Showing posts with label RENUNGAN. Show all posts
Showing posts with label RENUNGAN. Show all posts

Saturday, December 8, 2012

ujungkelingking - Bila kita mendengar istilah "salah pakai" atau "salah tempat", maka yang menjadi asumsi kita bahwa hal tersebut adalah hal yang salah, tidak benar, bisa juga memalukan dan membahayakan. Jadi, meskipun pada dasarnya hal tersebut adalah hal yang baik, namun jika salah kita dalam memakai dan menempatkannya maka hal tersebut bisa menjadi buruk.

Begitu juga dalam menerima dalil-dalil agama.

Islam adalah agama universal. Artinya penganut-penganutnya dari semua strata. Bisa orang-orang miskin atau orang kaya dan berpangkat, bisa rakyat biasa atau pemerintah, bisa laki-laki dan perempuan. Nah, ketika salah kita menempatkan dalilnya, akan menjadi salah pula dalam pentafsirannya. Ini yang kemudian mengkhawatirkan.

Ambil contoh sederhana, misalnya hadits yang menyebutkan bahwa senyum itu bisa menjadi sedekah,

"Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu." (Riwayat Tirmidzi) 

Menilik asbabu 'l-wurudh-nya (sebab-sebab turunnya hadits), hadits ini adalah untuk menjawab keluhan-keluhan shahabat yang gelisah ketika ingin bersedekah namun tidak memiliki kecukupan harta. Karena itu jika hadits ini diterapkan dan dijadikan pegangan oleh orang-orang yang memiliki kelebihan harta tentu tidak akan bisa menghasilkan impact yang diinginkan. Daripada menyedekahkan sebagian hartanya, tentu akan lebih "murah" menyedekahkan senyumannya. Padahal tidak demikian maksudnya.

Contoh lain, misalnya dalil tentang birru 'l-walidain (berbuat baik kepada kedua orangtua). Dalil-dalil yang seperti ini tentu lebih tepat bila dibaca oleh sang anak. Bila orangtua yang memakainya, bisa jadi dalil tersebut digunakan secara tidak bertanggung jawab. Eksploitasi, misalnya.

Dan tentu banyak lagi contohnya. Lalu bagaimana cara kita untuk menerima dalil-dalil semacam itu?


Berlaku adil adalah keharusan setiap Muslim

"...berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa..." (Al-Maaidah: 8)

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan..." (An-Nahl: 90)

Bahwa semua perintah dan larangan dalam Islam adalah baik, itu benar. Namun jangan lupa, agama ini juga mengajarkan untuk senantiasa berlaku adil. Adil adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, dan merupakan antonim dari dlolim. Dengan ini, seorang Muslim memiliki kecakapan untuk menempatkan diri dan beribadah sesuai dengan kapasitasnya.

Adil juga didefinisikan sebagai sikap pertengahan. Yaitu dalam menerima dalil (baca: hukum agama), kita tidak terjebak diantara dua kesalahan sikap ini: sikap meremehkan, dan; sikap melebih-lebihkan.

Meremehkan berarti menganggap biasa dan mengurangi antusiasme dalam melaksanakan ibadah, sehingga pada dalil yang menunjukkan hukum sunnah, diamalkan sebagai hal yang "seolah-olah" mubah saja. Sedang sikap melebih-lebihkan adalah bersikap terlalu ekstrim, sehingga yang seharusnya bisa dihukumi sunnah, dianggap sebagai amalan wajib yang karenanya jika tidak dilakukan menjadi berdosa.

Seorang Muslim harusnya seorang yang cerdas. Dikarunikan akal kepadanya agar dia bisa berhukum dengan akalnya (dalil aqli), namun tetap harus selaras dengan nash-nash Al-Qur'an dan hadits (dalil naqli).

Wallahu a'laam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, December 08, 2012

Saturday, December 1, 2012

ujungkelingking - Dalam Al-Qur'an, surah Al-Anfaal ayat 65, Allah subhanahu wa ta'alaa berfirman:


يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَفْقَهُونَ

 "Hai, Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada duapuluh orang yang sabar diantara kami, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti." (Al-Anfaal: 65)

Ini menarik.

Secara ringkas, ayat di atas menyebut bahwa 20 orang yang sabar dapat mengalahkan 200 orang kafir, dan 100 orang yang sabar mampu mengalahkan 1.000 orang kafir. Secara matematis bisa kita katakan perbandingan untuk keduanya adalah 1:10.

Nah, pertanyaannya adalah, kenapa Al-Qur'an tidak langsung saja menyebut "satu orang yang sabar bisa mengalahkan sepuluh orang kafir"?

