Tuesday, December 31, 2013

ujungkelingking - Akhir tahun sudah dalam hitungan jam saja. Bagi banyak orang, akhir tahun adalah sebuah momen yang cukup spesial. Bisa karena pada hari itu kantor diliburkan, bisa jadi karena waktu yang tepat untuk mengajak keluarga jalan-jalan sambil menyaksikan keramaian kota. Namun bisa pula karena ini adalah waktu yang tepat untuk me-review apa-apa saja yang telah kita kerjakan di bulan-bulan yang lalu. Setelah itu kita mulai mempersiapkan diri (baca: prioritas) yang akan kita kerjakan di tahun berikutnya.

Dari catatan-catatan yang ada lalu timbul 2 pertanyaan. 

Satu, apakah merumuskan sebuah resolusi baru harus dilakukan di akhir tahun? 

Jawabannya -tentu saja- tidak harus. Sebab bagi saya, me-review diri hendaklah tidak hanya dilakukan setahun sekali. Sebab jika kita hanya melakukannya setahun sekali, ketika kita sadar ada hal yang salah yang kita lakukan, akan cukup terlambat untuk memperbaikinya.

Namun setahun sekali itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Dan akhir tahun ini menjadi menarik untuk dijadikan sebagai “penutup” agenda-agenda kita yang telah lalu. Karena dengan bergantinya kalender di rumah, kita-pun berharap berganti pula hal-hal yang kurang baik saat kemarin menjadi hal-hal yang lebih baik.

Manusia yang cerdas itu bukanlah mereka yang tidak memiliki kesalahan masa lalu. Namun mereka-lah yang mampu menjadikan diri lebih baik adalah yang disebut cerdas. 

Pertanyaan kedua, seberapa pentingkah "resolusi" itu? 

Jika yang ditanyakan adalah penting-tidaknya, maka sebagai kerangka-perencanaan dari sebuah bangunan yang akan kita buat resolusi ini penting adanya. Sebab tanpa kerangka dan perencanaan yang jelas, maka kita tidak akan punya tujuan. Kalau tujuan saja tidak punya, lalu kapan sampainya?

Namun, dibalik itu ada satu komponen penting untuk membuat sebuah resolusi menjadi tetap penting. Tanpa komponen ini, resolusi yang ada hanyalah sampah di otak kita. Komponen tersebut saya menyebutnya, revolusi.

Yang lain mungkin punya sebutan berbeda. Ada yang menyebutnya sebuah gebrakan, yang lain menamainya action, ada pula yang memanggilnya usaha atau upaya. Intinya sama, bahwa rencana besar tanpa pelaksanaan adalah percuma. 

Bukankah cara terbaik untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita adalah dengan segera bangun dari tidur?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, December 31, 2013

Monday, December 30, 2013

ujungkelingking - "Penyakit" yang kerap melanda seorang blogger adalah keinginan untuk membuat blog yang berbeda dari blog-blog lain, secara tampilan. Dari yang hanya sekedar bongkar-pasang widget sampai ke edit-pengaturan HTML, yang pastinya membuat saya angkat tangan. Tentu "penyakit" ini bisa saja menjadi hal yang amat posistif.

Nah, salah satu hal sederhana yang bisa diutak-atik bagi blogger kelas kacang macam saya ini adalah mengubah tampilan favicon. Bagi yang belum tahu, favicon adalah gambar kecil yang terletak di sebelah kiri nama blog atau alamat URL blog kita pada browser. Secara default, biasanya favicon berupa gambar huruf "B" (dari kata Blogger) berwarna putih dengan background jingga, dsb.

Namun mengubah gambar favicon ini terbilang gampang-gampang susah. Gampang, karena tinggal masuk menu 'Layout' terus 'Edit Favicon'. Tinggal 'Browse' gambar simpanan kita, dan jadilah.

Namun susahnya, karena syarat gambar untuk favicon ini adalah
  1. Gambar harus berbentuk square, yaitu ukuran tinggi (h) dan lebar (w) harus sama
  2. Ukuran gambar tidak lebih dari 100 kb
Namun bila rekan-rekan punya aplikasi image editor, tentu kedua masalah ini bisa teratasi.

Dalam hal ini, saya menggunakan aplikasi Photoscape. Cari menu 'Editor', lalu pilih 'Crop'. Kita tinggal menyamakan tinggi dan lebar gambar (1). Klik 'Crop' (2), dan 'Save' (3).

Edit gambar menggunakan Photoscape

Jika ukuran gambar masih terlalu besar, bisa kita kecilkan dari menu 'Resize'.

Sekedar catatan, setelah kita menyimpan perubahan pada edit-favicon kita, gambar ikon bisanya tidak akan langsung berubah. Ibarat minum obat, reaksinya baru akan terlihat setelah beberapa jam. H-hee...

Semoga bermanfaat.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, December 30, 2013

Saturday, December 28, 2013

ujungkelingking - Cara daftar e-banking BRI

Karena saya punyanya rekening BRI, maka kali ini saya akan berbagi tentang bagaimana mendaftar atau registrasi internet banking (e-banking) pada Bank BRI.

Untuk syaratnya, Anda hanya harus memiliki kartu ATM BRI. Bila sudah, maka Anda hanya tinggal melakukan 2 langkah simpel ini. Yaitu registrasi via ATM kemudian dilanjutkan dengan registrasi via internet.

  • Masukkan kartu ATM dan no. PIN Anda
  • Cari dan pilih menu untuk registrasi internet banking (e-banking)
  • Anda akan diminta untuk memasukkan no. PIN kartu Anda kembali, untuk memastikan
  • Selanjutnya Anda akan diminta membuat password untuk e-banking Anda yang terdiri dari 6 digit angka (password numerik)
  • Masukkan kembali password e-banking Anda, untuk konfirmasi
  • Jika pendaftaran Anda disetujui, maka akan keluar struk yang berisi User ID Anda (digunakan ketika Anda login nanti)
  • Selesai
  • Masuk ke https://ib.bri.co.id/
  • Pilih 'Login' Internet Banking BRI
  • Masukkan User ID yang Anda dapatkan dari langkah di atas
  • Masukkan password yang Anda buat pada langkah di atas
  • Karena ini login pertama Anda, Anda akan diminta untuk merubah password menjadi 8-12 digit dan harus merupakan gabungan dari huruf dan angka (password alfanumerik)
  • Masukkan kembali password baru Anda, untuk konfirmasi
  • Masukkan alamat email Anda
  • Klik 'Ubah', dan
  • Selesai
Sumber: dok. pri.

