Tuesday, November 26, 2013

ujungkelingking - Whoaa.. sudah hampir seminggu-an blog saya ini mengalami booting alias bolong posting. Bukan tanpa sebab, pekerjaan kantor yang memanggil-manggil menuntut diselesaikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya membuat saya -jangankan blogwalking atau membalas komentar- membuka blog aja rada males.

Nah, sekarang saya mau menulis hal yang lagi update. Apalagi kalau bukan Polwan yang kini sudah boleh berjilbab.

Setelah sempat mengalami polemik beberapa waktu yang lalu, akhirnya mulai kemarin institusi ini secara resmi telah mengizinkan Polwan-nya mengenakan jilbab ketika bertugas. 

Namun pengesahan ini juga bukan tanpa masalah. Saat "pelarangannya" dulu yang sempat menuai pro dan kontra, maka ketika diperbolehkan banyak yang setuju dan tidak sedikit pula yang menyayangkan langkah Polri ini. Diantara mereka beranggapan bahwa Polwan yang mengenakan jilbab akan berkurang mobilitas dan kredibilitasnya.

Kita semua tentu paham Islam melalui syariatnya mewajibkan jilbab kepada perempuan-perempuan muslim. Maka di sinilah dilemanya. Kepolisian adalah sebuah lembaga formal yang berdiri di atas simbol publik. Sebagai publik, ia tidak boleh memiliki keberpihakan terhadap golongan atau agama tertentu. Maka dari itulah, Polri tidak berhak mewajibkan para anggotanya untuk berjilbab. Begitu juga Polri tidak bisa melarang mereka yang ingin berjilbab, karena hal itu akan mencederai hak asasi berkeyakinan.

Dan jalan tengah inilah yang diambil Polri: mempersilahkan. Kepada mereka yang ingin dan merasa nyaman memakai jilbab, maka tidak dilarang mengenakannya. Pun bagi mereka yang tidak sreg berjilbab, dipersilahkan menanggalkannya. Dan karena sifatnya hanya "boleh pakai-boleh tidak", maka berjilbab bagi para Polwan ini bisa dikatakan hanyalah atribut atau aksesoris semata. Ini akan sama dengan bila Polwan yang non-muslim mengenakan kalung salib, rosario, dsb. Tidak akan ada masalah.

Lalu apa hubungannya dengan judul postingan saya di atas yang menyatakan bahwa saya menolak jilbab?

Sederhana saja, mas-mas dan mbak-mbak... Saya ini laki-laki tulen. Dan karena itulah saya tidak akan memakai jilbab. Tidak akan pernah. Dan sampai kiamat pun saya akan menolak mengenakan jilbab.

*Sumpah, ini serius.

#PostinganAbalAbal
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, November 26, 2013

Wednesday, November 20, 2013

ujungkelingking - Air tidak mengalir ke hulu, kata-kata tersebut saya dapatkan dari postingan seorang teman. Maksud dari kata-kata itu adalah bahwa apa yang terjadi pada anak-anak kita -tentang perilaku, kebiasaan dan karakternya- sedikit banyak mewarisi dari perilaku, kebiasaan dan karakter kita sebagai orangtuanya.

Sebuah teori psikologi menyebutkan bahwa naluri dasar manusia akan meniru -setidaknya mencoba meniru- dari orang lain hal-hal yang dianggapnya menarik. Hal yang menarik ini bisa berarti lucu, unik atau dianggap bermanfaat bagi dirinya. (Albert Bandura, 2009).

Pun begitu dengan anak-anak kita. Mereka akan meniru dari apa yang sering dilihatnya. Kita sebagai orang yang lebih banyak bersinggungan dengan mereka tentulah menjadi obyek tiruan yang paling mudah bagi mereka.

Hanya kemudian masalah yang timbul adalah bahwa anak-anak itu masih belum dapat memilah mana perilaku yang benar-benar bermanfaat bagi mereka dan mana kebiasaan yang tidak perlu ditiru. Semua yang mereka lihat dari kita akan mereka tiru. Hal-hal tersebut ditangkap dan disimpan di dalam memori mereka, dan dalam situasi yang lain dapat dimunculkan kembali. Mungkin secara utuh (recall) atau bisa juga sudah mengalami penambahan dan pengurangan sebagian (recognize). Dengan kata lain, apa yang dipelajari anak-anak ini hanyalah pola atau intinya saja.

Contoh sederhananya, jika kita sering -misalnya- berkata-kata kotor terhadap istri atau saudara-saudara kita, anak-anak itu mungkin tidak akan ikut-ikutan berkata kotor kepada istri atau saudara kita. Akan tetapi bisa jadi mereka menjadi suka memaki teman-temannya atau guru-gurunya.

Atau ketika candaan televisi dengan menyebut anggota tubuh tertentu kita anggap sebagai sesuatu yang lucu, bukan tidak mungkin pelecehan-pelecehan itu akan diadopsi oleh anak-anak untuk dipraktekkan kepada orang-orang di sekitarnya.

Tidak sama persis, namun intinya sama.

Lalu bagaimana kita sebagai orangtua menyikapi hal seperti ini?

Benar, jika sebuah kata bijak mengatakan bahwa anak-anak kita bukanlah kita. Mereka tidak sedang hidup di jaman kita. Karena itu menjadi hal yang jamak ketika mereka tidak sama persis dengan kita. Pola pengajaran dan lingkungan yang berperan membentuk karakter mereka.