***

Jawabannya tentu rasional. Karena memang cukup mustahil bila satu orang melawan sepuluh orang sekaligus. Akan tetapi -ini yang tadi saya katakan menarik- menjadi bukan mustahil jika 20 orang bisa mengalahkan 200 orang. Kuncinya ada pada, team-work.

Satu orang bisa saja kewalahan melawan sepuluh orang. Namun dengan kerja-sama yang solid, strategi yang apik dari hanya beberapa orang akan mampu mengalahkan jumlah yang jauh lebih besar. Sejarah banyak berbicara tentang ini.

Dengan kerja-sama banyak hal yang tidak mungkin dilakukan menjadi mungkin saja terjadi. Sama seperti filosofi sapu lidi, dengan bekerja dalam tim, kelemahan bisa menjadi kekuatan yang diperhitungkan.

Dalam konteks makro, kerja-sama ini bisa diartikan dengan banyak hal. Dalam kehidupan bernegara misalnya, kerja-sama bisa dimaknai sebagai hubungan yang terintegrasi antara pemimpin, pemegang kekuasaan, penasehat (ulama), dan rakyat biasa. Dalam hal pekerjaan, bekerja-sama berarti saling melengkapi antara atasan, operator dan sesama rekan kerja.

Namun, yang tetap penting untuk digaris bawahi sebagaimana judul tulisan ini bahwa kerja-sama itu haruslah dalam hal yang bersifat kebaikan.

"... Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya." (Al-Maaidah: 2)
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, December 01, 2012

Saturday, November 24, 2012

ujungkelingking - KH. Agus Ali Mashuri, seorang ulama' yang juga pengasuh di Pesantren Bumi Sholawat -kebetulan pesantren ini dekat dengan tempat tinggal saya- pernah menulis di tweetnya begini, "Jangan sekali-kali merasa malu memberi walaupun sedikit, sebab tidak memberi pasti lebih sedikit nilainya".

Dok. Pribadi

Saya sangat tertarik dengan kata-kata tersebut, karena bagi saya kata-kata tersebut dapat memotivasi untuk lebih sering memberi (baca: bersedekah), meski dalam jumlah yang tidak seberapa. Namun tentu saja, memberi lebih banyak akan jauh lebih banyak nilai (pahalanya).
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan) orang-orang yang menfkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulirnya seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqaraah:261)

Banyak yang menulis tentang keajaiban sedekah. Bahwa setiap sedekah itu akan dibalas hingga 700 kali lipat! Atau minimal 10 kali lipat berdasarkan keumuman ayat di bawah ini;
Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya, dan barang siapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (Al-An'aam:160)

Inilah janji Allah. Dan ketika Allah sudah berjanji, maka hal itu hakikatnya bukanlah janji melainkan ketetapan-Nya. Dan segala ketetapan-Nya pastilah akan terjadi.

Nah, fakta menariknya adalah bahwa Allah tidak pernah butuh terhadap amal baik atau sedekah kita. Karena itulah setiap kali kita bersedekah, maka sedekah itu akan langsung dikembalikan kepada kita dengan lebih banyak dan segera! Jika kita bersedekah Rp.10.000,- misalnya, maka uang itu akan dikembalikan kepada kita dengan jumlah minimal Rp.100.000,-. Ini minimal lho, dan ini bisa dibuktikan!

Namun yang harus diingat adalah bahwa pengembalian Allah itu tidak selalu berbentuk uang. Pengembalian dari Allah itu bisa saja berupa benda, hadiah dari seseorang, atau keselamatan. Misalnya, biaya untuk operasi patah tulang karena  kecelakaan motor adalah sekitar satu juta rupiah. Namun karena kita pagi hari tadi sempat bersedekah seratus ribu, maka Allah memberi pengembalian berupa diselamatkan dari kecelakaan motor sehingga kita tidak jadi mengeluarkan uang untuk operasi.

Memang, segala yang baik perlu dipaksakan pada awalnya. Butuh latihan. Apalagi ketika kita merasa bahwa uang yang ada pada kita tinggal sedikit, sehingga bersedekah meski cuma beberapa ribu akan terasa sangat berat.


Lalu, bagaimana mensiasatinya?

Islam, menilai lebih untuk kontinuitas. Hal yang remeh namun istiqomah lebih dihargai daripada hal yang besar namun cuma "sekali pakai".