Untuk membuktikan apakah registrasi Anda berhasil atau tidak, Anda bisa 'Logout' lalu 'Re-Login' dengan menggunakan password Anda yang baru.

Fasilitas ini memungkinkan Anda untuk melihat informasi saldo, mutasi dan atau cetak rekening. Namun untuk transfer atau fasilitas lain yang membutuhkan otorisasi lebih tinggi Anda disarankan untuk meminta token yang bisa didapatkan di kantor pusat atau cabang pembantu Bank BRI.

Catatan tambahan: Saya pikir langkah-langkah ini kurang lebih sama saja untuk bank-bank yang lain.

Semoga bermanfaat.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, December 28, 2013

Friday, December 27, 2013

ujungkelingking - Sebelumnya, saya ingin mengucapkan selamat untuk putrinya mas Agus Setya yang mulai menapaki langkah-langkah pertamanya. Semoga dik Hayyu dan orangtuanya senantiasa diberikan kesehatan dan kebaikan selalu.

Tak lupa pula buat rekan-rekan blogger, facebooker, tweps, plusser yang sudah kembali dari liburannya, selamat memulai aktifitas kembali. Dan buat yang masih libur, selamat menikmati liburannya. Mudah-mudahan kita semua tetap bisa saling berbagi kebaikan.

Aamiin.

***

Ketika kemarin saya memposting tulisan tentang alasan kenapa kita tidak boleh bersikap sombong, ternyata masih menyisakan sebuah pertanyaan penting. Ada satu poin yang luput saya masukkan ke dalam tulisan tersebut. Terima kasih atas komentar "iseng" mbak Nophi yang mengingatkan saya tentang hal ini. Sebuah pertanyaan yang bagi sebagian kta masih memiliki jawaban yang absurd.

Pertanyaan tentang apa sebenarnya definisi sombong itu?

Apakah orang yang suka memamerkan mobil atau pakaian barunya itu disebut sombong? Atau mereka yang suka nampang narsis di sosmed yang disebut sombong? Atau orang-orang yang ngomongnya muluk-muluk itu yang dinamakan sombong? Atau yang gemar sekali menceritakan kebaikan-kebaikan yang diterimanya barulah bisa didefinisikan sebagai orang yang sombong?

Bagi rekan-rekan yang pernah membaca buku atau pernah mengikuti kajian tentang tema ini tentulah sudah memiliki penjelasannya. Definisi yang simpel namun tepat. Namun itu nanti, sabar dulu ya!

(+) Kok pake nanti?

(-) Biar penasaran, h-hee. Bentar, saya mau cerita dulu...

Seperti kita tahu bahwa tokoh yang memiliki sifat sombong ini adalah Iblis laknatullah 'alaihi. Sebuah statement yang pernah diucapkan menjelaskan betul hal itu.

"Anaa khairu minhu. Khalaqtanii min naar wa khalaqtahu min thiin"

Shaad ayat 76. Aku lebih baik dari dia. Engkau, ya Allah menciptakan aku dari api sedangkan dia (Adam) Engkau ciptakan dari tanah.

Unsur api dikatakan lebih tinggi daripada unsur tanah. Karena itulah Iblis menolak ketika diperintah melakukan sujud-penghormatan kepada Adam. Inilah sikap sombong yang pertama kali ada dalam sejarah alam semesta.

Dan karena kesombongannya inilah, Iblis kemudian diusir dari surga. Karena itu, siapa yang mengikuti Iblis -dalam hal kesombongan- maka iapun akan mengikuti jejak Iblis.

Dalam kasus yang lain, seseorang pernah mengatakan bahwa setiap orang memiliki karakter dan pemikiran sendiri-sendiri. Maka seseorang tidak boleh mendiktekan pemikirannya dan meminta orang lain untuk sama dengannya. Karena ya itu tadi, pemikiran setiap orang berbeda-beda.

Dalam beberapa hal, cara berpikir tersebut bisa dibenarkan. Namun bagaimana jika yang didiktekan itu adalah sebuah nasehat? Apakah dengan alasan 'pemikiran orang berbeda-beda' lalu kita boleh menolaknya?

Hm, menarik mencermati tingkah orang di sekeliling kita. Semenarik ketika Islam mendefinisikan tentang apa itu kesombongan. Kata Rasulullah yang disebut sombong itu adalah: batharu 'l-haq wa ghamtu 'n-naas. Sombong itu adalah [1] menolak kebenaran, dan [2] meremehkan manusia.

Dalam kisah Iblis, dia sama sekali tidak menolak kebenaran (Iblis tahu bahwa Allah yang menciptakan dia, Allah pula yang menciptakan Adam), namun dia meremehkan Adam yang dianggapnya lebih hina darinya. Sementara kasus lain yang saya contohkan di atas bisa kita golongkan sombong dalam arti menolak kebenaran. Dan inilah yang tanpa sadar sering kita lakukan.

Bukankah sering kita abai terhadap nasehat gara-gara kita tidak suka dengan si penyampai-nya? Atau kita tak mengacuhkannya karena kita merasa nasehat tersebut tidak cocok dengan kita? Lalu bagaimana sikap kita jika kita dalam kondisi tersebut?

Menurut saya, terima saja dulu nasehat tersebut. Perkara kita kerjakan atau tidak, biarlah itu soal nanti.

