Showing posts with label UMUM. Show all posts
Showing posts with label UMUM. Show all posts

Wednesday, January 16, 2013

ujungkelingking - Tahukah Anda bahwa banyak bagian-bagian dari tubuh kita yang ternyata menyimpan fakta menakjubkan. Apa saja? Berikut ini ada beberapa yang saya kutipkan dari majalah Tempo, 20 Januari 2013.

Sumber: Google
Otak, bisa menyimpan 2,5 petabita informasi, setara dengan 2,5 juta megabita. Ini cukup untuk menyimpan data digital tiga juta jam siaran televisi! Dan 80% isi otak adalah air.

Paru-paru, memiliki lebih dari 300.000 pembuluh kapiler. Jika dihubungkan bisa membentuk tali sepanjang 2.400 km!

Ginjal, memiliki sekitar satu juta filter untuk menyaring rata-rata 1,3 liter darah per menit dan hingga 1,4 liter air seni per hari.

Mata, bergerak 100.000 kali sehari untuk membuatnya melihat lebih jelas. Ini setara dengan berjalan 80 km per hari untuk otot kaki.

Sehelai rambut, kuat menahan beban hingga 100 gr.

Ludah, yang diproduksi setiap orang semasa hidup bisa mengisi penuh dua kolam renang ukuran standar!

Tulang, empat kali lebih kuat dari beton. Satu inci kubik tulang, kira-kira sebesar kotak korek api, kuat menahan beban hingga 9 ton!

Panas tubuh, yang dikeluarkan dalam 30 menit cukup untuk mendidihkan ½ galon air (1,9 ltr).

Setiap hari tubuh memproduksi lebih dari 300 miliar sel baru untuk mengganti sel-sel yang mati.

Sumber: Google
Hidung, bisa mengingat 50.000 bau. Tatkala bersin, kita menyemburkan udara dengan kecepatan fantastis, lebih dari 160 km/jam! Ini alasan yang baik untuk menutup mulut ketika bersin.

Sekitar 500.000 kelenjar keringat ada di telapak kaki. Tiap hari bisa menghasilkan hingga satu gelas besar keringat.

Pembuluh darah pada manusia, jika dihubungkan, panjang seluruhnya mencapai 96.000 km. Cukup untuk melingkari bumi lebih dari dua kali.

Kulup (foreskin) seukuran perangko milik bayi yang disunat bisa tumbuh hingga seluas 3 kali lapangan basket hanya dalam 21 hari. Kulit ini biasa dikembangkan di laboratorium untuk membantu pasien luka bakar.


Subhanallah!
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, January 16, 2013

Tuesday, January 15, 2013

ujungkelingking - Belum habis keterkejutan publik atas apa yang di"kicaukan" Farhat Abbas di twitternya tentang Ahok, dalam minggu yang sama calon Hakim Agung Daming Sunusi menuai kecaman rakyat Indonesia atas jokenya(?) yang mengatakan bahwa korban pemerkosaan dan pelakunya sama-sama menikmati hal itu.

Atas ketidak-mampuan menjaga mulut itu, Farhat terancam dipolisikan sedangkan Daming dicoret dari daftar hakim agung. Kedua kasus ini hanyalah sedikit contoh tentang "bablasnya" kebebasan berpendapat di Indonesia.

Berpendapat, tentu sah-sah saja. Bahkan hal tersebut dijamin oleh negara melalui undang-undangnya. Namun sebagai sebuah negara yang majemuk, kebebasan kita bukannya tanpa batas. Ada hak-hak orang lain yang bila dilanggar akan mencederai kehidupan berbangsa kita.

Jika digeser ke ranah agama, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa salaam telah memberikan rambu-rambu agar kebebasan berpendapat kita tidak sampai melukai orang lain. Misalnya saja, "Qul khairaan au liyasmut", berkatalah yang baik-atau diam.

Ada 2 keuntungan dari pandainya kita menjaga ucapan:
  1. Menghindarkan kita dari melukai hati orang-orang di sekeliling kita, atau dari urusan yang lebih berat lagi.
  2. Menjaga diri dari terbongkarnya aib kita. Sebab kalau tidak salah, Ali karramallahu wajhahu pernah berujar bahwa ada satu hal yang bila dilakukan oleh anak Adam maka seluruh aibnya akan tertutupi. Ketika beliau ditanya apakah itu, beliau menjawab, menjaga lidah.

Dari sini saja kita bisa mengambil kesimpulan bahwa apa yang hendak kita ucapkan haruslah dipikir terlebih dahulu untung-ruginya, manfaat-mudharatnya, penting-tidaknya. Jangan sampai ketika kita sudah berucap baru menyadari kesalahan kita. Bukankah ucapan itu bersifat irrevocable atau tidak dapat ditarik kembali? Mungkin kita bisa berdalih bahwa kita bisa meminta maaf nantinya, tapi bagaimanapun juga permintaan maaf tidak serta-merta bisa menghapus ingatan seseorang tentang kata-kata tersebut. Apalagi jika kata-kata tersebut dipajang di sosmed? Apalagi jika yang menulis adalah orang ternama yang notabene pembaca statusnya tercecer hampir di seluruh negri?

Maka istilah 'mulutmu adalah harimaumu', 'statusmu adalah pedangmu' agaknya menjadi urgen untuk kita terapkan dewasa ini, disaat banyak orang yang atas nama kebebasan berbicara dan berpendapat menyebabkan mereka berkata-kata tanpa diiringi pemikiran dan tanggung jawab.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, January 15, 2013

Monday, January 7, 2013

ujungkelingking - Tulisan-tulisan atau artikel yang kita temui pada blog-blog atau media-media massa kita pada dasarnya hanya terbagi dalam 2 kategori saja. Yaitu dia bersifat opini; atau reportase.

Jika artikel tersebut dibuat dalam kerangka opini, maka tentu tak perlu terlalu dipersoalkan 'sumber opini'nya. Lha wong ini cuma opini saja, kok! Bersifat subyektif memang, karena itu tak terlalu dipersoalkan meski seorang penulis yang baik tentu tak akan segan menjabarkan dasar dari opininya tersebut.