Jadi seperti ungkapan yang saya kutip diatas, mulailah bersedekah setiap hari meski seribu atau dua ribu rupiah. Tak peduli kepada siapa, pengemis atau pengamen, anak jalanan atau penjaga perlintasan kereta api. Tidak peduli akan digunakan untuk apa uang tersebut, jangan sok ikut-ikutan mengatur rejeki orang. Ada Allah yang Maha Mengatur. Maksudnya begini, jika memang uang pemberian kita itu adalah merupakan rejeki bagi orang tersebut, maka uang itu akan bermanfaat bagi dia. Namun, jika uang itu bukanlah rejeki dia, maka akan ada saja cara uang itu berpindah darinya tanpa ada nilai pahala dan manfaatnya.

Dan jangan pikirkan uang itu lagi. Ini definisi ikhlas, menurut saya. Tidak akan terasa berat jadinya.

Yang berat itu hanya jika kita tidak ikhlas.

Setelah itu, tunggulah pengembalian dari Allah. Jika Anda diberi banyak, maka lebih banyaklah lagi dalam memberi. Itu definisi syukur.

Dan selalulah ingat bahwa pengembalian yang paling berguna bagi kita adalah pengembalian berupa kesehatan. Karena saat kita sakit, harta yang banyakpun sering tak banyak membantu.

Bersegeralah dalam bersedekah. Karena bala' bencana itu tidak pernah bisa mendahului sedekah. (Hadits Rasulullah)

Bismillah,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, November 24, 2012

Monday, November 19, 2012

ujungkelingking - Menyampaikan dakwah kepada masyarakat awam bukanlah hal yang mudah. Seringkali bukan penerimaan yang didapat, namun justru penolakan yang keras.

Apa yang salah?

Hidayah memang milik Allah, namun Dia membuat hidayah itu teranugerahi kepada seseorang melalui usaha. Rasulullah shallallahu alaihi wa salaam –tauladan kita- mencontohkan, ketika beliau mengutus shahabat Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhumaa untuk berdakwah ke Yaman beliau menyampaikan pesan yang cukup singkat kepada keduanya.
"Mudahkan urusan dan jangan mempersulit. Beri kabar gembira dan jangan membuat mereka lari." (Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain diceritakan bahwa Mu’adz bin Jabal sholat Isya' bersama Rasulullah lalu pulang ke masjid kampungnya di Bani Salimah dan mengimami sholat orang-orang di sana dengan membaca surat Al-Baqarah. Karena sholat tersebut cukup panjang, seorang laki-laki kemudian ada yang keluar dari barisan dan memilih sholat sendiri. Maka setelah itu Mu’adz menegurnya. Laki-laki ini tidak terima dan mengadu kepada Rasulullah bahwa sholat Mu’adz terlalu panjang sedangkan dia telah lelah bekerja seharian. Rasulullah pun menegur Mu’adz, lalu bersabda,
“Sesungguhnya di antara kalian ada yang membuat lari orang lain.”

Kita, sering tanpa sadar menjadi orang yang termasuk dalam sabda Rasulullah di atas ketika kita mendakwahkan hal-hal yang memberatkan mereka, yaitu dengan menekankan hal-hal yang sunnah “seolah” menjadi wajib, dan menekankan hal mubah “seolah” menjadi makruh atau bahkan haram.

Tulisan ini bukan untuk melemahkan semangat kita untuk menjalankan yang sunnah dan menjauhi yang mubah, namun untuk memberi pengertian bahwa seringkali kita mendakwahkan sesuatu yang tanpa kita sadari ternyata memberatkan objek dakwah kita, yaitu dengan mengesankan bahwa yang sunnah itu wajib, dan yang mubah itu makruh atau haram.

Dakwahkanlah bagi mereka yang awam, yang mudah dan tidak menyulitkan, supaya tidak lari duluan. Yang wajib dulu dan yang paling mudah mereka terima, sebelum yang sunnah. Ketika mendakwahkan hal-hal yang diharamkan Allah, juga perlu pelan-pelan. Jangan sampai belum apa-apa sudah bid’ah, sudah haram. Mungkin tidak ada yang salah dari dakwah itu, namun semua itu ada urutannya, ada tahapnya.

Diambil dari Muslim.or.id
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, November 19, 2012

Thursday, October 18, 2012

ujungkelingking - Saat kita meninggal dunia dan dikuburkan, maka beberapa waktu lamanya jasad kita akan menjadi tulang-belulang. Kemudian setelah beberapa tahun, tulang-belulang itu pun akan hancur dan berubah menjadi semacam biji. Dan di dalam biji tersebut kita akan menemukan satu tulang yang sangat kecil. Tulang itu disebut 'ajbudz dzanab atau tail-bone (tulang ekor).