Saya kemudian membuat -katakan saja- sebuah pengandaian. Ketika anak kita lahir, dia sebenarnya adalah orang lain. Dia adalah individu yang sama sekali di luar kita. Baik dia ataupun kita tidak saling mengenal. Kemudian, karena dia tinggal di lingkungan kita dan mengikuti pola pengajaran kita, maka seperti teori di atas, dia mulai meng-imitasi perilaku dan kebiasaan kita. Jadilah kemudian ia dikatakan "mirip" dengan kita.

Maka kemudian persoalan membentuk karakter dan kepribadian anak ini adalah sebuah persoalan yang sama sekali mudah. Jawabannya kita semua sudah tahu. Hanya bagaimana kemauan dan kerja keras kita yang sekarang untuk membentuk karakter dan kepribadian kita.

Air tidak mengalir ke hulu, kata teman saya. Jadilah kita "air" yang jernih dan bersih, maka in sya Allah yang di bawah akan ikut jernih.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, November 20, 2013

Monday, November 18, 2013

ujungkelingking - Setengah lima teng! saya sudah turun lift menuju parkiran. Istilah di tempat saya bukan 'pulang', melainkan cuma "mindahin sepeda"... Iya, mindahin dari parkiran kantor ke rumah.

Sore itu saya memang berniat tiba di rumah lebih cepat karena saya berencana membawakan oleh-oleh kesukaan Zaki. Apalagi kalau bukan roti bakar selai blueberry. Makanan dari Bandung ini memang kegemarannya, tapi hanya yang selai blueberry. Dan karena Daffa sukanya yang coklat, biasanya saya beli satu buah dengan 2 rasa.

Pak Lani, nama penjual roti bakar langganan kami. Dari aksennya saya tahu kalau beliaunya asli Bandung. Sampai di sana adzan Maghrib sudah lama selesai. Ada satu orang yang sedang dilayani. Kebetulan hanya Bu Lani yang ada, dan beliau melayani dengan sangat cekatan. Segera setelah orang tersebut pergi, beliau dengan sigap membuatkan pesanan saya.

Tapi kalau hanya menceritakan tentang roti bakar, rasanya atau cara membuatnya tentu blog lain sudah banyak yang menuliskannya. Yang akan saya ceritakan di sini adalah bahwa ada hal menarik yang saya kagumi dari beliau berdua ini.

Ketika pesanan saya baru setengah jadi, datang seorang laki-laki hendak membeli roti bakar juga. Namun jawaban dari ibu ini sungguh di luar dugaan saya,

"Maaf ya, Pak. Ini mau saya tinggal shalat dulu,"

Laki-laki tadi tentu saja heran. Ibu ini lalu menyambung, "Iya, (shalatnya) sudah telat."

Gantian saya yang bengong. Pantesan tadi bikin roti bakarnya cepet banget... Rupanya beliau takut tertinggal waktu shalat. Saya tidak habis pikir, bagaimana bisa beliau menolak rejeki, padahal bukankah itu yang beliau cari?

Dan bukan hanya laki-laki tadi yang beliau tolak. Ketika saya sedang membayar roti bakar yang sudah siap dibungkus, datang seorang gadis hendak membeli juga. Dan jawaban yang sama diterima gadis tersebut.

Ketika saya pergi, saya sempat melihat Bu Lani dengan sepeda anginnya berangkat ke masjid yang lokasinya berada di blok lain. Artinya, beliau tidak bisa mengawasi rombongnya dari masjid. Dan memang rombongnya dibiarkan seperti itu saja, padahal di sekitar situ tidak ada penjual lain yang bisa dimintai tolong untuk menjaga rombongnya.

Lain waktu, saya juga pernah membeli roti bakar beliau. Namun, yang ada hanya rombongnya dan perlengkapan-perlengkapannya. Orangnya tidak kelihatan. Setelah saya tunggu agak lama, ternyata beliaunya baru datang dari masjid. Subhanallah...

***

Cerita-cerita semacam ini pasti banyak bertebaran di sekitar kita. Namun, dari banyaknya cerita-cerita itu, mana yang bisa menggugah kesadaran kita?

Seharian kita berjibaku mencari rejeki-Nya, namun ketika Dia memanggil, kita malah enggan memenuhinya. Bagi saya, Bapak dan Ibu Lani adalah contoh orang-orang yang benar-benar mengutamakan kepentingan-Nya dan bukan kepentingan diri.

Jika dari cerita-cerita yang banyak itu ada yang sanggup membuat kita tersentuh, maka bersyukurlah, karena itu adalah tanda bahwa hati kita masih hidup. Namun, bila tidak... wallahu a'lam bi 's-shawab.

Mudah-mudahan keberkahan dan rejeki yang banyak senantiasa tercurahkan kepada orang-orang yang mampu ikhlas dan bertawakkal kepada-Nya.

Berikut ini adalah hadits yang dibawakan juga oleh imam An-Nawawi dalam Bab: Iman dan Tunduk pada Takdir, semoga bisa memotivasi kita.


وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ

"Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah kepada Allah, jangan engkau menjadi lemah."
[Kitabu 'l-Qadar, Muslim: 47]


*ditulis sebagai pengingat diri sendiri
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, November 18, 2013

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!