Namun lain bila kita menulis postingan berbentuk reportase.

Menulis sebuah tulisan reportase menuntut adanya sumber yang jelas, validitasnya dipercaya sehingga dapat dipertanggung-jawabkan.

Nah, 'sumber yang jelas' ini kemudian menjadi dipertanyakan keberadaannya ketika si penulis tidak mau menampilkannya. Alasan seorang penulis reportase tidak mau menampilkan sumbernya bisa disederhanakan menjadi 2 saja. Yaitu, 'sumber' itu tidak benar-benar ada; atau penulis mencoba bertindak seperti seorang ilusionis atau pesulap yang sebenarnya memiliki trik bagus namun tidak mungkin disebarkan secara umum.

Bila sebuah reportase tidak memiliki sumber yang valid, artikel tersebut menjadi lemah. Dampak yang lebih besar barangkali adalah pembaca akan mencoba mencari sendiri sumber yang dimaksud. Iya, kalau sumber yang ditemukan pembaca sama dengan sumber yang dimaksud penulis, bila tidak? Alih-alih menjadi penguat tulisan, sumber yang berbeda ada kalanya mengambil sudut yang berbeda pula. Jadi bisa saja sumber yang ditemukan pembaca berbeda dan menjelaskan hal yang bertentangan. Kalau sudah begini tentu si penulis juga dirugikan karena selain kebenaran artikelnya dipertanyakan, juga kredibilitas penulisnya diragukan.

Hm?

nb. tulisan ini 'opini' loh! 
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, January 07, 2013

Monday, December 24, 2012

ujungkelingking - Pepatah lama yang mengatakan anak polah, bapa kepradah, yang kira-kira artinya bahwa apa yang dilakukan oleh seorang anak, orangtua akan tetap kena getahnya, barangkali memang benar adanya.

Hampir setiap hari, di media massa kita disuguhi berita-berita seperti itu. Mahasiswi hamil, narkoba dan siswa, video mesum pribadi, tawuran antar pelajar, dan sebagainya yang ujung-ujungnya orangtua-lah yang menanggung malu dan menanggung kerugian materi.

Tiba-tiba saja muncul pertanyaan, apakah selalu anak yang berulah?

Apakah tidak pernah terjadi orangtua yang berulah lalu kemudian anak yang menanggung malu?

Jika, iya, kenapa tidak ada pepatah yang berbunyi sebaliknya?

***

Faktanya adalah, buah apel jatuhnya tidak jauh dari pohonnya. Disini tersirat makna bahwa kebiasaan orangtua biasanya ter-copy kepada diri sang anak. Jadi jangan buru-buru anak disalahkan jika berulah. Jangan-jangan orangtuanya-lah yang mengajarinya, meski tidak secara sadar.

***

Maka, akhirnya menjadi jelas bahwa ulah orangtua akan menjadikan anak juga berulah. Dan selanjutnya dari ulah sang anak tersebut menjadikan orangtua-lah yang menuai malu.

Siapa yang salah sekarang?

(Selalu) belum terlambat untuk memperbaiki diri. Pendidikan anak selaku dimulai dari pendidikan keluarga (baca: diri si orangtua).

Jadi, yuk memperbaiki diri!

Bismillah,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, December 24, 2012

Friday, December 14, 2012

ujungkelingking - Ini cerita dari seorang teman.

Teman saya ini memiliki sebuah grup pengajian. Internal saja, hanya sekitar 20 orang anggotanya. Suatu ketika mereka akan mengadakan sebuah acara, pengajian rutin. Nah, salah seorang anggota grup tersebut berinisiatif mem-publish agenda tersebut di wall facebook-nya. Maksudnya mungkin benar, barangkali saja ada teman-teman lain yang berkenan hadir atau bergabung dengan grup tersebut.

Singkat cerita, saat pengajian berlangsung, memang tampak hadir seorang perempuan paruh baya berbusana muslimah. Wajahnya memang tidak familiar, namun teman saya ini menganggap perempuan tersebut adalah kerabat dari salah seorang anggota grup.

Ketika acara berlangsung pun, perempuan tersebut tampak antusias sekali dan terlibat diskusi menarik dengan penceramah. Maka teman saya pun semakin yakin bahwa perempuan ini memang orang baik-baik.

Namun, prasangka teman saya ini rupanya keliru. Ketika acara selesai dan dilanjut untuk sholat Maghrib berjamaah, perempuan ini menghilang. Belakangan baru diketahui ternyata ikut raib juga Blackberry yang sedang di charge dan sebuah tablet Samsung milik anggota yang lain.

Karena itulah, berkaca dari kejadian ini hendaknya kita berhati-hati bila ingin mem-publish acara yang sifatnya internal di media sosial. Barangkali SMS atau Grup Pribadi bisa menjadi alternatif jika ingin mengundang seseorang untuk ikut dalam acara kita. Kita, oleh agama, memang tidak diperbolehkan untuk bersikap su'udzon, namun kita tidak dilarang untuk bersikap waspada.

Nah, saya jadi tertarik untuk mencari tahu apa bedanya su'udzon dan 'bersikap waspada'?

Dan setelah saya coba blogwalking, saya bisa sedikit menyimpulkan bahwa su'udzon adalah: penilaian kita terhadap seseorang secara negatif; tanpa adanya bukti, dan; analisis yang bersifat subyektif. Sedang 'waspada' adalah: penilaian obyektif; didasarkan pada peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang kerap terjadi.

Hm, sepertinya cuma mudah untuk di-teorikan, ya? Namun, jika kita yakin Allah senantiasa bersama kita, maka kita bisa terhindar dari sikap su'udzon ini.

Hasbunallah wa ni'mal wakiil.

***

Salam hati-hati.