Dan dari tulang inilah kita akan kembali dibangkitkan.
"Tidak ada bagian dari tubuh manusia kecuali akan hancur (dimakan tanah) kecuali satu tulang, yaitu tulang ekor, darinya manusia dirakit kembali pada hari Kiamat." (Al-Bukhari: 4935)
Dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah shallallhu alaihi wa salaam bersabda, "Seluruh bagian tubuh anak Adam akan (hancur) dimakan tanah kecuali tulang ekor ('ajbudz dzanab), darinya tubuh diciptakan dan dengannya dirakit kembali." (Muslim: 2955)

Belasan abad lamanya, hadits tersebut menjadi hal yang tidak mungkin bisa dijelaskan dengan logika. Seiring berjalannya waktu beberapa penelitian ilmiah mampu menjelaskan kebenaran hadits tersebut dikemudian hari. Seiring kemajuan teknologi, fungsi organ tersebut kian terkuak: tulang ekor menyangga tulang-tulang di sekitar panggul dan merupakan titik pertemuan dari beberapa otot kecil. Tanpa tulang ini, manusia tidak akan bisa duduk nyaman.

Seorang ilmuwan Jerman, Han Spemann, berhasil mendapatkan hadiah nobel bidang kedokteran tahun 1935. Dalam penelitiannya ia dapat membuktikan bahwa asal mula kehidupan adalah tulang ekor. Darinyalah makhluk hidup bermula.

Dalam penelitiannya ia memotong tulang ekor dari sejumlah hewan melata, lalu mengimplantasikan ke dalam embrio organizer atau pengorganisir pertama. Saat sperma membuahi ovum, maka pembentukan janin dimulai. Ketika ovum telah terbuahi (zigot), ia terbelah menjadi dua sel dan terus berkembang biak. Sehingga terbentuklah embryonic disk (lempengan embrio) yang memiliki dua lapisan. Lapisan pertama, external epiblast yang terdiri dari cytotrophoblasts, berfungsi untuk menyuplai makanan embrio pada dinding uterus, dan menyalurkan nutrisi dari darah dan cairan kelenjar pada dinding uterus. Sedangkan lapisan kedua, internal hypoblast yang telah ada sejak pembentukan janin pertama kalinya. Pada hari ke-15, lapisan sederhana muncul pada bagian belakang embrio dengan bagian belakang yang disebut primitive node (gumpalan sederhana).

Dari sinilah kemudian beberapa unsur dan jaringan, seperti ectoderm, mesoderm, dan endoderm terbentuk. 
Ectoderm, membentuk kulit dan sistem syaraf pusat. Mesoderm, membentuk otot halus sistim digestive (pencernaan), otot skeletal (kerangka), sistem sirkulasi, jantung, tulang pada bagian kelamin, dan sistem urine (selain kandung kemih), jaringan subcutaneous, sistem limpa dan kulit luar. Sedangkan, endoderm, membentuk lapisan pada sistim digestive, sistem pernafasan, organ-organ yang berhubungan dengan sistem digestive (seperti hati dan pancreas), kandung kemih, kelenjar thyroid (gondok), dan saluran pendengaran. Gumpalan sederhana inilah yang mereka sebut sebagai, tulang ekor.

Pada penelitian lain, Han mencoba menghancurkan tulang ekor tersebut. Ia menumbuknya dan merebusnya dengan suhu panas yang tinggi dan dalam waktu yang lama. Setelah menjadi serpihan halus, ia mencoba mengimplantasikan bubuk tulang itu pada janin lain yang masih dalam tahap permulaan embrio. Hasilnya, tulang ekor itu tetap tumbuh dan membentuk janin sekunder pada guest body (organ tamu). Meskipun telah ditumbuk dan dipanaskan sedemikian rupa, tulang ini tidak "hancur"
.

Dr. Othman al-Djilani dan Syaikh Abdul Majid juga melakukan penelitian serupa. Pada Ramadhan 1423 H, mereka berdua memanggang tulang ekor dengan suhu tinggi selama sepuluh menit. Tulang pun berubah menjadi hitam pekat. Kemudian keduanya membawa tulang itu ke al-Olaki Laboratory, Sana’a, Yaman, untuk dianalisis. Setelah diteliti oleh Dr. al-Olaki, profesor bidang histology dan pathologi di Sana’a University, ditemukanlah bahwa sel-sel pada jaringan tulang ekor tidak terpengaruh. Bahkan sel-sel itu dapat bertahan walau dilakukan pembakaran lebih lama!

Dari sinilah, balasan pada hari kiamat kelak tidak akan pernah tertukar. Dari tulang ekor inilah, manusia akan kembali dicipta, dan mereka akan diberi balasan sesuai dengan kadar amal-amal mereka.

Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata. Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh?" Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pada kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk." (QS. Yaassin: 77-79)

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?" (Fushshilat: 53) 

Maha besar Allah dengan segala Kekuasaannya

nb: di-share dari Google+
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, October 18, 2012

Wednesday, September 19, 2012

ujungkelingking - Sekilas mengamati perkembangan kasus video Innocence of Mosleem –tentang peghinaan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa salaam- yang diunggah di youtube pada 11 (atau 12?) September kemarin, yang menyebabkan kecaman dan protes di berbagai negara di dunia. Bahkan korban luka dan tewas berjatuhan, baik di pihak demonstran pun juga polisi.

Banyak yang menyayangkan reaksi spontan dari kaum Muslimin itu. Tidak sedikit pula yang menganggap bahwa terunggahnya video tersebut adalah “jebakan” untuk men-justifikasi bahwa Islam itu memang mengajarkan kekerasan dan teror. Mereka berpendapat jika kita melakukan protes keras semacam itu –bahkan sampai terjadi bentrok- maka sebenarnya kita telah memuluskan tujuan video tersebut. Memecah umat Islam dengan cara seperti ini adalah hal yang mudah. Karena itu hal paling relevan adalah mengabaikan video tersebut. Mereka juga mengatakan bahwa Rasulullah dahulu saja diam-tidak merespon apa-apa ketika diri beliau diolok-olok kaum kafir Qurays, jadi kenapa kita musti marah-marah ketika Rasul diejek?

Namun di lain pihak, ada juga yang berpendapat bahwa hal-hal yang semacam ini tidak boleh dibiarkan. Sebab jika diabaikan, bukan tidak mungkin mereka merasa bahwa umat Islam baik-baik saja lalu mengunggah video yang lain. Ketika saat itu kita juga diam, dan seterusnya juga diam, lalu dimana izzah kalian, wahai kaum Muslimin?! Orang-orang di luar Islam akan seenaknya saja mengobok-obok Islam.

Bahwa dahulu Rasulullah ­shallallahu alaihi wa salaam diam saja, hal itu karena yang diolok-olok adalah diri beliau sendiri. Personal. Karena itu beliau bersabar. Tapi lihat ketika yang dilecehkan adalah agama, maka perang, adalah hal yang hampir tidak terelakkan.

Nah, ketika kita menerapkan rumusan ini dalam kehidupan kita, maka ketika diri kita yang diejek dan diperolok, bereaksi diam dan bersabar adalah respon yang diajarkan. Namun jika agama yang dilecehkan (termasuk di dalamnya adalah Allah dan Rasul-Nya) maka keharusan bagi kita adalah mengecam dan memprotes!

Namun satu hal yang penting untuk digaris-bawahi adalah bahwa kecaman dan protes kita hendaknya sesuai dengan kapasitas kita sebagai warga negara. Bahwa kita harus bereaksi, adalah benar. Namun, merusak fasilitas publik, apalagi yang sampai menimbulkan korban jiwa adalah hal yang dilarang Islam.

Maka bagi seorang presiden, kecamlah dan proteslah dengan kekuasaan yang dimilikinya. Bagi seorang politikus, kecamlah dengan menggunakan fasilitas politiknya. Bagi seorang yang melek teknologi, proteslah dengan teknologi yang dikuasainya. Mungkin memblokir peredarannya atau sekedar men-dislikes videonya bukan hal yang sulit. Bagi yang memiliki jaringan luas di jejaring sosial bisa melakukan klarifikasi dari sana. Bagi kita –masyarakat sipil- yang tidak memiliki kekuasaan dan ilmu apa-apa, maka proteslah dengan do’a dan mencoba mempertebal keyakinan kita dengan lebih banyak lagi mempelajari Islam.

Mudah-mudahan Allah berkenan menampakkan kekuasaanNya.

Dan tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk tidak bereaksi. Diam dan abai, adalah hal yang naif.


من رأى منكم منكرا فليغيره بيده ، فإن لم يستطع فبلسانه ، فإن لم يستطع فبقلبه ، وذلك أضعف الإيمان  رواه مسلم

Barang siapa diantara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Maka bila ia tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Maka bila ia tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemahnya iman. (Muslim)

Hasbunallah wa ni’mal wakiil…  
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, September 19, 2012

Friday, August 31, 2012

ujungkelingking - Dari sebuah khutbah Jum'at...

Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Muslim Indonesia bahwa ketika menjelang hari raya 'Idul Fitri, mereka berbondong-bondong untuk mudik. Istilah "mudik" sendiri biasa diartikan sebagai pulang ke kampung atau ke desa. Artinya dari kota menuju desa. Atau bisa dipakai definisi: melawan arus. Disini sang khatib mencoba mempertanyakan kenapa digunakan istilah "mudik"?

