Wednesday, January 18, 2012

ujungkelingking - Tulisan ini adalah mencoba mengkritisi tulisan salah seorang Kompasianers yang bertajuk Apapun agamanya, beragama merupakan tindakan yang benar. Namun dikarenakan ada kemungkinan memicu terjadinya perdebatan agama, -yang akan menyalahi peraturan di Kompasiana- maka saya tulis artikel ini di blog pribadi saja.

Dalam tulisan tersebut penulis berpendapat tersebut bahwa,

"... meskipun sebuah informasi itu keliru dan tidak sesuai dengan fakta dan data sebenarnya, tetapi perbuatan atau tindakan mempercayai bahwa “informasi tersebut benar” adalah tindakan yang benar."

Dalam konteks pemikiran tersebut, maka dengan kata lain penulis beranggapan bahwa "yang tidak beragama" adalah salah, sedangkan "yang beragama" -apapun- agamanya adalah benar. Tentu ini sejalan dengan dasar pemikiran kelompok Islam Liberal, yang tentu juga bertentangan dengan semangat "innaddiina 'indallahi Islam". Sungguh, agama yang paling benar disisi Allah adalah Islam. Dan jelas, pemikiran bahwa "semua agama benar" adalah, salah.

Penulis juga telah menyandarkan pemikirannya terhadap surah dalam Al-Qur'an,

"...Jadi, secara akal sehat mungkin informasi yang keliru bisa tidak dipercaya, atau informasi yang benar justru diabaikan. Akan tetapi secara keyakinan informasi apapun yang masuk ke dalam bathin manusia, tidak bisa diganggu-gugat oleh siapapun. Maka disinilah, kebenaran beragama, apapun agamanya, dijamin oleh ajaran Islam (Al Kafiruun)."

Sekali lagi, Islam tidak pernah menjamin kebenaran agama lain. Menghormati, iya. Bahwa dalam Al-Kaafiiruun disebut "lakum diinukum, waliyaddiin" bukan berarti Islam melegitimasi ke-liberal-an tersebut. Dalam asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya ayat tersebut) diceritakan bahwa kaum kafir pada waktu itu meminta compromise dengan Rasulullah. Yaitu dengan cara, hari ini mereka mau menyembah Allah, tetapi besok umat Muslim harus mau menyembah berhala mereka. Maka turunlah ayat tersebut dengan tegas menyatakan,

"Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku."

Artinya, kita berbeda.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, January 18, 2012
Sumber: Dok. pribadi
ujungkelingking - Sabtu sore kemarin, istri saya mengeluhkan tentang tingginya suhu tubuh Zaki, putra kami. Istri saya kemudian memberikan obat penurun panas yang memang kami siapkan untuk jaga-jaga. Tapi hingga menginjak malam, suhu tubuh Zaki belum turun juga. Akhirnya saya minta istri saya untuk menyiapkan air panas buat mengkompresnya.

Semalaman kami mengkompres, tapi tidak menunjukkan gejala membaik. Sampai Minggu dini hari, panasnya justru semakin meninggi. Zaki kembali mengalami kejang!

Setelah melakukan pertolongan pertama sebisa mungkin, Zaki sudah "lepas" dari kejangnya, kami saat itu juga membawanya ke klinik dekat rumah. Pertimbangannya, bila suhunya bisa segera turun tentu tak perlu sampai rawat-inap segala.

Jam 02.30 Zaki masuk klinik. Suhu tubuh 39 derajat.

Bidan segera mengambil inisiatif memberi obat yang dimasukkan lewat dubur. Tapi panasnya tidak serta-merta hilang. Bahkan, ketika menunggu bidan meracik obat, Zaki kembali kejang. Bidan kemudian memasangkan oksigen lewat hidung. Dan saat akan memasangkan jarum infus, kami kembali mengalami kesulitan. Pada kasus seperti yang dialami Zaki pembuluh darah akan mengalami penyempitan, sehingga jarum suntik akan sulit untuk masuk. Pada percobaan keempat akhirnya jarum infus bisa masuk, itupun melalui pembuluh darah yang ada di kaki.