Cerita teman saya di sini: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/12/14/waspada-mempublikasi-acara-intern-di-media-sosial-506598.html
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, December 14, 2012
ujungkelingking - Pepatah malu bertanya, sesat di jalan memiliki makna agar kita selalu (baca: tidak malu) untuk mencari informasi tentang apa yang kita tidak tahu. Proses mencari tahu ini bisa dilakukan dengan cara bertanya langsung kepada orang yang memang tahu tentang hal tersebut, atau bisa juga melalui buku-buku atau internet. Banyak sekali contoh-contoh hal buruk terjadi disebabkan karena ketidak-tahuan ini.

Islam telah menjelaskan tentang hal ini,
"Dan Kami tidak mengutus kamu, kecuali lelaki-lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada ahli dzikir* jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl: 43)

* Mengenai kenapa Al-Qur'an menggunakan istilah ahli dzikir pada ayat di atas, insya Allah akan kita bahas pada tulisan yang lain. Untuk sementara ini kita mengikut terjemahan dari Depag saja, yaitu diartikan sebagai 'orang yang memiliki ilmu pengetahuan'.

Proses bertanya, dalam banyak tempat disinonimkan sebagai proses belajar. Banyak belajar nyatanya memang berbanding lurus dengan banyak bertanya. Kita menyebutnya, kritis.  Dengan semakin banyak bertanya, diharapkan informasi yang diterima semakin banyak dan semakin pahamlah kita. Oleh karena itu bertanya dan belajar hendaknya kepada orang atau guru yang benar, dalam hal ini, orang yang mengerti tentang hal tersebut.

Namun masalahnya, dalam konteks kekinian, proses bertanya ini dilakukan bukan lagi untuk pembelajaran, namun lebih kepada mencari alasan untuk menghindari tugas atau pekerjaan tersebut.

Satu contoh yang masyur terabadikan di dalam Al-Qur'an adalah kisah Bani Israel yang diperintahkan untuk menyembelih seekor sapi betina. Namun karena keengganan dari Bani Israel untuk melaksanakan perintah tersebut, maka mereka mencari-cari alasan dengan kasratu 's-su'al (mengajukan banyak pertanyaan yang tidak penting).  Mereka bertanya bagaimana warnanya, usianya, dan keadaan sapi tersebut. Sehingga pada akhirnya, akibat dari pertanyaan-pertanyaan tersebut menyebabkan semakin bertambahlah kriteria yang dimaksud, dan menjadi beratlah tugas mereka. (Lihat Al-Baqaraah: 67-71)

Lalu bagaimana kita membedakan antara kritis dan kasratu 's-su'al?

Jawabannya tentu dari substansi pertanyaan itu sendiri. Atau dengan kata lain, 'apa yang ingin dicapai dari pertanyaan tersebut'. Jika memang pertanyaan itu mengharapkan informasi agar kita bisa melaksanakan perintah tersebut dengan benar, maka itulah kritis. Namun, jika berharap agar yang ditanya tidak mendapatkan jawaban (buntu), sehingga terbebas dari tuntutan pekerjaan, maka kita bisa menyebutnya sebagai kasratu 's-su'al. Dan sifat terakhir ini sangat dibenci oleh Allah subhanahu wa ta'ala.
"Sesungguhnya Allah meridlai kalian pada tiga hal dan membenci kalian pada tiga hal pula. Allah meridlai kalian: bila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya; serta berpegang teguh kepada tali (agama) Allah seluruhnya; dan janganlah kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian: bila kalian suka qiila wa qaala (berkata tanpa dasar: katanya, katanya); kasratu 's-su'al (banyak bertanya yang tidak bermanfaat); serta menyia-nyiakan harta." (diriwayatkan Muslim)
 
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, December 14, 2012
ujungkelingking - Dalam masyarakat kita dewasa ini, istri berkarir (baca: bekerja) tak lagi menjadi hal yang tabu dan aneh. Tentunya ada banyak faktor yang mendorong terciptanya situasi tersebut. Yang paling sering saya dengar adalah faktor ekonomi, dimana kebutuhan hidup yang kian hari kian menanjak sehingga “memaksa” orang untuk menciptakan sumber pendapatan baru. Salah satunya, ya, dengan suami dan istri bekerja kedua-duanya.

Sebagai seorang suami yang notabene adalah kepala keluarga tentu memiliki alasan yang cukup benar sehingga harus mempersilahkan istrinya bekerja juga. Sang istri juga harus memiliki batasan-batasan tatkala ia meninggalkan rumahnya untuk mencari penghasilan dan tetap bisa melakukan kewajibannya ketika kembali ke rumah.

Sang suami, terlepas dari penghasilan mana yang lebih besar, tetaplah memegang fungsinya sebagai kepala keluarga. Tidak terlalu menjadi masalah jika gaji sang istri lebih kecil atau cuma sebagai tambahan saja, namun bagaimana jika gaji istri mendominasi? Inilah yang jika sang istri tidak pandai menempatkan diri akan bisa memicu titik-titik api dalam rumah tangga. Stigma bahwa laki-laki harus menghidupi keluarganya, pastilah akan menumbuhkan gengsinya. Di titik inilah sang istri harus bisa memberi pengertian kepada suami bahwa tetap dirinyalah (suami) yang menjadi penentu setiap keputusan yang harus dibuat.

Kemarin sore, secara tak sengaja saya mendengar obrolan dua rekan kerja saya. Intinya adalah bahwa suami masing-masing tidak pernah mereka beri tahu berapa pastinya gaji mereka. Dan suami-suami mereka toh juga tidak pernah protes.

Timbul pertanyaan menggelitik, apakah seorang suami (memang) tidak ingin tahu berapa gaji istrinya?

Hehe…, suami -dalam pandangan subyektif saya- sebenarnya yang dia tahu adalah dia harus membiayai kehidupan keluarganya. Jika istrinya memiliki penghasilan, berapa pun itu, maka terserah sang istri mau dipakai untuk apa uang itu. Gengsi laki-laki itu tinggi. Mungkin itu sebabnya dia kurang suka jika untuk melakukan kewajibannya harus dibantu dengan gaji sang istri.