Kenapa tidak memakai istilah "turun", karena secara strata-sosial, kota biasanya diposisikan lebih tinggi daripada desa? Kenapa juga tidak digunakan kata "ngintir" (bhs. jawa, mengikuti arus), padahal pada waktu-waktu seperti itu hampir semua masyarakat kita melakukan tradisi yang sama?

Rupanya, menurut sang khatib, desa memiliki sesuatu yang sulit ditemukan di kota. Dia adalah kerukunan, kegotong-royongan, kedamaian, persaudaraan, dan ke-religius-an.

Pernah, seorang peneliti (maaf, saya kurang dengar namanya) melakukan tes unik untuk melihat perbedaan kehidupan di kota dan desa. Si peneliti ini kemudian membeli 2 buah mobil yang sama merk-nya, jenis dan warnanya. Kemudian, salah satu dari mobil itu diletakkan di sebuah kota, dan mobil yang satunya diletakkan di sebuah desa. Si peneliti ini kemudian mengamati apa yang terjadi beberapa hari ke depan.

Seminggu setelah diletakkan di tempatnya, mobil yang ditempatkan di kota telah hilang roda bagian depannya, sedang mobil yang berada di desa masih utuh. Dua minggu berikutnya mobil yang berada di kota atapnya sudah terlepas, sedang mobil yang berada di desa masih tetap utuh. Dan begitulah.

Namun, sungguhpun demikian, mudik yang seperti yang biasa dilakukan orang-orang ini dinilai sang khatib sebagai mudik yang kecil dan mudik yang biasa-biasa saja. Karena sebenarnya ada mudik yang jauh lebih besar dan jauh lebih penting. Yaitu mudik kita ke hadirat Allah subhanahu wa ta'ala.

Untuk mudik yang kecil saja kita rela merepotkan diri untuk mempersiapkan segala sesuatunya. maka untuk mudik yang lebih besar dan lebih penting ini sudah sepatutnyalah kita jauh lebih bersungguh-sungguh.

Karena itu, secara luas, kehidupan kita di dunia ini, dan khusus Ramadhan yang baru saja kita lewati dan (insyaallah) Ramadhan di tahun-tahun berikutnya adalah sarana untuk men-training dan mempersiapkan diri untuk mudik yang pasti setiap kita akan menjalaninya.

Maka kita akan bersungguh-sungguh beribadah, mengharap ridha-Nya. Agar nantinya kita benar-benar diterima saat mudik ke hadirat-Nya.

Hasbunallah wa ni'mal wakiil, ni'mal maula wa ni'man nasiir...
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, August 31, 2012

Thursday, August 23, 2012

ujungkelingking - Sebelumnya, perkenankanlah kami mengucapkan:

Taqabbalallahu minna wa minkum

Mohon maaf lahir dan batin, mudah-mudahan puasa kita yang kemarin diterima oleh Allah subhanahu wa ta'ala dan puasa tersebut mampu menjadikan kita manusia-manusia yang bertaqwa.

Amin, ya Robbal 'alamiin....

***

Sudah menjadi tradisi bagi kita -umat Muslim di Indonesia pada khususnya- bahwa setelah kita melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh, kita memasuki lebaran yang oleh sebagian orang disebut dengan "Hari Raya Kupat" (bhs. Jawa, ketupat).

Nah, mengutip apa yang diistilahkan oleh Sunan Bonang, menurut terminologi beliau bahwa kata "kupat" memiliki makna "laku sing papat", yang juga dalam bahasa Jawa berarti keadaan yang empat, atau empat keadaan. Maksudnya adalah bahwa ketika seseorang sudah sempurna melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, maka dia akan memiliki empat hal berikut ini, yaitu: lebar, lebur, luber, labur.

Pen-definisi-an untuk masing istilah tersebut adalah kurang-lebih sebagai berikut:

  1. Lebar, berarti habis atau penghabisan. Maksudnya ketika ketika sudah memasuki hari raya, berarti puasa Ramadhan sudah selesai. Tidak ada lagi puasa Ramadhan.
  2. Lebur, maknanya adalah kita terbebas dari dosa. Karena dalam banyak riwayat dijelaskan bahwa puasa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas mampu menggugurkan dosa-dosa.
  3. Luber, maksudnya melimpah-lah pahala kita. Sebab Allah sendiri yang akan meng-kalkulasi pahala untuk kita. Berbeda dengan ibadah-ibadah lain yang hitung-hitungan pahalanya sudah ada, puasa justru tidak ada keterangan tentang itu. Ya, Allah sendiri yang langsung menghitungnya!
  4. Labur, memiliki makna rata, atau bersih. Ya, kebersihan diri dan hati akan kita dapatkan setelah melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh.