*Pertanyaan lainnya yang mungkin juga mengusik, apakah artikel ini termasuk nasehat juga?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, December 27, 2013

Monday, December 23, 2013

ujungkelingking - Tujuan hidup seorang muslim adalah untuk beribadah kepada Allah, Rabb sekalian alam. Nah, dalam perjalanannya ternyata kita juga membutuhkan "modal" agar dapat bertahan hidup untuk menunjang ibadah kita tersebut. Modal inilah yang kemudian kita namakan rejeki. Kita -dalam konteksnya sebagai manusia- kemudian dipersilahkan mencari sebanyak-banyaknya rejeki yang Dia kucurkan.

Namun, dalam posisi sebagai seorang muslim, rejeki yang kita cari ini haruslah memenuhi beberapa kriteria ideal. Kriteria tersebut adalah halal, baik, banyak, dan berkah (halaalan-thayyiban-waasi'an-mubaarakah).

Kriteria Satu: Halal

Kriteria ini merupakan harga mati bagi seorang muslim. Rejeki yang dicarinya seharusnya terpenuhi unsur ini. Jangan sampai rejeki yang kita dapatkan -yang kemudian dimakan oleh anak-istri kita- tercampur dengan hal-hal yang haram karena pasti akan ada dampaknya terhadap kita. Dampak-dampak itu antara lain: tidak diterimanya amalan kita, menjadi sebab tidak terkabulnya do'a, merusak keimanan, mengeraskan hati dan tentu saja menjerumuskan kita kepada nerakanya Allah subhanahu wa ta'ala (soal dalilnya, googling aja ya? H-hee).

Kriteria Dua: Baik

"Baik" dalam pengertian saya adalah menyehatkan. Satu contoh soal makanan. Sekarang ini banyak sekali jenis makanan atau jajanan, yang secara "status" memang termasuk makanan yang boleh dikonsumsi (halal). Namun karena banyaknya kandungan kimia di dalamnya menyebabkan makanan tersebut justru mengundang penyakit. Di sini seorang muslim harus teliti. Rejeki yang halal saja tidak cukup, namun juga harus baik.

Kriteria Tiga: Banyak

Manusiawi memang. Allah sendiri sudah memberikan keleluasaan kepada kita untuk meminta kepada-Nya. Justru saya menganggap seseorang yang tidak pernah memohon sesuatu kepada Allah adalah seseorang yang sombong. Tapi, eh, bisa jadi dia orang yang sangat qana'ah juga sih, h-hii...

Kriteria Empat: Berkah

Saya pribadi mengartikan keberkahan ini sebagai kebermanfaatan. Bahwa rejeki yang kita terima lebih terasa manfaatnya. Atau istilahnya lebih 'tepat sasaran'. Barangkali kita sering mendapatkan rejeki (suatu barang, misalnya) lalu pada akhirnya barang tersebut hanya tergeletak saja di sudut rumah kita, tanpa pernah terjamah. Jadi terlihat kurang manfaatnya. Mungkin seperti itulah keberkahan itu (tapi sekali lagi, ini pendapat pribadi lho).

Lalu bagaimana agar kita bisa mendapatkan keempat kriteria di atas pada rejeki yang kita terima?

Ulama ahli tasawwuf, Abu Lais Samarqandi, merumuskan ada 2 hal yang harus dilakukan agar rejeki model ini bisa kita dapatkan:

  • Satu, jangan pernah menunda-nunda kewajiban kepada Allah

Klise, ya? Tapi seperti itulah. Ketika kita banyak memohon kepada Allah, maka sudah sepantasnyalah kita juga mengikuti aturan-aturan-Nya. Tapi tidak hanya itu, mendahulukan kepentingan-Nya di atas kepentingan kita sendiri menjadi sebuah keniscayaan.

Allah itu Maha Pemurah. Ketika Dia tahu (dan Dia memang Maha Tahu) bahwa kita senantiasa mendahulukan perintah-Nya dibandingkan dengan kebutuhan kita sendiri, maka berlakulah apa yang difirmankan-Nya, "Berdoalah, maka pasti akan Aku kabulkan!"

  • Dua, selalu ingat bahwa rejeki yang kita dapatkan tidak sepenuhnya milik kita

Senantiasa membuka mata dan telingan terhadap kondisi di sekeliling kita. Memperbanyak sedekah. Bukankah janji Allah bahwa balasan dari suatu sedekah itu akan dikalikan 10, 70, atau 700 kali?

Namun ada satu catatan di sini, bahwa di dalam kita bersedekah hendaknya cerdas dalam menentukan "target". Tidak membabi-buta dalam memberikan sedekah, sebab bisa jadi sedekah kita yang salah alamat itu merupakan proyek dari orang-orang non-Muslim yang bertujuan untuk menyerang kaum muslimin di bagian lain di dunia ini.

Kalau rekan-rekan pernah membaca tulisan saya yang berjudul Ini Tentang Pengemis yang (Tak) Layak Diberi, maka di sini rekan-rekan bisa mengambil jalan tengahnya. Ketika kita mendapati pada target sedekah kita ada tanda-tanda ketidaklayakan untuk diberi sedekah, maka kita bisa memilih untuk mengalihkan sedekah tersebut ke target yang lain. Namun bila tanda-tanda itu tidak nampak jelas, saya kira tidak perlu kita menduga-duga demi menghindari sikap su'udhan. Nah, "tanda-tanda" itu saya serahkan kepada masing-masing individu saja untuk menentukan kriteria-kriterianya.

(+) Berarti sampeyan ini plin-plan, mas.

(-) Plin-plan bagaimana?

(+) Katanya kalau sedekah ke pengemis gak usah pilih-pilih. Langsung kasih aja. Tapi sekarang kok bilangnya harus cerdas kalau bersedekah?

(-) Lho, dalam tulisan saya terdahulu kan mbahasnya tentang kalau kita bersedekah kepada pengemis. Bayangkan saja kakek/nenek yang sudah renta berdiri di pinggir jalan dengan pakaian lusuh. Nah, kalau tulisan yang ini membahas target secara umum. Kita bersedekah tidak hanya kepada pengemis saja kan? Bisa jadi ke kotak infaq masjid, panti asuhan, dsb. Atau ke orang-orang yang pakai mobil trus sambil baca shalawat, atau ada yang datang door to door sambil mengajukan map. Lahhh, yang model begini inilah yang menurut saya (menurut Khatib, ding!) kita harus cerdas peruntukannya benar atau tidak.