Namun seperti yang ditulis diawal, jika ekonomi yang menjadi faktor penyebab bolehnya istri bekerja, maka mau atau tidak mau, gengsi atau tidak, sang suami harus sedikit bersusah-payah untuk menurunkan egonya agar permasalahan ekonomi keluarga bisa teratasi.

Toh, itu juga untuk kebaikan bersama.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, December 14, 2012

Monday, December 10, 2012

ujungkelingking - Kita sering mendengar ungkapan take and give. Biasa diartikan hak dan kewajiban atau menerima dan memberi.

Namun, ternyata ungkapan tersebut tidak terpakai di negara-negara lain. Di Amerika, misalnya, yang biasa dipakai adalah "give and take". Memberi dahulu, baru kemudian menerima. Melaksanakan kewajiban terlebih dulu, baru mendapatkan hak.

Secara kronologis hal tersebut tentu benar. Adalah salah besar jika kita bersikukuh menuntut hak, sementara terhadap kewajiban kita abai. Kita baru mau memberi ketika sudah menerima. Alangkah sempitnya hidup ini. Dan sudah barang tentu jika setiap kita mampu melaksanakan kewajiban dengan baik, maka secara otomatis dan tanpa perlu diminta pun, hak akan kita dapatkan. Jika kita sering memberi, maka sesering itu pula kita akan menerima.

Sebuah contoh klise, jika kita sebagai seorang pegawai maka kewajiban kita adalah bekerja dengan sebaik-baiknya dan membantu agar tujuan perusahaan tercapai. Sedang bagi sebuah perusahaan, maka kewajiban yang ada adalah menggaji pegawai dengan pantas. Jika dibalik, hak kita sebagai pegawai adalah mendapatkan upah, sedang hak bagi perusahaan adalah tercapainya tujuan mereka.

Jika kita hubungkan dengan aturan-aturan prinsip dalam Islam, maka inilah yang disebut dengan prinsip tawakkal. Lakukan yang menjadi bagian kita setelah itu serahkan hasilnya hanya kepada Allah.
"Dan memberinya rejeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusannya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (Ath-Thalaaq: 3)

Maka, usaha keras dan doa yang sungguh-sungguh bagi seorang Muslim adalah keharusan. Dan mengenai hasilnya -baik atau buruk- Allah-lah yang Maha Mengetahui apa-apa yang menjadi hak kita.

nb. Ditulis sebagai catatan pribadi
sebagai pengingat bagi penulis.
Bismillah,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, December 10, 2012

Thursday, November 29, 2012

ujungkelingking - Awalnya tidak banyak yang tahu tentang novel "The Da Vinci Code" yang ditulis oleh Dan Brown -yang kemudian diadaptasi ke layar lebar dengan judul yang sama. Setelah Paus Vatikan mengecam dan melarang beredarnya novel dan film tersebut, segera saja novel tersebut menjadi best seller!

"Innocence Of Mosleem", tiba-tiba saja menjadi film paling banyak dilihat setelah muncul gugatan dan reaksi keras dari banyak kalangan Muslim dunia.

Dan tentu masih banyak lagi contoh dari sesuatu yang pada awalnya orang tidak tertarik untuk tahu, namun ketika muncul larangan atau gugatan justru kemudian menyebabkan ketertarikan terhadap hal tersebut meninggi.

Asal mula istilah "streisand effect"

Adalah Barbara Joan Streisand (Barbara Streisand), seorang selebriti asal New York yang melayangkan gugatan terhadap Kenneth Adelman, fotografer yang dituduh telah memotret rumahnya dari udara, lalu mengunggahnya ke situs internet tanpa seijin dirinya. Barbara Streisand menganggap apa yang dilakukan Kenneth Adelman adalah melanggar privasinya. Tidak tanggung-tanggung, ia menuntut sekitar 52 juta dolar!

Meski pada akhirnya pihak pengadilan tidak mengabulkan tuntutannya, namun publik sudah kadung penasaran dengan foto yang digugat tersebut. Padahal sebelumnya tidak banyak orang yang tertarik untuk melihat seperti apa rumah Barbara Streisand, namun setelah kasus gugatannya masuk pemberitaan di media, dalam sekejab ribuan orang mengunduh gambarnya.

Sumber gambar: Google

Dari sinilah kemudian istilah "streisand effect" berkembang. Istilah untuk menyebut tentang rasa penasaran dan keingin-tahuan atas sesuatu yang dilarang.

Semakin dilarang, semakin dicari

Jika kita diberi lima buah kado yang boleh dibuka sekarang dan satu kado yang baru boleh dibuka 2 hari lagi, tentu pikiran kita akan terpusat pada satu kado yang tidak boleh langsung dibuka itu.


Rasa keingin-tahuan kita menjadi besar justru karena ada larangan tersebut.

Streisand Effect inilah yang dahulu menimpa Adam alaihissalaam sehingga harus diusir dari surga dan diturunkan ke bumi.

Sifat dasar manusia: ingin tahu

Ini adalah sifat alamiah dan manusiawi sehingga tidak mungkin bisa dihilangkan. Pada dasarnya, setiap kita memiliki sifat ini, hanya berbeda kadarnya pada masing-masing person: (1) ada yang sangat kuat sehingga dirasa perlu melakukan pelanggaran, dan; (2) ada pula yang masih dalam taraf biasa saja sehingga "kalau tidak diberi tahu ya sudah".

Dalam kisah Adam alaihissalaam, sebenarnya Adam masih masuk golongan yang kedua. Namun Syaithan berhasil menipu dan membujuknya sehingga ia berani melanggar larangan Allah (lihat Al-Baqaraah: 36).

Lalu bagaimana sikap kita ketika sifat ini menimpa kita?