Ketika pagi hari dokternya tiba, istri saya bertanya apakah nanti siang Zaki sudah diperbolehkan pulang. Dokter itu memberikan saran untuk rawat inap, setidaknya satu malam, sebab kondisi suhu tubuh akibat demam kejang biasanya masih belum stabil. Dan benar saja, Minggu malamnya suhu tubuh Zaki meninggi kembali! Beruntung masih ada infus...

Ngomong-ngomong soal ngamar, di klinik tersebut meski kamarnya cuma sedikit, tapi cukup eksklusif juga. Satu pasien satu kamar. Sempat saya menimbang-nimbang, kalau di puskesmas yang satu ruangan bisa untuk 8 pasien dengan tarif Rp30.000,- per harinya, ini mungkin lebih mahal lagi. Perkiraan saya mungkin bisa 50-60ribuan. Belakangan saya baru tahu bila tarif per harinya seratus ribu! Dan total biaya yang sebelumnya kami perkirakan sekitar 200 ribuan, meleset. Senin siangnya kami sudah menerima rincian biaya yang harus dibayar. Total jumlahnya hampir 500 ribu! Padahal, uang yang ada di dompet saya cuma seratus ribu. Akhirnya kami pulang dengan membayar seratus ribu dulu dan berjanji akan melunasinya nanti sore dengan jaminan KTP (huft!) meski, saya sendiri ragu darimana harus mendapatkan uang untuk membayar sisa tagihan tersebut.

Sampai di rumah saya langsung berembug dengan istri saya. Dan istri saya harus rela menyerahkan antingnya - satu-satunya perhiasan istri saya selain cincin maskawin – demi melunasi tunggakan itu.

Ah, maafkan aku, istriku. Mudah-mudahan kita diberi kelebihan rejeki agar aku bisa mengganti anting itu kembali.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, January 18, 2012

Saturday, January 14, 2012

ujungkelingking - Setelah tadi salah seorang rekan Kompasianers memposting tulisannya yang berjudul Logika “Dibalik Kesulitan, Ada  Kemudahan”, saya pun akhirnya latah ikut-ikutan menulis tema yang sama.

Dalam KBBI V1.1 kesulitan (sulit) diartikan dengan sukar sekali; susah (diselesaikan, dikerjakan, dsb). Sedangkan kemudahan (mudah) terdefinisikan sebagai tidak memerlukan banyak tenaga atau pikiran dl mengerjakan; tidak sukar; tidak berat; gampang.

Tapi ada definisi yang lebih mudah. Yaitu bahwa 'kesulitan' pada hakikatnya adalah kemudahan -yang kita belum menemukan penyelesaiannya. Sementara 'kemudahan' adalah sebenarnya hal yang sulit, hanya saja kita sudah tahu ilmunya. Satu masalah yang sama bisa berarti sulit bagi sebagian orang, tapi bisa juga hal yang sepele bagi sebagian yang lain. Contoh,

Bagi anak kelas 1 Sekolah Dasar hasil perkalian dari 5 x 5 tentu merupakan suatu persoalan yang pelik. Tapi tidak bagi Anda. Bagi anak saya, penjelasan bagaimana hujan bisa turun mungkin tak terjangkau oleh nalarnya, tapi saya bisa dengan mudah menjelaskan bagaimana hujan turun.

Karena itu kunci pembeda dari dua hal ini hanyalah pada deskripsi dari kata 'ilmu'. Dengannya, hal yang sulit bisa menjadi mudah. Tanpanya, hal yang mudah menjadi begitu sulit.

Jadi ungkapan bahwa "setelah kesulitan itu ada kemudahan", saya pikir tidaklah tepat. Karena sebenarnya, "bersama kesulitan itu ada kemudahan". Tinggal dari sisi mana posisi kita melihatnya, dari posisi orang yang berilmu atau sebaliknya.

Salam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, January 14, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!