(+) Ooo, begitu...

(-) Ho'oh, begitu aja.

Mudah-mudahan kita semua dijauhkan dari segala macam sifat kikir ini, dan sifat-sifat buruk lainnya.
Dan mudah-mudahan semua sedekah kita bisa bermanfaat bagi si penerima dan sekaligus menjadi amalan jaariyah bagi kita sendiri.
Dan semoga limpahan rejeki yang halal, baik, banyak dan berkah senantiasa mengucur kepada kita dan keluarga kita semua.

Aamiin, ya Rabba 'l-'aalamiin.


*Dari sebuah khutbah Jum'at, 20 Desember 2013
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, December 23, 2013

Thursday, December 19, 2013

ujungkelingking - Ada sebuah ungkapan bahwa sombong itu pakaiannya Tuhan. Maka seorang manusia -apapun statusnya- tidaklah pantas memakai pakaian Tuhan ini. Dan saya kira, agama apapun dan kultur budaya manapun pasti menolak sifat sombong ini.

Rekan-rekan mungkin masih ingat ketika saya menulis tentang saya yang terjebak hujan di toko buku, lalu saya pergi mencari-cari buku yang tidak bersegel. Nah, saat saya sedang berkeliling itulah, saya mendapati sebuah buku berjudul "Taurat" (penulisnya lupa).

Di dalam buku tersebut, sang penulis mencoba memecahkan misteri (salah satunya) tentang banjir maha-dashyat yang pernah terjadi di zaman Nabi Nuh alaihissalaam berdasarkan literatur-literatur dari Kitab Taurat (Torah). Menurut penulis, Kitab Taurat yang pernah ditemukan, masih memiliki nilai ke-otentik-an yang tinggi. Salah satu bahasan dalam buku tersebut yang menarik minat saya adalah pertanyaan kemana air itu menghilang ketika surut? Seperti kita tahu bahwa banjir pada kejadian itu menggenang hingga menenggelamkan gunung.

Oleh sang penulis, pembaca disodori foto-foto tentang bumi yang dari itu kita akan tahu bagaimana mudahnya Dia, Yang Maha Besar melenyapkan atau mengadakan sesuatu yang menurut kita mustahil. Dari foto-foto ini pula kita akan menyadari betapa mungilnya diri kita dan dari situ mudah-mudahan kita bisa mengikis sifat sombong dari hati kita.

Foto-foto yang sama, saya unduh dari google.

Bumi, kelihatan lebih besar dibandingkan Mars, Mercurius dan Pluto
Bumi, menjadi tampak kecil bila dibandingkan Jupiter dan Saturnus
Bumi menjadi seperti debu dibandingkan dengan Matahari

Lanjut...

Matahari malah jauh lebih kecil dibanding Arcturus
Arcturus malah se-upil-nya Antares dan Betelgeuse
Antares-pun masih kalah besar dibandingkan VY Canis Majoris

Lalu pertanyaannya sekarang, di mana kita (bumi)?



Sumber gambar:
prisiliamondigir.blogspot.com | wwwmutiarabangsa1.blogspot.com | majalah-blog.blogspot.com
b371ny03.blogspot.com | thoha.wordpress.com | lintasfacebook.blogspot.com
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, December 19, 2013

Wednesday, December 18, 2013

ujungkelingking - Dari seorang teman di lingkaran G+...

Ibn Al-Jauizy dalam kitabnya Al-Munthadham meriwayatkan dari Imam Ibrahim An-Nakha'i rahimahullah dan muridnya, Sulaiman bin Mihran:

Suatu hari keduanya sedang melewati salah satu jalan di kota Kuffah, Irak menuju ke Masjid Jami'. Tatkala mereka berdua sedang berjalan, Imam Ibrahim memanggil muridnya dan berkata, "Wahai Sulaiman! Aku akan mengambil jalan ini dan engkau ambil jalan yang lainnya. Sesungguhnya aku khawatir kalau kita melewati orang-orang bodoh, mereka akan mengatakan orang juling menuntun orang yang lemah penglihatannya, sehingga mereka jatuh pada perbuatan dosa gara-gara menghibahi kita."

Note: Imam Ibrahim adalah seorang yang -maaf- matanya juling. Sedangkan muridnya juga lemah penglihatannya.

Maka muridnya menimpali, "Wahai Imam, biarkan saja mereka meng-ghibahi kita, toh mereka akan mendapat dosa dan sebaliknya kita akan mendapat pahala!"

Imam Ibrahim An-Nakha’i langsung menjawab, "Subhanallah! Lebih baik kita selamat dan mereka juga selamat daripada mereka mendapat dosa dan kita mendapat pahala."

***

Apa yang telah diucapkan oleh sang murid sepertinya memang merefleksikan cara berpikir kita.

Kita, ketika merasa benar dengan apa yang kita lakukan kerap menjadi tak peduli dengan apa yang dilakukan oleh orang lain. Kalau itu salah, toh kesalahan itu biar mereka yang menanggungnya. Sebuah sikap mementingkan diri sendiri yang tak pernah diajarkan oleh agama yang sempurna ini. Seolah-olah kita senang jika kita masuk surga dan mereka masuk neraka. Padahal Adam saja tidak betah di surga gara-gara tidak memiliki teman.

Kisah di atas telah memberikan pengajaran kepada kita bahwa sikap 'pembiaran' terhadap suatu kesalahan adalah tidak dibenarkan. Bukankah lebih baik selamat bersama-sama?

Bukankah ketika amar ma'ruf (mengajak kepada kebaikan) itu bernilai ibadah, maka nahi mungkar (mencegah orang lain berbuat dosa) juga akan dihitung sebagai pahala?