Jawabannya tentu kembali kepada penilaian kita masing-masing. Apakah sifatnya agama (baca: tauqifiyah) atau hanya keduniaan saja? Apakah hal tersebut memang sangat penting sehingga kita harus tahu meski itu harus menabrak hak-hak orang lain dan etika dalam agama? Atau apakah jika kita tidak tahu maka akan menimbulkan kemudharatan yang lebih besar? Allah menganugerahkan kepada kita -manusia- akal, yang ketika semakin dewasa maka seharusnya semakin berpikir, semakin menimbang dan (mungkin) semakin bisa mengukur resikonya.


*dari beberapa sumber
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, November 29, 2012

Monday, November 5, 2012

ujungkelingking - Rasulullah shallahu alaihi wa salaam sedang bersama sahabat-sahabat beliau: Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib, radhiallahu anhum. Mereka bertamu ke rumah Ali radhiallahu anhu, dan istrinya Fathimah Az Zahra radhiallahu anha -putri kesayangan Rasulullah- menghidangkan untuk mereka madu yang diletakkan di dalam sebuah mangkuk yang cantik, dan ketika semangkuk madu itu dihidangkan, sehelai rambut ikut di dalam mangkuk itu. Rasulullah kemudian meminta kesemua sahabatnya untuk membuat suatu perbandingan terhadap ketiga benda tersebut. Mangkuk yang cantik, madu yang manis, dan sehelai rambut.

Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu anhu berkata, "Iman itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang beriman itu lebih manis dari madu, dan mempertahankan iman itu lebih susah dari meniti sehelai rambut."

Umar bin Khattab radhiallahu anhu berkata, "Kerajaan itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, seorang raja itu lebih manis dari madu, dan memerintah dengan adil itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut."

Utsman bin Affan radhiallahu anhu berkata, "Ilmu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang menuntut ilmu itu lebih manis dari madu, dan beramal dengan ilmu yang dimiliki itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut."

Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata, "Tamu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, menjamu tamu itu lebih manis dari madu, dan membuat tamu senang sampai kembali pulang ke rumahnya adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut."

Fathimah Az Zahra radhiallahu anha berkata, "Seorang wanita itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, wanita yang ber-purdah itu lebih manis dari madu, dan mendapatkan seorang wanita yang tak pernah dilihat orang lain kecuali mahramnya adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut."

Rasulullah shallahu alaihi wa salaam berkata, "Seseorang yang mendapat taufiq untuk beramal adalah lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, beramal dengan amal yang baik itu lebih manis dari madu, dan berbuat amal dengan ikhlas adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut."

Malaikat Jibril alaihissalaam berkata, "Menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, menyerahkan diri, harta, dan waktu untuk usaha agama lebih manis dari madu, dan mempertahankan usaha agama sampai akhir hayat lebih sulit dari meniti sehelai rambut."

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, "Sorga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu, nikmat sorga-Ku itu lebih manis dari madu, dan jalan menuju sorga-Ku adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut."

Sumber: kisahislami.com
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, November 05, 2012

Friday, October 12, 2012

ujungkelingking - Kita kerap mendengar seorang ibu yang memarahi anaknya dengan sebutan "anak nakal", dan sebagainya. Namun tahukah kita bahwa melabeli anak dengan sebutan seperti itu justru menimbulkan "pembenaran" dalam diri si anak bahwa dirinya memang nakal. Dampaknya, jika tidak menjadikan anak kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sendiri, dia akan kehilangan kepercayaan terhadap orang lain.

Faktanya, tidak ada anak yang nakal. Karena setiap anak pada dasarnya dilahirkan dengan membawa kecerdasan yang berbeda-beda. Menurut seorang ahli riset dari Amerika, Prof. Howard Gardener, ada 8 kecerdasan pada manusia. Delapan macam kecerdasan yang dimiliki setiap anak. Nah, salah satu hal yang wajib dimiliki oleh setiap orang tua adalah kemampuan membaca kecerdasan yang dimiliki oleh anaknya.

Delapan macam kecerdasan itu adalah:

1.
Kecerdasan liguistik, yaitu kemampuan untuk menggunakan lisan-tulisan secara baik dan efektif. Termasuk juga dalam hal ini adalah kepekaan terhadap suara, intonasi, urutan kata, arti suatu kata dan pengaruhnya dalam penyampaian suatu informasi.

2.
Kecerdasan logik-matematik, yaitu kemampuan dalam memecahkan masalah dan mencari jalan keluar yang masuk akal (logis). Biasanya menyukai angka, urutan, logika dan keteraturan. Ia juga mampu melakukan proses berpikir deduktif (besar ke kecil) dan induktif (kecil ke besar).

3.
Kecerdasan visual-spasial, yaitu kemampuan melihat atau mengamati hal-hal secara visual dan spasial (ruang) dengan akurat. Kecerdasan ini termasuk dalam hal warna, garis, bentuk, ruang, ukuran, dan hubungan-hubungannya serta kemampuannya untuk melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.

4.
Kecerdasan musikal, yaitu kemampuan menikmati, mengamati, membedakan, mengarang, membentuk dan mengekspresikan segala yang berkaitan dengan musik.

5.
Kecerdasan interpersonal, yaitu kemampuan untuk mengerti maksud, motivasi dan perasaan orang lain. Memiliki kepekaan pada ekspresi wajah, suara dan bahasa tubuh orang lain, juga mampu memberikan respon balik secara efektif-komunikatif.

6.
Kecerdasan intrapersonal, yaitu kemampuan yang ada hubungannya dengan kesadaran tentang diri sendiri. Kecerdasan ini membantunya memahami kekuatan sekaligus kelemahan diri sendiri. Biasanya sangat menghargai nilai etika dan moral.

7.
Kecerdasan kinestetik, yaitu kemampuan dalam menggunakan tubuh secara terampil untuk mengungkapkan pemikiran dan perasaan. Termasuk juga keterampilan fisik dalam hal koordiansi, keseimbangan, daya tahan, kelenturan dan kecepatan.

8.
Kecerdasan naturalis, yaitu kemampuan untuk mengenali, membedakan (meng-kategorikan) apa yang dijumpainya.

***

Maka dari itu jangan pernah berpikir bahwa anak kita nakal. Mulai sekarang berpikirlah tentang kecerdasan yang dimillikinya, then explore it!

