ujungkelingking - Seringkali kita mendengar nasehat, entah itu ditujukan langsung kepada kita atau tidak, agar kita selalu menjadi diri sendiri, menjadi diri kita yang apa adanya. Be your self!
Namun agaknya nasehat semacam ini tidak bisa langsung diterima secara mentah. Menjadi diri sendiri bukanlah hal yang bagus ketika kita bukan orang baik. Hm? Maksudnya begini, menjadi diri sendiri bukan kemudian diartikan bahwa apa yang kita lakukan adalah benar lalu kita menutup diri dari kritikan.
Misalnya saja seseorang menasehati kita, "Jangan begitu. Itu tidak sopan.", apa lantas kita menjawab, "Ya memang beginilah aku."? Tentu tidak bisa begitu. Ketika kita melakukan hal yang salah lalu ada orang yang mengkritik, maka menjadi diri sendiri berarti melihat, menakar atau menyeleksi posisi kita. Lalu kemudian ada keberanian untuk mengakui jika hal tersebut memang tidak benar.
Maka menjadi diri sendiri pada hakikatnya adalah kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi yang seharusnya, atau -dengan kata lain- mengembalikan diri kepada posisi fitrah!
Manusia yang menjadi dirinya sendiri bukanlah menjadi manusia yang anti-kritik, pun juga bukan yang ikut-ikutan saja apa kata orang. Ada semacam kemampuan melihat ke-obyektifitas-an di sini. Apa yang benar, diterima. Yang salah, ditolak.
Benar menurut siapa, salah bagi siapa?
Bagi kita yang Muslim, maka Islam adalah tolok-ukurnya. Jika menurut Allah dan Rasul-Nya hal itu baik, maka berarti memang baik. Silahkan diterima, silahkan dilakukan. Begitu juga jika sebaliknya.
Inilah ke-obyektifitas-an itu.
Setiap hal -benar atau salah- harus berdasarkan Islam. Karena itulah cara kita menjadi diri sendiri (baca: fitrah).
Bukankah Islam adalah agama fitrah?
Misalnya saja seseorang menasehati kita, "Jangan begitu. Itu tidak sopan.", apa lantas kita menjawab, "Ya memang beginilah aku."? Tentu tidak bisa begitu. Ketika kita melakukan hal yang salah lalu ada orang yang mengkritik, maka menjadi diri sendiri berarti melihat, menakar atau menyeleksi posisi kita. Lalu kemudian ada keberanian untuk mengakui jika hal tersebut memang tidak benar.
Maka menjadi diri sendiri pada hakikatnya adalah kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi yang seharusnya, atau -dengan kata lain- mengembalikan diri kepada posisi fitrah!
Manusia yang menjadi dirinya sendiri bukanlah menjadi manusia yang anti-kritik, pun juga bukan yang ikut-ikutan saja apa kata orang. Ada semacam kemampuan melihat ke-obyektifitas-an di sini. Apa yang benar, diterima. Yang salah, ditolak.
Benar menurut siapa, salah bagi siapa?
Bagi kita yang Muslim, maka Islam adalah tolok-ukurnya. Jika menurut Allah dan Rasul-Nya hal itu baik, maka berarti memang baik. Silahkan diterima, silahkan dilakukan. Begitu juga jika sebaliknya.
Inilah ke-obyektifitas-an itu.
Setiap hal -benar atau salah- harus berdasarkan Islam. Karena itulah cara kita menjadi diri sendiri (baca: fitrah).
Bukankah Islam adalah agama fitrah?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, May 21, 2013
Terima kasih atas pencerahannya :)
ReplyDeleteSm, Mas. Trim sdh mampir..
Delete