Salam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, December 18, 2013

Monday, December 16, 2013

ujungkelingking - Sabtu kemarin, selepas kerja saya mampir ke toko buku Togamas. Ini adalah karena permintaan istri saya yang ingin memberikan kado buku dalam sebuah acara pernikahan.

Rencana awalnya sih, saya hanya mencari buku yang cocok, lalu langsung pulang. Akan tetapi hujan kemudian turun dengan lebatnya. Daripada nganggur gak jelas, mending baca komik-komik yang kebetulan tidak bersegel.

Saya kemudian jadi teringat kejadian tahun lalu, di toko yang sama, saya diajak oleh bos saya untuk mencari buku. Saat itu saya masih pakai seragam yang modelnya kayak tukang parkir, atau pekerja bengkel (yang seragamnya mirip, mohon maaf ya...). Nah, gara-gara seragam itulah saya sampai beberapa kali dikira sebagai karyawan toko tersebut. Tidak kurang dari 5 orang yang bertanya kepada saya buku ini di mana, buku itu di mana. Saya jawab saja dengan senyum. Mereka yang menyadari kesalahannya, langsung ngacir sambil minta maaf.

H-hee, agak lucu juga mengingat hal itu.

Tapi sejak beberapa bulan yang lalu aturan tentang seragam tersebut tidak diberlakukan lagi terhadap saya dan teman-teman se-ruangan saya. Hal ini karena kami selalu bertemu dengan pihak luar (supplier/customer), jadi dianggap kurang pantas bila memakai seragam seperti itu. Sekarang kami memakai seragam berupa kemeja lengan panjang dan celana kain untuk bekerja. Jadi kejadian seperti tahun yang lalu itu tidak mungkin terjadi lagi.

***

Di saat saya lagi menyelesaikan bacaan komik saya, tiba-tiba seorang bocah laki-laki berusia 6 atau 7 tahun menepuk pundak saya sambil bertanya, "Pak, ada komik Blitz?"

#Rrruagh!
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, December 16, 2013

Wednesday, December 11, 2013

ujungkelingking - Di musim penghujan seperti saat sekarang ini banyak bermunculan laron-laron. Biasanya pada malam hari sebelum turun hujan. Serangga yang satu ini menyukai cahaya terang. Maka tak heran mereka banyak berkumpul di bawah sinar lampu jalanan atau lampu rumah penduduk.

Keberadaan serangga ini memang seringkali dirasa cukup mengganggu. Namun tidak sedikit pula yang menunggu-nunggu datangnya "serbuan" laron-laron ini. Dulu, ketika masih ngenger (tinggal) di panti asuhan, kami suka sekali mengumpulkan laron-laron ini. Tujuannya tentu saja untuk dibuat camilan gurih bernama keripik laron. Tapi sebenarnya kalau diminta memilih, saya lebih suka keripik jangkerik daripada keripik laron ini, meski rasanya tidak terlalu jauh berbeda.

Untuk menangkap laron-laron ini caranya juga cukup mudah. Kita tinggal menyiapkan sebuah ember (usahakan yang berwarna gelap), lalu diisi air kemudian diletakkan di bawah sorot lampu. Nantinya, air yang berada di dalam ember akan memantulkan cahaya dari lampu yang berada di atasnya. Laron-laron yang memang suka terhadap cahaya akan tertarik untuk mendekatinya. Namun, bukannya sampai pada cahaya yang diinginkannya, mereka justru akan terjebak di air yang ada di dalam ember.

***

Agama mengajarkan bahwa kemegahan dunia ini semu. Apa yang tampak indah dan mewah sekarang, pada akhirnya bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan.

Laron-laron itu mengajarkan kita satu hal, jangan tertipu oleh nisbinya dunia. Memang tampak menarik kelihatannya, namun dia bisa menjebak kita. Memperangkap kita dalam kehambaan terhadap materi yang ujung-ujungnya hanya akan menghinakan diri kita.

Saya bukanlah orang yang sudah sangat paham asam-garam kehidupan. Namun, dari laron-laron itu kita diajari agar bijak menyikapi dunia. Kita memang butuh dunia, namun hanya untuk mendukung sesuatu yang lebih penting dari itu. Sesuatu yang dimana kita akan menuju pada akhirnya. Ada yang menyebutnya purpose of life, sebagian lain menamakannya keabadian.

Satu lagi tentang laron. Binatang ini hanya hidup dalam semalam.

Begitupun manusia. Secara default, usia manusia ada pada rentang 60-70 tahun. Anggap saja usia kematangan (mulai mampu berpikir) seseorang dimulai saat usia 17-20 tahun, artinya kita punya 43-50 tahun waktu yang bisa kita manfaatkan. Lalu jika dikurangi jam tidur kita (yang menghabiskan sepertiga dari umur kita), maka hanya akan tersisa 14-16 tahun saja waktu produktif kita. Belum lagi tahun-tahun yang kita habiskan hanya untuk berhura-hura.

Lalu dari waktu yang tersisa itu, apa yang sudah kita lakukan untuk mempersiapkan diri?



*ditulis sesaat setelah makan wader penyet di warung pinggir kali, belakang kantor.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, December 11, 2013

Tuesday, December 10, 2013

ujungkelingking - Setelah kemarin membaca postingan mas Wong Crewchild tentang Semeru dan postingan mbak Khusna tentang ikan Gabus, saya jadi teringat kenangan saya ketika dulu mendaki ke puncak Hargo Dumilah, Lawu.

Namun kalau sudah ngomongin soal gunung, tidak afdol rasanya kalau saya tidak menceritakan tentang ustadz saya yang satu ini. Ust. Wildan, namanya. Beliau termasuk orang yang -bisa dibilang- unik alias eksentrik. Salah satu contoh ke-eksentrik-an beliau adalah tentang hobi. Kalau para ustadz yang lain hobinya seputar main bola, bulutangkis atau bersepeda, beliau memiliki hobi yang cukup berbeda, yaitu mendaki gunung dan berburu.

