Friday, April 1, 2011

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, (itu) jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu adalah yang terbaik untuk kalian dan paling bagus dampaknya. [QS. an-Nisaa’: 59]

Terdapat beda-tafsir mengenai definisi ulil amri. Akan tetapi pendapat yang terkuat adalah pendapat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah para pemimpin/pemerintah. Pendapat ini dikuatkan  oleh Imam asy-Syafi’i (Fathul Bari [8/106]). Oleh karena itu an-Nawawi rahimahullah membuat judul bab untuk hadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai tafsir ayat ini dengan judul “Kewajiban taat kepada pemerintah selama bukan dalam kemaksiatan dan diharamkan hal itu dalam perbuatan maksiat”.

Ketaatan kepada pemerintah muslim ini dibatasi dalam hal ma’ruf saja, sedangkan dalam perkara maksiat tidak diperbolehkan.

Kewajiban untuk mendengar dan taat kepada pemerintah muslim ini juga dibatasi selama tidak tampak dari mereka kekufuran yang nyata. Apabila mereka melakukan kekufuran yang nyata maka wajib untuk mengingkarinya dan menyampaikan kebenaran kepada mereka. Akan tetapi memberontak atau memeranginya -sedzalim atau sefasik apapun mereka- tidak diperbolehkan selama dia masih muslim/tidak kafir.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menambahkan, “… kecuali apabila kaum muslimin telah melihat kekafiran yang nyata yang mereka memiliki bukti kuat dari sisi Allah tentangnya, maka tidak mengapa melakukan pemberontakan kepada penguasa ini untuk menyingkirkannya dengan syarat bila mereka mempunyai kemampuan yang memadai.”

Dalam syariat, terdapat kaidah: Tidak boleh menghilangkan keburukan dengan sesuatu yang menimbulkan akibat lebih buruk dari keburukan semula, akan tetapi wajib menolak keburukan itu dengan sesuatu yang benar-benar bisa menyingkirkannya atau -minimal- meringankannya. (al-Ma’lum Min Wajib al-’Alaqah baina al-Hakim wa al-Mahkum, hal. 9-10)

Maka, bila mereka tidak memiliki kemampuan untuk itu, atau  apabila terjadi pemberontakan -diduga kuat- akan timbul kerusakan yang lebih dominan, maka mereka tidak boleh memberontak demi memelihara kemaslahatan masyarakat luas.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti petunjuk bukan dengan petunjukku dan menjalankan sunnah namun bukan sunnahku. Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati laksana hati syaitan yang bersemayam di dalam raga manusia.” Maka Hudzaifah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau menjawab, “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” 
[Syarah Muslim: 6/480]

Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan muncul para penguasa yang kalian mengenali mereka namun kalian mengingkari -kekeliruan mereka-. Barangsiapa yang mengetahuinya maka harus berlepas diri -dengan hatinya- dari kemungkaran itu. Dan barangsiapa yang mengingkarinya maka dia akan selamat. Yang berdosa adalah orang yang meridhainya dan tetap menuruti kekeliruannya.” Mereka -para sahabat- bertanya, “Apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?”. Maka beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih menjalankan sholat.” 
[Syarah Muslim: 6/485]

(bersambung)
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, April 01, 2011
Categories:

0 comments:

Post a Comment

Komentar Anda tidak dimoderasi.
Namun, Admin berhak menghapus komentar yang dianggap tidak etis.

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!