Setelah ini, kita masih punya amalan lain yang harus kita upayakan untuk kita kerjakan. Yaitu puasa Syawal.
Nabi menjelaskan bahwa jika seseorang telah berpuasa Ramadhan, kemudian dilanjutkan dengan berpuasa Syawal (yaitu 6 hari di bulan Syawal), maka dia telah berpuasa setahun penuh!

Bismillah,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, August 23, 2012

Tuesday, August 14, 2012

“Wahai umat manusia, dengarkanlah yang akan aku katakan di sini. Mungkin saja setelah tahun ini, aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian di tempat ini untuk selamanya.”

Mendengar ucapan Rasulullah, sebagian pengikutnya terheran-heran, sebagian lagi tertunduk sedih, sebagian lagi terdiam karena penasaran menanti perkataan Rasulullah selanjutnya.

Rasulullah berkata, ”Tahukah kalian, bulan apa ini?”

Mereka serentak menjawab, ”Bulan Haram!”

Rasulullah mengulangi lagi kalimatnya,

“Wahai manusia, dengarkanlah apa yang hendak kukatakan. Mungkin setelah tahun ini, aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian di tempat ini untuk selama-lamanya…. 

Hai manusia, sesungguhnya darah dan harta benda kalian adalah suci bagi kalian seperti hari dan bulan suci sekarang ini di negeri kalian ini. Ketahuilah, sesungguhnya segala bentuk perilaku dan tindakan jahiliyah tidak boleh berlaku lagi. Tindakan menuntut balas atas kematian seseorang sebagaimana yang berlaku di masa jahiliyah juga tidak boleh berlaku lagi. Tindak pembalasan jahiliyah seperti itu pertama kali kunyatakan tidak berlaku ialah tindakan pembalasan atas kematian Ibnu Rabi‘ bin al Harits.

Riba jahiliyah tidak berlaku, dan riba yang pertama kunyatakan tidak berlaku adalah riba Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya segala macam riba tidak boleh berlaku lagi.

Hai manusia, di negeri kalian ini, setan sudah putus harapan sama sekali untuk dapat disembah lagi. Akan tetapi ia masih menginginkan selain itu. Ia akan merasa puas bila kalian melakukan perbuatan yang rendah. Karena itu hendaklah kalian jaga baik-baik agama kalian!

Hai manusia sesungguhnya menunda berlakunya bulan suci akan menambah besarnya kekufuran. Dengan itulah orang-orang kafir menjadi tersesat. Pada tahun yang satu mereka langgar dan pada tahun yang lain mereka sucikan untuk disesuaikan dengan hitungan yang telah ditetapkan kesuciannya oleh Allah. Kemudian mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah.

Sesungguhnya jaman berputar seperti keadaannya pada waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun adalah dua belas bulan. Empat bulan diantaranya adalah bulan-bulan suci. Tiga bulan berturut-turut: Dzul Qa‘dah, Dzul Hijjah, dan Muharram. Bulan Rajab adalah antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya‘ban.

Takutlah Allah dalam memperlakukan kaum wanita, karena kalian mengambil mereka sebagai amanat Allah dan kehormatan mereka dihalalkan bagi kalian dengan nama Allah. Sesungguhnya kalian mempunyai hak atas para istri kalian dan mereka pun mempunyai hak atas kalian. Hak kalian atas mereka ialah mereka sama sekali tidak boleh memasukkan orang yang tidak kalian sukai ke dalam rumah kalian. Jika mereka melakukan hal itu maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan. Sedangkan hak mereka atas kalian ialah kalian harus memberi nafkah dan pakaian kepada mereka secara baik.

Maka perhatikanlah perkataanku itu, wahai manusia, sesungguhnya aku telah sampaikan. Aku tinggalkan sesuatu kepada kalian, yang jika kalian pegang teguh, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.

Wahai manusia, dengarkanlah taatlah sekalipun kalian diperintah oleh seorang hamba sahaya dari Habasyah selama ia menjalankan Kitabullah kepada kalian. Berlaku baiklah kepada para budak kalian. Berilah mereka makan apa yang kalian makan dan berilah pakaian dari jenis pakaian yang sama dengan kalian pakai. Jika mereka melakukan sesuatu kesalahan yang tidak bisa kalian ma‘afkan maka juallah hambah-hamba Allah itu dan janganlah kalian menyiksa mereka.

Wahai manusia, dengarkanlah perkataanku dan perhatikanlah! Kalian tahu bahwa setiap orang Muslim adalah saudara bagi orang-orang Muslim yang lain, dan semua kaum Muslimin adalah saudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu dari saudaranya kecuali yang telah diberikan kepadanya dengan senang hati, karena itu janganlah kalian menganiaya diri sendiri …

Ya Allah sudahkah kusampaikan?