Keakurasian tembakan beliau tidak perlu ditanyakan lagi. Pernah, beliau membidik sebuah cangkir kecil yang diletakkan di atas genteng pada bangunan berlantai dua. Sekali tembak, jatuhlah cangkir itu, entah kemana. Ya, mungkin bagi pemburu profesional hal-hal semacam ini sudah menjadi makanan sehari-hari. Namun bagi kami yang pegang senapan aja baru kali itu, tentu sangat mengagumkan.

Pada suatu kesempatan yang lain, beliau pernah memanggil saya selaku ketua di kelas, menyuruh saya agar mengajak anak-anak makan bersama. Rupanya beliau baru saja mendapatkan beberapa ikan gabus. Beberapa ikan gabus itupun kemudian diserahkan kepada saya untuk dimasak bersama-sama. Dan setelah saya coba mengamati ikan-ikan itu, saya baru menyadari kalau bidikan yang mengenai ikan-ikan itu berada di posisi yang persis sama. H-hee, niat banget.

Hal lain tentang Ust. Wildan ini adalah beliau tidak pernah mau difoto, baik itu dalam acara formal ataupun tidak. Saya jadi ingat tokoh utama dalam film God of Gambler, h-hiii. Bahkan saya menduga foto beliau yang ada di buku biodata para asatidz adalah satu-satunya foto beliau di dunia ini. Atau jangan-jangan di buku itu foto beliau juga tidak ada?

Pernah, salah seorang teman saya berhasil memotret beliau pada sebuah kesempatan. Mengetahui itu, beliau segera mengejar teman saya tersebut sampai dapat. Lalu mengeluarkan negatif-nya dari kamera. Hanguslah foto itu. :'( 

Nah, kembali ke ide awal artikel ini. Setelah membaca artikel mas Wong Crewchild tersebut, saya kemudian mencoba mencari-cari buku diary saya yang sudah terkubur sejak zaman pra-sejarah. Di dalam buku itu saya sempat menuliskan beberapa detil tentang perjalanan kami ke puncak Lawu. Namun detil-detil yang lain sudah kabur dimakan waktu.

Alkisah pun bermula...

***

Sabtu, 29 Juni 2002. Kami berangkat dari pesantren. Kami semua satu kelas (ada sekitar 30-an personil, 4 orang teman kami memutuskan tidak ikut karena beberapa hal).

Pendakian ini memang dalam rangka perpisahan kelas. Kami naik dari kelas 5 (setara kelas XI) ke kelas 6. Ust. Wildan memang selalu menjadi provokator dalam setiap pendakian kami. Beliau selalu mengiming-imingi kami tentang sebuah kepuasan di dalam pendakian, keindahan alamnya, dsb. Saya ingat beliau pernah mengatakan di kelas pada tahun pertama kami di pesantren, "Kalau kalian tidak berani mendaki, betina kalian". H-hee, sangar ya? Tapi dari situlah kami mulai termotivasi untuk melakukan hal-hal semacam ini. Bahkan pernah juga, saya ke Penanggungan sendirian, tanpa seorang teman.

Ada lagi kalimat beliau yang masih saya ingat, "Lebih baik meminta tapi tidak diberi daripada memberi tapi tidak diterima". Tapi yang ini sih ndak ada hubungannya sama cerita saya.

Nah, karena Ust. Wildan yang mem-provokasi kami, jadilah beliau dilibatkan dalam pendakian kali ini. Namun nanti, ada hal yang dilakukan oleh beliau yang bikin kami semua #tepokjidat.

Pukul 11.50 kami naik kereta api dari Bangil menuju Madiun. Perjalanan memakan waktu sekitar empat jam. Sesampainya di sana, karena hari sudah hampir malam, kami menuju desa Plaosan. Rupanya di desa ini sebuah panti asuhan yang kenal dengan Ust. Wildan. Di sanalah kami bermalam (dan numpang makan).

Pagi-pagi sekali Ust. Wildan menyuruh dua orang teman saya untuk menemani beliau. Dipikir kemana, ternyata ke pinggir jalan raya. Begitu ada angkutan umum yang lewat, beliau stop. Beliau langsung naik sambil bilang, "Sudah ya, saya balik dulu". Dong! Bengonglah teman saya. Piye iki jal, diajak ke Lawu, begitu sampai malah balik pulang. Ndak tanggung jawab ini mah.

Namun bukan kami namanya kalau surut mundur. Berbekal kekompakan, kami tetap berangkat menuju gerbang masuk pendakian. Namun ternyata jalan yang kami lewati cukup jauh juga. Beberapa teman yang berpikir cepat langsung nggandol pick up yang kebetulan lewat. Sementara sebagian yang lain -termasuk saya- akhirnya terpaksa urunan buat nebeng mobil. Perjalanan ke atas sekitar 15 atau 20 menit hingga kami tiba di pintu gerbang pendakian. Saya ingat di sana ada sebuah jembatan yang merupakan perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jadi bila kita menyeberang ke sana kita sudah berada di Jawa Tengah.

Setelah seluruh personil berkumpul, kami pun memulai pendakian. Rute yang kami pilih adalah melalui jalur Cemorosewu. Bila tidak familiar dengan nama ini, rekan-rekan mungkin lebih kenal nama Telaga Sarangan. Katanya sih, lewat jalur Cemorosewu ini lebih susah, namun bisa sampai ke puncak lebih cepat.

Dari jalur ini kami harus melewati 5 pos. Sungguh sebuah perjalanan panjang yang amat-sangat menguras tenaga. Kami sampai harus berhemat air minum. Sehingga untuk minum seseorang hanya dijatah satu tutup botol air mineral. Menyedihkan, hiks...

Namun semua kelelahan itu terbayar sudah ketika kami sampai di puncaknya yang tertinggi. Di bawah kami adalah kumpulan awan yang menyerupai gumpalan kapas. Sejauh mata memandang, kami bisa melihat puncak-puncak dari gunung-gunung lain. Kami sempat berpose pada sebuah tugu di sana.

Kami pun turun dan memulai perjalanan pulang.

