ujungkelingking - Pajak, secara globalnya dibagi menjadi 2 macam, yaitu pajak yang diambil secara adil dan memenuhi berbagai syaratnya; lalu pajak yang diambil secara dhalim dan melampaui batas.
Penetapan pajak karena keadaan darurat untuk memenuhi kebutuhan negara atau untuk mencegah kerugian yang menimpa - sedangkan perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya kebutuhan tersebut - maka dalam kondisi seperti itu ulama telah memfatwakan bolehnya menetapkan pajak atas orang-orang kaya.
Hal tersebut berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan li a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka memperoleh mashalat yang lebih besar).
Berarti, salah satu hak penguasa kaum muslimin adalah menetapkan berapa besaran beban berjihad-harta kepada setiap orang yang mampu. Imam an Nawawi dan ulama Syafi’iyah yang lain, mereka juga menguatkan pendapat bahwa kalangan kaya dari kaum muslimin berkewajiban membantu kaum muslimin dengan harta selain zakat.
Termasuk juga, pungutan untuk fasilitas umum yang bermanfaat bagi seluruh individu masyarakat, atau apabila dakwah kepada Allah dan penyampaian risalah-Nya membutuhkan dana, maka kewajiban pajak dapat diterapkan untuk memenuhi keperluan itu. Kewajiban tersebut hanya bisa terealisasi dengan penetapan pajak di luar kewajiban zakat. Oleh karena itu, kewajiban ini ditopang kaidah “maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib“ (sesuatu, yang sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu pun bersifat wajib).
Namun, ketetapan ini terikat dengan sejumlah syarat, yaitu:
Penetapan pajak karena keadaan darurat untuk memenuhi kebutuhan negara atau untuk mencegah kerugian yang menimpa - sedangkan perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya kebutuhan tersebut - maka dalam kondisi seperti itu ulama telah memfatwakan bolehnya menetapkan pajak atas orang-orang kaya.
Hal tersebut berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan li a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka memperoleh mashalat yang lebih besar).
Berarti, salah satu hak penguasa kaum muslimin adalah menetapkan berapa besaran beban berjihad-harta kepada setiap orang yang mampu. Imam an Nawawi dan ulama Syafi’iyah yang lain, mereka juga menguatkan pendapat bahwa kalangan kaya dari kaum muslimin berkewajiban membantu kaum muslimin dengan harta selain zakat.
Termasuk juga, pungutan untuk fasilitas umum yang bermanfaat bagi seluruh individu masyarakat, atau apabila dakwah kepada Allah dan penyampaian risalah-Nya membutuhkan dana, maka kewajiban pajak dapat diterapkan untuk memenuhi keperluan itu. Kewajiban tersebut hanya bisa terealisasi dengan penetapan pajak di luar kewajiban zakat. Oleh karena itu, kewajiban ini ditopang kaidah “maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib“ (sesuatu, yang sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu pun bersifat wajib).
Namun, ketetapan ini terikat dengan sejumlah syarat, yaitu:
- Bait al-maal mengalami kekosongan dan kebutuhan negara untuk menarik pajak memang sangat dibutuhkan sementara sumber pemasukan negara yang lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak ada.
- Pajak yang ditarik wajib dialokasikan untuk berbagai kepentingan umat dengan cara yang adil.
- Bermusyawarah dengan ahlu ar-ra’yi dan anggota syura dalam menentukan berbagai kebutuhan negara yang membutuhkan dana tunai dan batas maksimal sumber keuangan negara dalam memenuhi kebutuhan tersebut disertai pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian dana tersebut dengan cara yang sejalan dengan syari’at.
Pajak jenis ini, yang dibagikan secara adil dan dengan cara yang benar telah disebutkan oleh para ahli fikih empat madzhab, sebagaimana hal ini didukung oleh perbuatan ‘Umar bin al-Khathab radliallahu ‘anhu di masa kekhalifahannya, dimana beliau mewajibkan pajak sebesar 10% kepada para pedagang ahlu al-harb, sedangkan untuk pedagang ahlu adz-dzimmah sebesar 5%, dan 2,5% bagi pedagang kaum muslimin.
***
Sedangkan pajak jenis kedua yang diambil secara tidak wajar dan zhalim, maka hal itu adalah merupakan bentuk “penyitaan” yang diambil dari pemiliknya secara paksa. Hal ini menyelisihi prinsip umum syari’at Islam yang terkait dengan harta, yaitu hukum asal dalam permasalahan harta adalah haram diganggu, berpedoman pada dalil-dalil yang banyak, diantaranya adalah sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berdasarkan hal ini, maka berbagai hadits yang mencela para pemungut pajak dan mengaitkannya dengan siksa yang berat, kesemuanya didasarkan kepada makna pajak yang diberlakukan secara tidak wajar dan zhalim, yang diambil dan dialokasikan tanpa hak dan tanpa adanya pengarahan.
Berdasarkan hal ini, maka berbagai hadits yang mencela para pemungut pajak dan mengaitkannya dengan siksa yang berat, kesemuanya didasarkan kepada makna pajak yang diberlakukan secara tidak wajar dan zhalim, yang diambil dan dialokasikan tanpa hak dan tanpa adanya pengarahan.
Pemungut pajak adalah salah satu pendukung tindak kedlaliman, bahkan dia merupakan kedlaliman itu sendiri, karena dia mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memberikan kepada orang yang tidak berhak. (Adz-Dzahabi dalam Al-Kabair)
Inilah kondisi riil saat ini. Berbagai pajak tidak wajar diwajibkan oleh pemerintahan atas kaum fakir. Kemudian, pajak tersebut disetorkan kepada para pemimpin, penguasa dan kalangan elit, yang pada umumnya digunakan untuk memenuhi syahwat dan kesenangan mereka dan hal itu tertuang dalam berbagai protokol resmi kenegaraan ketika menerima tamu dari kalangan para raja dan pemimpin. Demikian pula pajak tersebut dialokasikan untuk mendanai berbagai pesta dan festival yang di dalamnya terdapat kemaksiatan dan minuman keras, mempertontonkan aurat, pertunjukan musik dan tari serta kegiatan batil lainnya yang jelas-jelas membutuhkan biaya yang mahal.
Sumber: muslim.or.id
Sumber: muslim.or.id
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, June 09, 2011
0 comments:
Post a Comment
Komentar Anda tidak dimoderasi.
Namun, Admin berhak menghapus komentar yang dianggap tidak etis.