Thursday, March 13, 2014

ujungkelingking - Ada di Mana Tingkatan Imanmu?


Tulisan ini terinspirasi dari kejadian sepulang dari kantor, kemarin sore.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah shallahu 'alaihi wa salaam pernah bersabda:

"Iman itu ada 70-an cabang, atau 60-an cabang. Yang paling tinggi adalah ucapan Laa ilaaha illallah. Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (sesuatu yang mengganggu) dari jalanan. Sedangkan rasa malu adalah salah satu cabang dari keimanan."
(Riwayat Muslim)

Untuk dapat memahami apa yang ingin disampaikan oleh hadits di atas, ijinkanlah saya untuk membuat sebuah analogi tentang hal ini.

  • Soal yang paling sulit adalah soal untuk kelas 6
  • Soal yang paling mudah adalah soal untuk kelas 1
Logikanya, kalau kita sudah di kelas 6, tentu mudah dong untuk mengerjakan soal kelas 1. Nah, pertanyaan saya, jika kita masih tidak mampu mengerjakan soal untuk kelas 1, maka ada di kelas berapa kita?

Gangguan di jalan
Image: koran-sindo.com

Hal yang sama bisa kita terapkan pada hadits di atas.

  • Tingkatan iman yang paling tinggi adalah ucapan Laa ilaaha illallah
  • Tingkatan iman yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalanan

Maka pertanyaannya sekarang, jika untuk menyingkirkan duri (gangguan) dari jalanan saja kita tidak mau atau tidak tergerak untuk melakukannya, maka ada di mana tingkatan iman kita?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, March 13, 2014

Wednesday, March 12, 2014

ujungkelingking - Karunia Itu Bernama Musibah


(+) Judulnya ada yang aneh nih. Salah ya mas, mestinya kan  "karunia" itu nikmat, kok ini "karunia" tapi musibah?

(-) Ah, nggak kok. Memang disengaja. Mudahan-mudahan setelah membaca postingan ini, baik saya ataupun teman-teman punya cara baru untuk "berkenalan" dengan musibah.

***

Sebuah kisah tentang musibah


Ada satu kisah nyata, yang melibatkan orang yang cukup dekat dengan saya.

Di kampung anu, ada seorang laki-laki yang senang sekali berkata-kata kotor dan menyakiti orang lain. Tak terhitung berapa orang yang telah sakit hati karena kata-katanya. Sampai suatu ketika laki-laki ini bertengkar dengan seorang ibu dan mengeluarkan kata-kata yang sangat menusuk hati.

Si ibu dengan reflek membalas omongannya dengan mengatakan bahwa andai laki-laki tersebut tertabrak motor, maka akan lumpuh kakinya.

Saya tidak tahu apakah kemudian laki-laki ini jadi tertabrak motor atau tidak, namun singkatnya, laki-laki ini menderita stroke yang melumpuhkan seluruh tubuhnya. Semua anggota badannya tak lagi bisa digerakkan bahkan untuk sekedar berbicara. Bermacam pengobatan telah diupayakan, namun kesembuhan belum juga nampak.

Yang aneh adalah, meski susah berbicara, namun bibirnya mudah sekali untuk menyebut nama si ibu yang pernah disakitinya. Maka sambil menangis, laki-laki ini meminta maaf kepada si ibu. Dan dengan ikhlas ibu ini mendoakan kesembuhan untuk laki-laki tersebut.


Jika teman-teman pernah membaca postingan saya tentang One Minute Awareness, barangkali kisah ini adalah salah satu contohnya, sebab kemudian melalui bantuan seorang ulama, kepada laki-laki ini coba dilakukan semacam terapi pengobatan. Untuk kesembuhan penyakitnya, juga untuk kesembuhan spiritualnya.

Sekarang, laki-laki tersebut sudah sembuh dari stroke-nya. Pergaulan dengan sesama tetangga semakin membaik. Sudah tak pernah lagi kata-kata kotor dan menyakitkan keluar dari mulutnya. Dan yang menarik, setiap datang saat shalat 5 waktu, laki-laki ini tak pernah ketinggalan untuk berjama'ah di masjid!