Bismillah,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, October 12, 2012

Friday, September 14, 2012

ujungkelingking - Berbicara tentang manusia sebagai makhluk sosial, maka kita akan menemukan bahwa suatu individu –secara langsung atau tidak- memiliki keterkaitan dengan individu-individu lain. Bahwa seseorang untuk kelangsungan hidupnya membutuhkan bantuan dari orang lain, bisa berupa bantuan fisik atau materiil, pun juga bisa berupa support atau perhatian.

Dalam konteks ini, ketika kita memiliki beban yang cukup berat, maka kita butuh orang lain agar kita dapat membagi beban itu dengannya. Kita umum menyebutnya, curhat.

Dalam hal curhat-mencurhat (halahhh) kita biasanya memilih teman atau orang terdekat sebagai tempat kita curhat. Namun, disinilah sebenarnya kita perlu berwaspada. Sebagai orang yang akan mendengarkan permasalahan kita, yang di dalamnya kemungkinan besar ada aib yang akan kita buka, maka sangatlah penting bagi kita untuk selektif memilih tempat curhat. Karena salah pilih orang, bisa-bisa malu berkepanjangan yang kita tanggung.

Sebenarnya, kita bebas ber-curhat kepada siapa saja, asalkan dia memiliki 2 kriteria berikut ini;

1. Dia mampu memberikan solusi

Hal ini penting. Sebab jika tidak, tentu percuma-tidak-berguna kita curhat panjang lebar sampai berbusa-busa ke dia. Lha mending nulis di jejaring sosial (lumayan ada yang komen meski rada ngawur, hehe…)

Maka, ketika kita yakin (atau setidaknya berharap) dia memiliki solusi untuk permasalahan kita, maka dia-lah orang yang paling tepat untuk diajak curhat.

2. Dia mampu menyimpan rahasia

Yang ini juga tak kalah pentingnya. Sebab curhat kepada orang yang “ember”, sama saja seperti kita teriak-teriak dengan speaker di depan balai desa. Malu-lah yang kita dapat.

Masih mending kalau solusinya ada. Kalau tidak? Ke laut aja, mas!

Karena itulah, dua hal ini menjadi teramat penting ketika kita memutuskan akan curhat, sebab menyangkut harga diri dan (mungkin) aib kita atau orang lain. Carilah orang yang bisa memberikan solusi sekaligus menjaga rahasia kita.

Tapi jangan khawatir jika kita kesulitan menemukan sosok yang memiliki kedua kriteria tersebut, masih ada satu yang maha pemberi jalan keluar terbaik, dan tidak juga "ember"…

Allah subhanahu wa ta’alaa...

Dia-lah satu-satunya yang maha pembuat rencana terhebat dan pembuat solusi ter-unpredictable. Jika orang lain terlalu sibuk mengurusi kepentingannya sendiri-sendiri, maka Dia-lah yang sesungguhnya paling sibuk mengurusi keperluan makhluk-makhlukNya, dan akan selalu welcome untuk menerima curhatan kita.

So, what are you waiting for?


Selamat curhat
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, September 14, 2012

Friday, August 31, 2012

ujungkelingking -



Ilustrasi: iN | Photography
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, August 31, 2012

Saturday, July 14, 2012

ujungkelingking - Lagi, kita disuguhi berita tentang penangkapan pegawai pajak atas kasus suap (kompas.com). Hal ini tentu menambah panjang rangkaian gerbong kasus di tubuh DJP, yang mau tidak mau berimbas kepada masyarakat (baca: Wajib Pajak). Akhirnya tidak sedikit dari kalangan masyarakat luas yang menjadi berat untuk membayar kewajiban pajaknya. Kebanyakan mereka berpikir begini, “Buat apa kita repot-repot membayar pajak, bila uangnya kemudian dimakan oleh pegawai pajak dan bukan untuk kepentingan negara?” atau “Apa sih untungnya membayar pajak, toh kita tidak merasakan manfa’atnya?”

Maka ini kemudian menjadi kewenangan DJP untuk menjelaskan kepada masyarakat luas. Memang, dalam definisinya pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam kalimat yang dicetak tebal di atas jelas bahwa hasil dari pembayaran pajak kita adalah bukan diperuntukkan untuk kita -secara personal. Akan tetapi hasil tersebut bisa dinikmati secara bersama-sama. Seperti misalnya pembangunan gedung pelayanan publik, jalan raya, dsb. Jadi bila ada pertanyaan, “apa untungnya membayar pajak?” Jawabannya, kita hanya akan dianggap sebagai Wajib Pajak Patuh (hak hak hak…)

Kalau pertanyaannya adalah tentang uang negara yang dimakan oleh pegawai pajak, tentu ungkapan ini kurang tepat. Karena sebenarnya yang dimakan oleh pegawai pajak tersebut bukanlah “uang negara”, melainkan “uang yang seharusnya milik negara”. Lah sami mawon!

Melihat kejadiannya secara kronologis mungkin benar anggapan umum bahwa adanya praktek suap ini adalah tidak lepas dari polah tingkah-tingkah laku Wajib Pajak sendiri. Misalnya saja, karena tidak pernah membayar pajak, lalu setelah dilakukan penghitungan, pokok yang seharusnya dibayar ditambah dengan sanksi -dan sebagainya- maka diperolehlah angka yang luar biasa fantastis. Logikanya, kalau membayar yang menjadi kewajibannya saja tidak mau, apalagi ini: membayar kewajiban plus denda?

Maka ditempuhlah “jalan tengah”. Diminta-lah kepada pegawai pajak tersebut untuk “merevisi” laporan pajak Wajib Pajak tersebut. Sehingga, yang seharusnya dibayar 100%, cukup dibayar 30% saja. Dan sebagai ucapan terima-kasih dikirimlah sebuah “kardus indomie” ke rumah…

Lalu kenapa praktek yang sesungguhnya sudah berlangsung sejak tahun Gajah ini baru terendus (sebagian) sekarang? Jawabannya karena mereka (pegawai pajak) ternyata punya “kewenangan” merahasiakan hubungan mereka dengan Wajib Pajak.

Dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007 pasal 34 ayat (1) tertulis setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam penjelasan ayat disebutkan setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain:

  1. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;

  2. data yang diperoleh dalam rangka petaksanaan pemeriksaan;

  3. dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;

  4. dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan.
Nah, sebenarnya aturan dalam pasal ini diperuntukkan kepada Wajib Pajak untuk melindungi data-data mereka dari kebocoran yang takutnya disalah-gunakan oleh pihak lain. Namun bagaimana bila justru aturan ini dipakai oleh pegawai pajak sendiri untuk menutupi kecurangan yang dilakukannya?
Agaknya DJP perlu mereview kembali pasal per-pasalnya. 

# Berdo'a untuk Indonesia yang lebih bersih, bismillah...
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, July 14, 2012

Monday, June 18, 2012

ujungkelingking - Hari ini, setelah membaca tulisan salah seorang Kompasianer, saya jadi teringat kejadian yang sering kita lihat di lingkungan kita, yaitu tentang “panik”nya seorang ibu yang, misalnya, melihat anaknya yang tiba-tiba terjatuh karena tersandung batu dan menangis. Lalu biasanya untuk menenangkan si anak, si ibu lantas memukul-mukul tembok atau jalanan sambil bilang, “Ini tembok nakal”, “Batunya nakal sudah ibu pukul”, dan sebagainya.

Kita harus sadar bahwa melakukan hal tersebut bukan saja salah namun juga tidak mendidik. Biarkan dia jatuh agar dia tahu bagaimana berhati-hati. Sesungguhnya panik (baca: kuatir)-nya seorang ibu adalah hal yang naluriah. Namun dalam beberapa kasus, seperti contoh di atas, bersikap kuatir atau panik adalah hal yang tidak disarankan.

Tentu saja kita sebagai orang tua harus selektif memilih respon. Maksudnya adalah dalam kondisi seperti apa kita harus kuatir dan dalam keadaan bagaimana kita tidak boleh (terlihat) panik. Karena yang banyak terjadi adalah si anak “melihat” bagaimana respon orang tua. Anda sadar atau tidak, ketika si anak terjatuh dan Anda terlihat panik, maka anak akan menangis sejadi-jadinya. Kalau boleh saya mengimajinasikan, seolah-olah si anak berkata, “Ibu kuatir, nih. Aku menangis, ah biar tambah disayang…” atau “Ibu, sakiittt… tolong aku, dong!”. Dengan langsung menolongnya dan bersikap kuatir sebenarnya justru akan membuat si anak merasa “didukung”: menangis karena tersandung itu, boleh.

Lalu bagaimana kita harus bersikap ketika melihat anak kita tersandung?

Pertama kali, lihat apakah jatuhnya itu berkemungkinan menyebabkan keadaan fatal pada anak atau tidak. Bila tidak, tunggu sebentar jangan langsung diangkat, biarkan anak menyadari bahwa dirinya terjatuh. Lalu katakan dengan nada tegas (bukan keras) meminta dia untuk bangun, katakan kepadanya bahwa terjatuh seperti tidak apa-apa. Setelah itu dekati dia, pastikan dia memang tidak apa-apa (dengan memegang, dsb.) lalu ceritakan kenapa dia bisa terjatuh seperti tadi, misalnya, “Adek tadi jalannya ndak lihat bawah. Ini ada batu terus adek tersandung. Lalu jatuh, deh. Lain kali hati-hati, ya!”

Yang perlu saya garis bawahi disini adalah bahwa panik atau kuatir itu naluriah. Sungguh pun demikian, jangan sampai kepanikan tersebut “terserap” oleh anak.

Peduli pada anak bukan berarti memanjakannya. 

Salam
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, June 18, 2012

Monday, May 21, 2012

ujungkelingking - Banyak yang masih berpendapat bahwa Islam adalah suatu budaya asing (baca: Arab) yang masuk ke Indonesia. Tapi tentu pemikiran seperti itu adalah pemikiran yang salah kaprah. Sudah jelas-jelas jika kebudayaan itu adalah produk manusia, sedangkan Islam adalah produk Allah. Budaya, bisa jadi dianggap salah di tempat lain, sedangkan Islam bersifat universal, bisa diterima oleh siapa dan dimana pun, selama memiliki akal yang waras.

Namun setidaknya sebuah hadits tentang seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi lalu ia juga membenarkan jawaban Nabi ini bisa menyadarkan para pemikir yang salah kaprah tersebut.

Suatu ketika Rasulullah sedang duduk-duduk bersama para shahabat, lalu datanglah seorang laki-laki yang langsung masuk ke tengah-tengah majlis dan kemudian duduk tepat di depan Rasulullah. Laki-laki itu lalu bertanya kepada Nabi,

Apa IMAN itu?

Jawab Rasulullah, "Iman adalah kamu percaya kepada Allah, percaya kepada malaikat-malaikatNya, percaya kepada kitab-kitabNya, percaya kepada rasul-rasulNya, percaya kepada qadla' dan qadarNya."

Kata laki-laki itu kemudian, "Engkau benar!"

Lalu ia bertanya lagi,

Apa ISLAM itu?

Jawab Rasulullah, "Islam adalah kamu mengucapkan syahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusanNya, engkau mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadlan, dan melaksanakan haji bagi yang mampu melaksanakannya."

Lagi-lagi laki-laki tersebut berkata, "Engkau benar!"

"Lalu tanyanya lagi,

Apa IHSAN itu?

Jawab Rasulullah, "Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatnya, dan seandainya engkau tidak melihatNya maka ketahuilah bahwa Ia melihatmu."

Lagi-lagi laki-laki tersebut berkata, "Engkau benar!"

***

Kemudian setelah laki-laki tersebut pergi, Nabi bertanya kepada Umar, "Tahukah engkau siapa laki-laki tadi?"

