ujungkelingking - Tinggal hitungan jam saja, kita –umat Islam- akan memasuki bulan suci yang penuh barokah dan ampunan Allah subhanahu wa ta’alaa. 1 Agustus 2011 atau bertepatan dengan 1 Ramadlan 1432 h adalah hari pertama kita mengawali ibadah puasa. Memang, untuk tahun ini baik pemerintah, ulama’ maupun beberapa ormas Islam tidak memiliki perbedaan dalam menentukan awal Ramadlan.
Seandainya ada perbedaan sekalipun, maka hal itu katanya bisa menjadi rahmat bagi umat Islam.
Tapi benarkah demikian?
Jika dilihat dari sisi usaha keras para ulama’-ulama’ yang melakukan ijtihad sehingga kemudian memunculkan beberapa pendapat yang berlainan, maka benar jika perbedaan itu menjadi rahmat bagi umat.
Akan tetapi dalam persepsi lain, jika perbedaan itu dilihat dari sisi umat yang taqlid -mengikut saja- pendapat-pendapat ulama’ ini, atau kiai itu, padahal diantara pendapat-pendapat tersebut ada yang jelas-jelas bertentangan dengan sunnah Rasulullah, maka perbedaan di sini tidak akan pernah menjadi rahmat. Umat justru terpecah-belah.
Lalu bagaimana agar perbedaan itu tidak memecah belah dan melemahkan umat ini?
Pertama, tidak boleh ada perbedaan pendapat dalam hal-hal yang ditetapkan nash-nash qath'iy (pasti), seperti perkara-perkara akidah, ushul al-ahkam, dan lain sebagainya.
Kedua, setiap pendapat harus dibangun di atas dalil-dalil Alquran, as-Sunnah, Ijma Sahabat atau Qiyas, atau jika tidak bisa juga dengan syubhat dalil, tentu bagi yang menggunakannya
Ketiga, jika ada dua pendapat yang sama-sama syar'iy, maka seorang Muslim wajib melakukan tarjih untuk menentukan mana pendapat yang terkuat. Sebab, seorang Muslim tidak mungkin mengerjakan satu perbuatan dengan dua hukum yang berlawanan. Ia harus memilih salah satu pendapat yang dianggapnya kuat berdasarkan kaidah-kaidah tarjih.
Tarjih juga bisa dilakukan dalam cara berdiskusi. Hanya saja, diskusi tersebut tidak boleh menyulut permusuhan dan perselisihan.
Seandainya ada perbedaan sekalipun, maka hal itu katanya bisa menjadi rahmat bagi umat Islam.
Tapi benarkah demikian?
Jika dilihat dari sisi usaha keras para ulama’-ulama’ yang melakukan ijtihad sehingga kemudian memunculkan beberapa pendapat yang berlainan, maka benar jika perbedaan itu menjadi rahmat bagi umat.
Akan tetapi dalam persepsi lain, jika perbedaan itu dilihat dari sisi umat yang taqlid -mengikut saja- pendapat-pendapat ulama’ ini, atau kiai itu, padahal diantara pendapat-pendapat tersebut ada yang jelas-jelas bertentangan dengan sunnah Rasulullah, maka perbedaan di sini tidak akan pernah menjadi rahmat. Umat justru terpecah-belah.
Lalu bagaimana agar perbedaan itu tidak memecah belah dan melemahkan umat ini?
Pertama, tidak boleh ada perbedaan pendapat dalam hal-hal yang ditetapkan nash-nash qath'iy (pasti), seperti perkara-perkara akidah, ushul al-ahkam, dan lain sebagainya.
Kedua, setiap pendapat harus dibangun di atas dalil-dalil Alquran, as-Sunnah, Ijma Sahabat atau Qiyas, atau jika tidak bisa juga dengan syubhat dalil, tentu bagi yang menggunakannya
Ketiga, jika ada dua pendapat yang sama-sama syar'iy, maka seorang Muslim wajib melakukan tarjih untuk menentukan mana pendapat yang terkuat. Sebab, seorang Muslim tidak mungkin mengerjakan satu perbuatan dengan dua hukum yang berlawanan. Ia harus memilih salah satu pendapat yang dianggapnya kuat berdasarkan kaidah-kaidah tarjih.
Tarjih juga bisa dilakukan dalam cara berdiskusi. Hanya saja, diskusi tersebut tidak boleh menyulut permusuhan dan perselisihan.
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” [Al-Anfal: 46]
Maka lebih bijak mengembalikan setiap perbedaan pendapat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bila dikembalikan kepada ego dan hawa nafsu, maka itulah awal kehancuran umat.
Rasulullah bersabda,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin al-mahdiyyiin (yang mendapatkan petunjuk, dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)
“Sunnahku” pada hadits di atas adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa salaam. Sedangkan “sunnah khulafa’ur rosyidin al-mahdiyyiin” adalah pemahaman (manhaj) para shahabat terhadap sunnah Rasulullah. Maka memahami sunnah haruslah dengan pemahaman para shahabat khulafa’ur rosyidin, agar kita setidaknya lebih dekat kepada kebenaran. Jika tidak, maka hanya akan menghasilkan pemahaman yang pada akhirnya menyimpang dari Islam.
Wallahu a'lam,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, July 30, 2011
Assalamu'alaikum.
ReplyDeleteMohon dishare ya. Untuk tafaqquh fiddin.
Syukran