Musibah, tentukan mana fakta lama dan mana fakta baru


Melihat kenyataan dari kisah di atas, pada akhirnya baik orang lain maupun laki-laki tersebut akan mengatakan bahwa beruntung dulu ia diberi penyakit stroke. Jika tidak, barangkali sampai sekarang ia masih akan menjadi sampah masyarakat di kampung tersebut.

Dan dari urutan kejadian-kejadian dalam hidup ini, kita kemudian perlu membaginya ke dalam dua kategori besar. Kedua kategori itu kita sebut saja "Fakta lama" dan "Fakta baru".

Fakta lama, adalah kejadian (baca: musibah) yang baru saja kita alami. Meski baru kita alami, tapi tetap sebut itu sebagai fakta lama. Karena yang akan kita sebut sebagai fakta baru adalah kejadian berikutnya yang sangat mungkin dapat mengubah cara pandang kita terhadap fakta lama.

Maka di sini kita belajar untuk tidak menilai fakta lama SEBAGAI fakta baru. Akan tetapi yang harus kita lakukan adalah menilai fakta lama DENGAN fakta baru.

Penjelasannya seperti ini,

Jika kita terbiasa menilai fakta lama sebagai fakta baru, maka setiap kita ditimpa musibah, yang akan menjadi fokus utama kita adalah hakikat musibah tersebut, bukan maknanya. Karena yang kita rasakan hanyalah hakikatnya (kenyataan bahwa musibah itu terjadi) maka yang akan lahir kemudian adalah perasaan sakit hati, kecewa, marah, dan pertanyaan-pertanyaan klise seperti misalnya "kenapa harus terjadi?", "kenapa harus sekarang?", "kenapa harus pada saya?", dsb. Dan tentu saja pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan terjawab sebelum kita menemukan, fakta baru.

Akan tetapi bila kita menilai fakta lama tersebut dengan sudut pandang fakta baru, maka yang akan muncul adalah perasaan tenang karena selalu khusnudzan terhadap segala sesuatu. Yakin bahwa di suatu waktu yang akan datang Allah telah menyiapkan hikmah-kebaikan dari musibah yang kita alami saat ini.


Menunggu fakta baru tiba


Pertanyaan yang jelas akan muncul adalah, bagaimana kita bisa menilai fakta lama dengan sudut pandang fakta baru sedangkan fakta baru tersebut belum datang?

Jawabannya memang harus menunggu fakta baru tersebut muncul.

Karena itulah saya katakan bahwa (keyakinan) ini bisa menimbulkan perasaan tenang sebab kita yakin bahwa ketika fakta baru itu datang, pernyataan yang akan muncul adalah, "Oh, jadi ini alasannya kenapa kemarin saya dapat musibah itu...".

"Untung saja dulu saya dapat musibah seperti itu, kalau tidak saya tidak akan menjadi seperti sekarang ini..."


Jadi pada intinya musibah adalah sebuah nikmat juga, andai kita tahu cara menyikapinya. Dan kebanyakan manusia tidak bisa menyikapinya, termasuk juga saya. Labih suka mengeluh dan berkesah. Padahal seringkali disebutkan bahwa musibah adalah salah satu cara Allah untuk menghapus dosa-dosa kita.

Karena sayangnya Allah kepada kita sehingga Dia lebih memilih membalas perbuatan dosa kita di dunia ini. Harapannya agar ketika di hari Penghitungan nanti kita akan bisa menghadap Dzat-Nya dengan tanpa membawa dosa.

Aamiin, Allahumma aamiin...

Karunia itu berbentuk musibah
Image: gorilla-ink.deviantart
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, March 12, 2014

Monday, March 10, 2014

ujungkelingking - Bekerja Untuk Tuhan


Setiap kita adalah karyawan-karyawan kehidupan dari sebuah perusahaan besar bernama Dunia.