Kami sampai di pesantren pada tanggal 2 Juli 2002. Berarti semuanya memakan waktu 4 hari. Dan jangan membayangkan bagaimana keadaan kami yang tidak mandi dan tidak ganti celana dalam selama itu.

#Ngethel, bos.

Akhirnya, nemu juga satu poto.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, December 10, 2013

Monday, December 9, 2013

ujungkelingking - Sebenarnya tidak pernah ada yang memaksa kita untuk menjadi seorang blogger. Karena kita suka menulis, maka kita membuat blog yang berisikan tulisan-tulisan kita. Akhirnya disebutlah kita sebagai seorang blogger.

Akan tetapi, menjadi seorang blogger saja tidak lantas mengantarkan kita menjadi seorang penulis yang baik. Inilah yang meresahkan sebenarnya.

Apakah dengan banyaknya pembaca mengindikasikan blogger tersebut adalah seorang penulis yang baik?

Apakah dengan tidak adanya perdebatan di dalam kolom komentarnya menandakan dia adalah penulis yang baik?

Apakah jika kita menulis apa yang disukai pembaca, maka kita adalah penulis yang baik?

Ataukah jika kita menulis yang sesuai dengan pemikiran kita meskipun itu bertentangan dengan hal-hal umum bisa dikatakan penulis yang baik?

Ataukah justru penulis yang baik itu adalah yang mampu membuat artikel kontroversial sehingga memancing reaksi pikir dari pembaca?

***

Sebenarnya, yang saya khawatirkan di sini adalah kita menjadi seperti katak di dalam tempurung. Kita menulis, lalu orang lain meng-iyakan apa yang kita tulis. Dan seperti itu saja, selesai.

Dengan terlalu seringnya orang lain meng-iyakan saja apa yang kita tulis membuat kita pada akhirnya menjadi takut didebat, ditentang atau dikritik. Padahal seringkali itulah yang membuat kita menjadi bergairah untuk berpikir.

Lalu kita terjebak untuk menuliskan apa yang orang lain ingin baca...

Maka kemudian kita kehilangan prinsip menulis kita...

Dan pada akhirnya kita hanya bisa jadi "pengikut" dalam dunia yang serba dinamis ini...


Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, December 09, 2013

Friday, December 6, 2013

ujungkelingking - Pertahanan saya jebol sudah...

Setelah hampir seminggu-an bertahan dengan obat flu yang beli di tetangga dan jahe "kepruk" bawa dari rumah, rupanya sakit flu-batuk-demam-pusing saya tak juga hengkang dari ini badan. Akhirnya dengan terpaksa saya pun menuruti teriakan istri saya yang menyuruh untuk menemui bidan di desa sebelah. 

Sebenarnya penyakit seperti flu ini masih bisa dimasukkan ke dalam kategori penyakit yang self-disease, artinya bisa sembuh dengan sendirinya. Namun karena ada hal yang saya langgar (yaitu istirahat yang banyak), jadilah penyakit ini awet ngendon di tubuh saya.

Selepas Isya', dengan ditemani istri dan kedua bocah saya, kami pun berangkat ke bidan. Lucu juga ya, kan yang sakit saya, yang nyetir sepeda tetap saja saya. Dengan kata lain, saya-lah yang sedang mengantar diri saya sendiri berobat ke bidan. H-hee...

Jarak rumah bidan sekitar satu kilo-an dari rumah saya. Namun harus melewati tuang, dimana sebelah kiri adalah areal persawahan yang lumayan luas sedangkan di sebelah kanannya adalah lahan perkebunan yang ditanami tebu. Otomatis udara dingin langsung menyergap ketika melewati daerah tersebut, apalagi tadi sore hujan telah turun dengan lebatnya.

Sesampainya di tempat bidan -setelah ditanyai keluhannya apa- saya pun segera diperiksa, disuntik, diberi obat (enam macam, bro!), bayar, dan pulang.

Dalam perjalanan pulang, lamat-lamat saya mendengar nyanyian Susan yang Punya Cita-Cita.

"Susan, Susan, Susan besok gede mau jadi apa?
Aku kepingin pinter, biar jadi dokter

Kalau, kalau, kalau jadi dokter, kamu mau apa?
Mau suntik orang lewat jus... jus... jus..."


*Untuk dialog selanjutnya, gak perlu dibahas di sini ya!

Gak etis.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, December 06, 2013

Monday, December 2, 2013

ujungkelingking - Setelah melalui proses birokrasi yang njilmet, seorang wartawan infotainment akhirnya berhasil menemui Kepala Desa untuk wawancara terkait keadaan desa yang tengah menjadi perbincangan hangat.

Wartawan: "Pak, ada informasi, katanya di kampung ini ada perempuan yang hamil duluan?"

Kades: "Benar, malah tidak cuma satu."

Wartawan: "Tidak cuma satu? Maksudnya, Pak?"

Kades: "Ya, banyak mas yang seperti itu di sini."

Wartawan: "Berarti ini masalah yang gawat ya, Pak. Lalu langkah apa saja yang sudah dilakukan oleh perangkat Bapak?"

Kades: "Ah, biasa aja, mas. Gak usah terlalu lebay menanggapi hal-hal semacam ini."

Wartawan: "Lho, kok bisa biasa aja, Pak? Ini kan cermin sudah bobroknya moral generasi muda kita?"

Kades: "Ah, gak juga. Di kampung sebelah juga begitu. Di kampung sebelahnya lagi juga ndak jauh beda."

Wartawan: "Waduh, saya kok bisa ketinggalan berita gini ya? Orang tua mereka gimana, Pak?"

Kades: "Ya, nggak gimana-gimana.. Malah mereka senang."

Wartawan: "Kok malah senang sih Pak, anak perempuannya hamil duluan?"

Kades: "Mas, mas… sampeyan ini gimana toh, dimana-mana yang namanya perempuan itu ya hamil duluan baru melahirkan. Memang sampeyan pernah liat yang melahirkan dulu baru hamil? Ada-ada saja SAMPEYAN ini!"

Wartawan: ???????

