telah dilihatnya namun harus berhari raya mengikuti pemerintah (mayoritas kaum muslimin).
Tiga, orang atau kelompok tersebut tidak boleh mengamalkan pedomannya, dan ia berpuasa dan berhari raya bersama pemerintah dan mayoritas kaum muslimin.
Pendapat terakhir inilah yang saya anggap lebih kuat, sebagaimana disebutkan dalam ayat dan hadits berikut.
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian."
[An-Nisaa': 59]
"Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, id 'l-fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian ber id 'l-fithri, dan id 'l-adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian ber id 'l-adha."
[Tirmidzi: 697, beliau mengatakan hadits ini hasan ghorib. Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih]
*Dirangkum dari beberapa sumber
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, July 05, 2013
memang selalu emmbingungkan penetapan harinya.
ReplyDeletepilih yg mana hayo?
Deletesaya juga sependapat sesuai point terakhir....ikut pemerintah saja. apalagi saya bukan ahli hisab....
ReplyDeleteitu yg lebih selamat. kl pemerintah benar, kita ikut benar. tp kl pemerintah salah, kita terlepas dr dosa tsb.
DeleteKalau saya lebih percaya ke perhitungan ahli hisap dari berbagai sumber :), dengan begitu saya juga ikut belajar tentang astronomi
ReplyDeletesaya suka artikel2 yg mbahas ttg astronomi... keren2 emang... tp kl maslah spt ini, saya pikir lbh selamat kl mengikuti ketetapan pemerintah saja...
Deleteiya mas, setiap orang memang mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda, yang terpenting kita harus saling menghargai sudut pandang satu sama lain :)
Deletenah, yg terakhir ini yg paling utama,
Deleteikut pemerintah aja deh, biar ga ribet hehe...
ReplyDeletebenar kadang hal diatas bikin pusing dan bisa menimbulkan perpecahan bahkan dalam 1 keluarga, seperti pengalaman saya, kadang sedih juga dalam 1 kelaurga bisa berbeda hari raya...tapi yah mau bagaimana lagi, karena kadang susah juga meyakinkannnya...
mas maaf ya telat follownya
Itulah, kn enak kl bisa barengan... lbh semarak gitu...
DeleteIslam dengan keindahannya memang selalu memudahkan kita sebagai kaum muslimin,
ReplyDeleteIslam itu gampang, tp jgn menggampangkan... :)
Deletetapi agama di Indonesia telah berubah menjadi alat politisasi bagi para penguasa...jadi ummat menjadi bingung kemana sebenarnya harus bepanutan..karena masing2 pihak selalu mengatakan berpegang pada Al Quran dan Al Haditz....salam :-)
ReplyDeleteintinya adl, mau mengikuti yg mn terserah saja asal tau dalil dasar yg digunakan, jd tdk asal ikut dan mengatakan yg tdk sesuai dg kita adl sesat..
DeleteSalam, mas Har.
puasanya selasa/rabu ya?
ReplyDeletemau ngikut yg mana terserah asal tau dalilnya. itu penting.
Deleteyg jelas selasa/rabu masih ada dalilnya, kl senin atau kamis sdh pasti salah.. :D
oke makasih ya gan :)
ReplyDeleteSipp, sama2...
Deleteoke deh :)
Deleteada juga begitu ya? kalau di malaysia, kita ikut pemerintah..suka dengan artikel ini, thanks ya
ReplyDeletekl semuanya bersamaan, lebih semarak lah...
Deleteyg jelas, tidak ada yg layak disebut ulil amri setelah kejatuhan khilafah islamiyah, turki. syarat utama ulil amri adalah bersyariat, pemerintah menerapkan islam/syariat tidak parsial, segmental tapi menyeluruh, universal. lah di indonesia siapa ulil amrinya? yg jelas menghormati sesama muslim itu wajib, karena kita berbaik sangka, bahwa pak beye juga melaksanakan rukun islam
ReplyDeletekalimat terakhirnya g enak, mas, hehe...
Deletemenurut Abu Hurairah yg dimuat dlm Kitab Fathul Bari, ulil amri itu adl pemimpin/pemerintah, namun tdk ada pnjelasan pemimpin/pemerintah yg bagaimana.
ini tentu sejln dg hadits,
“Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti petunjuk bukan dengan petunjukku dan menjalankan sunnah namun bukan sunnahku. Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati laksana hati syaitan yang bersemayam di dalam raga manusia.” Maka Hudzaifah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau menjawab, “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.”
[Syarah Muslim: 6/480]
Selengkapnya bs dilihat di sini
http://ujungkelingking.blogspot.com/2011/04/memberontak-kepada-pemerintah-1.html