"Allah dan RasulNya yang lebih tahu." Jawab Umar.

"Orang yang bertanya dan membenarkan jawabanku tadi adalah Jibril. Dia datang untuk mengajarkan kepada kalian tentang agama kalian."

Subhanallah,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, May 21, 2012

Monday, April 9, 2012

ujungkelingking - Sabar. Satu kata ini memang begitu mudah diucapkan, akan tetapi sangat sulit diterapkan. Namun, sungguh-pun demikian, sikap yang satu ini sering kali disalahartikan. Sikap sabar sering dianggap sebagai kondisi yang lemah, kalah, menyerah, tidak berdaya, atau tanpa perlawanan. Singkatnya, sabar diberi pengertian yang amat negatif sehingga melakukan tindakan ini dianggap hal yang tabu lagi memalukan.

Ada yang membagi sabar menjadi dua macam. Yang pertama diistilahkan sebagai Sabar Pasif, yaitu ketika kita dituntut, dipaksa, diharuskan untuk sabar -tanpa melakukan suatu hal. Contoh sederhananya barangkali ketika kita terjebak macet, sedangkan kita berada di dalam angkutan umum. Akhirnya kita hanya bisa diam meskipun hati kita marah dan ngedumel. Yang kedua dinamakan Sabar Aktif, yaitu ketika kita punya kemampuan untuk membalas akan tetapi tidak kita lakukan.

Menurut artikata.com, disebutkan tentang definisi sabar ini sebagai: 1 tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati); tabah; 2 tenang; tidak tergesa-gesa; tidak terburu nafsu. Sedang kata bersabar diartikan sebagai: v bersikap tenang (tt pikiran, perasaan).

Lalu bagaimana Islam mendefinisikan sabar ini?

Dalam surah Al-Imraan ayat 146, Allah berfirman:


وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ

"Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah kepada musuh. Allah menyukai orang-orang yang sabar."
[AL-Imraan: 146]

Islam (ternyata) mendefinisikan orang yang tidak menjadi lemah karena bencana dan orang yang tidak pernah menyerah kepada musuh Allah adalah orang-orang yang sabar.

Nah loh?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, April 09, 2012

Tuesday, March 27, 2012

ujungkelingking - Alkisah...

Sumber: Google
Suatu hari, Sang Raja dan beberapa pasukannya pergi ke hutan untuk berburu. Karena saking asyiknya berburu, tanpa sadar Sang Raja dan rombongannya masuk terlalu jauh ke dalam hutan, dan mereka pun sadar kalau telah tersesat. Rombongan itu kini menemui sebuah jalan yang bercabang. Sang Raja harus memilih, mengambil jalan yang ke arah kanan, atau jalan yang ke arah kiri. Karena hari sudah beranjak gelap, Sang Raja tidak mau berspekulasi. Dia harus bertanya kepada seseorang...

Beruntung, di sekitar jalan tersebut ada sebuah gubuk yang ditinggali oleh dua orang laki-laki yang kembar identik. Namun meski kembar, sifat keduanya sangat bertolak belakang. Jika yang satu selalu bicara jujur, maka yang satunya selalu bicara bohong.

Sang Raja tak punya pilihan lain, selain bertanya kepada mereka. Namun, saat Sang Raja menemui mereka, yang menyambut keluar hanya satu orang saja dari dua bersaudara itu. Sang Raja tentu tak tahu apakah laki-laki yang ada di depannya ini adalah yang selalu berkata jujur, atau justru yang selalu berkata bohong?

Sang Raja yang bijaksana ini pun akhirnya mengajukan satu pertanyaan, yang kemudian dijawab oleh laki-laki tersebut,

"Kiri."

***

Maka kemudian Sang Raja dan rombongannya bergerak mengambil ke arah kanan. Dan rombongan itu pun sampai di istana dengan selamat.

Nah, yang menjadi pertanyaannya adalah, apa sebenarnya yang ditanyakan oleh Sang Raja kepada laki-laki tersebut?

*note: Selalu ingat bahwa Sang Raja tak pernah tahu laki-laki tersebut adalah laki-laki yang selalu berkata jujur atau yang selalu berkata bohong, jadi gunakan strategi berpikir terbalik!


Lihat jawaban di sini
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, March 27, 2012

Wednesday, March 21, 2012

ujungkelingking - Bagi Anda yang membutuhkan terjemahan Bulughul Maraam, bisa download link di bawah ini (gratis).

Termasuk di dalamnya juga beberapa terjemahan hadits-hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhory dan Imam Muslim serta Terjemahan Al-Qur'anul Kariim berikut teks arabnya.

Meski isinya tidak selengkap kitab aslinya, namun ini bisa dijadikan sebagai alternatif rujukan.




Semoga bermanfaat!
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, March 21, 2012

Tuesday, March 20, 2012

ujungkelingking - Seorang perempuan memiliki 17 ekor sapi. Ketika sang suami meninggal, sesuai wasiat dari sang almarhum, sapi-sapi itu harus dibagikan kepada ketiga putra mereka, dengan pembagian yang telah ditentukan sebelumnya oleh sang suami.

Pembagiannya seperti berikut;

Anak pertama, mendapatkan setengah dari jumlah sapi,

Anak kedua, mendapatkan sepertiga dari jumlah sapi, dan

Anak ketiga, mendapatkan sepersembilan dari jumlah sapi

***

Nah, karena sapi-sapi yang ada berjumlah 17 ekor, si Ibu merasa kebingungan untuk membagi harta warisan tersebut. Sebab jika dihitung sesuai hitungan matematis, akan diperoleh hasil seperti ini;

Setengah dari 17 adalah 8,5

Sepertiga dari 17 adalah 5,6

Sepersembilan dari 17 adalah 1,8

(Tentu pembagiannya akan menjadi rumit,bukan?)

Lalu bagaimana cara si Ibu ini membagi sapi-sapi tersebut dengan adil?

***

Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, March 20, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!