***

Lelucon di atas adalah lelucon yang pernah saya tulis di sebuah blog keroyokan, Kompasiana, dengan sedikit perubahan. Namun, lelucon hanyalah lelucon. Beda lelucon beda pula dengan fakta yang ada.

Seperti yang dilansir IndonesiaRayaNews.com (28/11/13), Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR), dr. Julianto Witjaksono menyatakan bahwa satu dari dua remaja usia produktif pernah melakukan hubungan suami-istri.

Beliau ia juga mengungkapkan adanya peningkatan angka kehamilan anak di luar nikah. Tahun 2012 sudah tercatatat 48,1% kasus kehamilan ini. Dan hal ini terjadi pada anak-anak berusia 15-19 tahun.

Kita tentu miris melihat kenyataan ini. Minimnya pendidikan agama, ditunjang dengan lingkungan yang serba permisif menjadikan anak-anak kehilangan kontrol dirinya. Hubungan seksual dengan bukan pasangan sahnya bukan menjadi hal yang aneh di kalangan remaja. Bahkan mereka yang belum pernah "mencicipi" hal tersebut dikatakan kuno dan ketinggalan jaman.

Parahnya, pemerintah seolah merestui hal ini. Terbukti dalam rangka memperingati hari AIDS Sedunia, pemerintah melalui Menteri Kesehatan membuat progam yang bertajuk Pekan Kondom Nasional. Rencananya, kondom-kondom ini akan dibagi-bagikan secara gratis kepada mereka yang beresiko terkena paparan virus HIV.

Meski ada juga yang mengklaim bahwa kondom cukup efektif untuk mencegah penularan HIV, namun permasalahan sesungguhnya bukanlah di situ. Perilaku remaja terhadap seks bebaslah yang harus diatasi.

Pemblokiran konten-konten porno, penutupan lokalisasi dan warung remang-remang, mempersulit izin diskotik, menutup praktek-praktek aborsi ilegal merupakan cara-cara yang lebih relevan untuk menanggulangi HIV dalam konteks seks bebas. Namun alih-alih membasminya, kita malah melegalisasi-nya dengan pembagian kondom gratis. #Haduh!


*Ah, ini hanyalah uneg-uneg iseng dari rakyat yang bukan siapa-siapa.

Semoga kita dan keluarga kita dihindarkan dari hal-hal semacam ini dan dampak-dampaknya. Aamiin. 
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, December 02, 2013
ujungkelingking - Mungkin rekan-rekan sudah membaca berita di koran kemarin tentang seorang pengemis yang kedapatan membawa uang 25 juta rupiah. Uang tersebut adalah hasil dari mengemis selama 15 hari! Hitung sendiri pendapatan ibu ini dalam satu bulan. Jauh diatas gaji seorang direktur.

Melihat fakta semacam ini banyak kemudian teman-teman saya yang akhirnya mulai meng-evaluasi cara mereka bersedekah kepada seorang pengemis. Sebagian mulai menerapkan langkah "hati-hati" sebelum memberikan sedekah mereka, sebagian yang lain lebih memperbesar sikap prasangka mereka. Sebagian lagi -yang lebih logis- memilih memberikan sedekah mereka bukan kepada pengemis, akan tetapi memberikan uang lebih kepada penjual koran, pedagang asongan, dan mereka-mereka yang setidaknya ada usaha untuk mendapatkan uang.

Tentu dalam hal ini saya tidak sedang menvonis -bahwa ini yang benar, bahwa ini yang salah- atas langkah-langkah yang diambil teman-teman saya di atas. Namun, saya akan mencoba mencari titik tengahnya di sini.

Mereka yang bersikap hati-hati dalam memberi berarti mengambil sikap hanya memberikan sedekahnya kepada yang mereka yakin betul-betul tidak mampu sehingga mengemis menjadi jalan hidupnya. Bagi saya, hal ini bisa saja dilakukan ketika kita sudah mengenal betul si peminta-minta tersebut. Tapi ketika kita baru bertemu pengemis tersebut untuk pertama kali, tentu tidak mungkin kita menanyainya, "Anda betul-betul pengemis atau tidak?" Sementara untuk berprasangka buruk, kita pun dilarang. Maka dalam kondisi di atas, pilihan kita hanyalah "tidak memberi" atau "memberi".

Ketika pilihan kita jatuh pada "tidak memberi", tidak ada jaminan bahwa ketika bertemu dengan pengemis yang lain kita akan memberi. Sebaliknya, jika kita "memberi", sedikit banyak akan timbul perasaan jangan-jangan dia bukan orang yang benar-benar membutuhkan? Atau jangan-jangan rumahnya di desa gedong?. Jangan-jangan... sedekah kita salah alamat? (Bila berkenan, rekan-rekan bisa membaca hadits tentang ini pada artikel saya yang berjudul Sedekah yang Salah Alamat).

Bagi saya, bila menghadapi rasa was-was seperti itu, yakinkan saja dalam hati kita bahwa Allah itu Maha Pengatur Rejeki. Artinya, jika memang uang yang kita berikan kepada seseorang bukan menjadi rejeki orang tersebut, maka uang itu pasti akan "lari" dari orang tersebut, entah bagaimana caranya.

Jadi bila kita bertemu dengan seorang pengemis yang menurut pandangan umum memang layak diberi sedekah, maka bersedekahlah. Tak jadi soal dia berpura-pura atau tidak. Atau doakan saja agar sedekah kita itu bisa bermanfaat bagi orang tersebut.

***

Lalu bagaimana dengan orang yang bersedekah dengan cara memberi uang lebih kepada pedagang, dsb? Mana yang lebih baik antara orang ini dan orang yang bersedekah kepada pengemis tanpa berprasangka dan pilih-pilih?

Buat saya, keduanya baik. Keduanya benar. Lah, kalau keduanya benar, lalu mana yang salah? Yang salah adalah mereka yang sok milih-milih orang tapi pada akhirnya tidak jadi memberi juga.

Naudzu billahi min dzalik. Semoga kita semua dijauhkan dari sifat kikir dan pelit ini.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, December 02, 2013

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!