Friday, January 11, 2013

ujungkelingking - Khutbah Jum'at siang ini menarik sekali. Dibuka dengan sebuah hadits yang menyatakan bahwa 'ucapan alhamdulillah itu memenuhi mizan'. Artinya adalah nilai (pahala) ucapan ini akan menjadikan berat timbangan amal kita.

'Alhamdulillah', biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai 'segala puji hanyalah milik Allah'. Namun, sebelum lebih jauh penjelasan tentang ini, kita perlu melihat bahwa kalimat ini diawali dengan huruf "al" ( ال ). Dalam bahasa Arab, ada 3 macam huruf "al";

Pertama, disebut dengan "al" ma'rifat. Di dalam bahasa Inggris maknanya sama dengan 'the', yaitu untuk membatasi atau menunjuk tertentu. Misalnya, "madrasatu" berarti "sekolahan". Jika ditambah "al" menjadi "al-madrasatu" maka maknanya adalah "sekolahan itu" atau "sekolahan tersebut". Kita lewati saja pembahasan tentang "al" yang pertama ini.

Kedua, "al" kaamilah (sempurna). Contohnya adalah pada kata "ar-rahman". Kata ini merupakan bentuk superlatif dari "rahima", sehingga dapat diartikan sebagai "paling penyayang". Namun dengan adanya tambahan "al", maka sifat "paling penyayang" yang dimiliki Allah adalah sempurna sekali. Bahasa Indonesia memadankannya dengan kata "maha". Sehingga kita mengartikannya "maha penyayang".
Karena itu, Anda yang sedang ber-status "maha"siswa tak sepantasnya -dan sungguh amat memalukan- bila apa yang Anda lakukan jauh dari nilai-nilai yang tercakup dalam nama tersebut. Yang saya maksudkan di sini adalah tentang tawuran, narkoba, atau pun pergaulan bebas. (Oke, ini sedikit menyimpang, namun bukan ini yang hendak kita bahas)

Ketiga -dan ini yang paling penting- disebut "al" nakirah (umum; semua; segala). Karena itu dalam lafadz alhamdulillah terpakai arti "segala" puji atau "semua" pujian hanyalah milik Allah subhanahu wa ta'alaa.

Contoh yang paling dekat dari penggunaan "al" ini adalah dalam kata "assalamu alaikum". Karenanya kita mengartikannya "segala keselamatan (selamat pagi, selamat siang, selamat malam, selamat dunia, selamat akhirat; semuanya) semoga tetap atasmu". Karena itu, kita yang diberi salam, wajib membalasnya dengan mencantumkan "al"-nya kembali. Jadi seharusnya kita menjawab bukan wa alaikum salam, akan tetapi wa alaikum as-salam atau wa alaikumussalam

Timbul satu pertanyaan, pada lafadz alhamdulillah memangnya ada berapa macam pujian sehingga kita harus mengartikannya "segala" atau "semua" pujian?

Dilihat dari "alur"nya, pujian itu ada 4 macam.

1. Pujian Allah terhadap dzat-Nya sendiri


سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ  الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambanya..." (Al-Israa: 1)

2. Pujian Allah kepada makhluk

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
"Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur." (Al-Qalam: 4)
Allah memuji akhlak Rasulullah. Meskipun Allah memuji makhluk, namun secara hakikat sebenarnya Allah memuji diri-Nya sendiri. Bukankah Dia sendiri yang menciptakan makhluk tersebut?

3. Pujian makhluk kepada Allah

4. Pujian makhluk kepada makhluk

Yang perlu digarisbawahi adalah pujian kita terhadap makhluk pada hakikatnya adalah pujian kita terhadap Allah. Pujian kita terhadap bunga yang cantik, alam yang indah, sosok yang berwibawa sebenarnya adalah pujian kita terhadap Allah, karena Allah-lah yang menciptakan dan menjadikannya seperti itu.

***

Nah, poin yang terakhir inilah yang menjadi inti dari tulisan ini. Dari poin ini kita bisa mengambil 2 kesimpulan:

  • Kesimpulan pertama, jika memuji makhluk adalah sama dengan memuji Allah, maka ketika seseorang sedang memuji kita, maka hakikatnya dia sedang memuji Allah.

"Wah, gila! Anda hebat, analisis Anda akurat sekali, Bung!"
"Ulasan Anda sungguh bernas dan tajam!"

Dia sedang memuji Anda? Jangan dulu ge-er, dia secara hakikat sedang memuji Allah, pencipta kita.
Ada satu pertanyaan, jika seandainya Allah membuka aib kita di hadapan semua makhluk, apakah akan ada yang memuji kita? Tidak, tidak akan ada!

Karena itu bisa dikatakan bahwa ketika seseorang memuji kita, maka itu sebenarnya dia sedang memuji "tutup" yang Allah berikan atas aib-aib kita.

Kalau saya tidak salah ingat, Imam Ibnu Taimiyyah pernah menangis ketika ada seseorang memuji beliau. Beliau mengatakan, "Jangan kalian memuji saya, sebab seandainya kalian tahu aib-aib saya niscaya kalian akan melemparkan pasir ke wajah saya".


  • Kesimpulan kedua, jika memuji makhluk adalah sama dengan memuji Allah, maka menghina makhluk hakikatnya adalah kita sedang menghina Allah.

Seorang Emha Ainun Najib pernah menganalogikan begini, seseorang melihat sebuah lukisan dan dia tidak senang dengan lukisan tersebut. Lalu ia pun mencoret-coret lukisan tersebut. Lukisan tersebut pasti tidak akan membalas dan hanya diam. Lalu siapa yang marah?

Ya, sang pemilik lukisan!

Sama ketika kita menghina seseorang. Sering bukan ketika sedang terjebak macet di jalan raya, kita memaki-maki orang yang di depan kita yang tak juga kunjung bergerak? Lalu kita tekan klakson berkali-kali sambil bergumam sendiri, "Dasar goblok!". Orang tersebut mungkin tidak mendengarnya, sehingga dia diam dan tidak membalas apa-apa. Sadarkah Anda, Anda sedang membuat 'pemilik orang tersebut' marah! Bisa saja Allah langsung menumpahkan kemarahannya kepada Anda. Bukankah, menghina dan mencaci orang lain adalah cara termudah untuk mencelakakan diri sendiri?!


وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ
"Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat dan pencela." (Al-Humazah: 1)

nb. Dari sebuah khutbah Jum'at, ditulis sebagai pengingat diri sendiri.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, January 11, 2013
Categories:

0 comments:

Post a Comment

Komentar Anda tidak dimoderasi.
Namun, Admin berhak menghapus komentar yang dianggap tidak etis.

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!