Kita, tidak pernah minta untuk dilahirkan ke dunia ini. Namun pada perjalanannya kita diharuskan untuk beribadah kepada Dia yang menciptakan kita. Kenapa?

Seringkali pertanyaan di atas terpikirkan oleh saya. Bahkan sebagian dari kita mungkin masih mencari-cari jawabannya. Padahal, jawabannya sudah terbentang sejauh mata memandang di hadapan kita.


Bekerjalah kepada saya, dan saya akan menggaji Anda dengan baik


Ketika ada seorang pemilik sebuah perusahaan besar dan dia ingin sekali menolong kehidupan kita agar menjadi lebih baik, apa kira-kira yang akan dilakukannya?

Memberikan uang secara langsung jelas bukan pemikiran seorang pengusaha. Maka kejadian yang paling mungkin adalah, kita akan dipanggil ke kantornya dan kita akan diminta bekerja di sana dengan gaji yang telah ditetapkan. Jika kerja kita terbukti bagus, kita mungkin akan diangkat ke jabatan yang lebih tinggi, atau akan mendapatkan bonus selain gaji, atau tunjangan ketika pensiun nanti. Akan tetapi jika ternyata kinerja kita buruk, maka jelas sanksi telah menanti. Dari sekedar pemotongan gaji sampai pada pemecatan dengan tidak hormat.

Begitu pula ketika Allah ingin menolong kita. Diciptakanlah kita ke dunia ini. Diberikanlah kita arahan-arahan untuk membimbing kita. Tugas kita kemudian adalah bersungguh-sungguh untuk mengerjakan jobdesc yang telah diberikan tersebut dengan sebaik-baiknya.

Namun Allah bukan seperti si pengusaha tersebut yang baru akan menggaji kita ketika kita telah menyelesaikan pekerjaan kita. Kita telah digaji Allah -bahkan- sebelum kita bisa berbuat apa-apa.

Dan jika kita tercatat sebagai karyawan yang disiplin dan berdedikasi tinggi, maka ketika kita resign dari dunia ini nanti, kita masih akan mendapatkan "tunjangan pensiun" bernama amal jaariyah yang tak pernah putus.

Maka setiap kita adalah karyawan-karyawan kehidupan dari sebuah perusahaan besar bernama Dunia.

Atasan kita adalah Allah, pemilik segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.

Jobdesc kita adalah Kitabullah dan Sunnah RasulNya.

Gaji kita adalah segala macam bentuk rejeki, penghormatan dari makhluk lain, ketentraman hidup, kebahagiaan dan kemudahan dalam setiap urusan.

Sanki bagi kita adalah segala kesulitan dan kesempitan hidup.


*Ditulis sebagai hadiah untuk putra kami Dhiya'ul Haq Zaki Ilyas yang hari ini tepat berusia 4 tahun.

***

Dhiya'ul Haq Zaki Ilyas 

(Cahaya kebenaran hamba Allah yang suci)


Ya Allah karuniakan kepada kami anak keturunan yang shalih. Yang ilmu, harta dan umurnya bermanfaat bagi kebaikan.

Ya Allah, anugerahkan kepada kami sebanyak-banyaknya kesabaran dan sebesar-besarnya kemampuan agar kami dapat mendidik dan mengajarkan kepada anak keturunan kami ilmu-ilmuMu.

Ya Allah, kami mohon kepada Engkau untuk anak keturunan kami;
Selamatkan agamanya,
Sehatkan jasmaninya,
Tambahkan ilmunya,
dan berkahilah rejekinya,

Ya Allah,
Lapangkanlah dadanya,
Mudahkanlah urusannya,
Luruskanlah lisannya,
dan jagalah kehormatannya.

Ya Allah berikanlah keberkahan hidup kepada setiap muslimin di seluruh dunia. Berikanlah setiap dari mereka kesempatan untuk bertamu ke Baitmu, Ya Allah.


Rabbii hablii minas Shalihiin...
Rabbi hablii minas Shalihiin...
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, March 10, 2014

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!