Kalian akan menemui Allah maka janganlah kalian kembali sesudahku menjadi sesat, sebagian kalian memukul tengkuk sebagian yang lain. Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, barangkali sebagian orang yang menerima kabar (tidak langsung) lebih mengerti daripada orang yang mendengarkannya (secara langsung). Kalian akan ditanya tentang aku maka apakah yang hendak kalian katakan?”

Kaum Muslimin menjawab:

“Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan (risalah), telah menunaikan dan memberi nasehat.“ 

Kemudian seraya menunjuk ke arah langit dengan jari telunjuknya, Rasulullah saw bersabda: “Ya Allah, saksikanlah, saksikanlah, saksikanlah”


*Dari beberapa sumber
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, August 14, 2012

Wednesday, July 18, 2012

ujungkelingking - Awas, menjelang Ramadlan seperti ini atau nanti menjelang hari raya 'Idul Fitri siap-siap saja hape Anda kebanjiran SMS Minta Maaf. Hal tersebut sepertinya sudah mendarah-daging dalam budaya orang-orang Islam di Indonesia, khususnya.

Lho, apa salahnya meminta maaf? Tentu saja tidak salah. Dan hal itu malah diwajibkan oleh Islam.

"Orang yang pernah menzalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari ini ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari dimana tidak ada ada dinar dan dirham. Karena jika orang tersebut memiliki amal shalih, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezhalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal shalih, maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zhalimi
(HR. Bukhari no.2449)

Nah, yang saya anggap tidak benar di sini adalah bila meminta maaf tersebut dikhususkan (atau menunggu) menjelang Ramadlan atau menjelang hari raya. Meminta maaf seharusnya adalah dilakukan secepatnya saat kita menyadari kesalahan yang kita lakukan. Karena itu tidak ada anjuran untuk meminta maaf menjelang Ramadlan, pun hari raya.

Umumnya, tradisi yang tengah berkembang di dalam masyarakat Muslim ini didasarkan pada hadits di bawah ini,

Ketika Rasullullah sedang berkhutbah pada Shalat Jum’at (dalam bulan Sya’ban), beliau mengatakan Amin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasullullah mengatakan Amin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan Amin. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Amin sampai tiga kali. Ketika selesai shalat Jum’at, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan: “Ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasullullah Amin-kan do’a ku ini,” Jawab Rasullullah.

Do’a Malaikat Jibril itu adalah, “Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadlan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:

1) Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
2) Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri;
3) Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.

Namun menurut muslim.or.id, hadits tersebut adalah hadits palsu dan tidak jelas asal-muasalnya. Dan -masih menurut sumber yang sama- ada hadits yang memiliki kemiripan redaksi dengan hadits di atas, dan inilah yang lebih shahih:

Dari Abu Hurairah: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam naik mimbar lalu bersabda: "Amin, Amin, Amin". Para sahabat bertanya: “Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?” Kemudian beliau bersabda, “Baru saja Jibril berkata kepadaku: "Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadlan tanpa mendapatkan ampunan", maka kukatakan, "Amin", kemudian Jibril berkata lagi, "Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak membuatnya masuk surga (karena tidak berbakti kepada mereka berdua)", maka aku berkata: "Amin". Kemudian Jibril berkata lagi, "Allah melaknat seorang hamba yang tidak bershalawat ketika disebut namamu", maka kukatakan, "Amin”.

Karena itulah, meski postingan ini di-publish menjelang Ramdlan, tidak ada niatan dari saya untuk mengkhususkan meminta maaf pada hari ini. Ibarat pepatah, tak ada tembok perumahan yang tak retak, sebagai manusia pastilah terselip tulisan, pandangan atau komentar saya yang menyinggung Anda.

Jadi, maafkanlah...

***

nb: kalau tidak mau maafin, maka T.E.R.L.A.L.U.

Mengenai derajat hadits bisa dilihat di SUMBER

Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, July 18, 2012

Monday, July 9, 2012

ujungkelingking - Karena ada suatu kepentingan yang tidak biasanya, hari ini saya berangkat ke tempat kerja tidak dengan menggunakan motor seperti biasanya, akan tetapi saya naik bus kota. Tepatnya Bus "Hijau" jurusan Mojokerto-Surabaya.

Apakah ini merupakan pengalaman baru bagi saya? Tidak juga. Dulu, ketika masih berstatus pelajar saya setiap hari menggunakan angkutan publik macam ini. Saya baru tidak lagi menggunakannya ketika saya sudah bekerja dan memiliki motor sendiri sampai sekarang, saat saya sudah memiliki dua orang putra.

Lalu, apa yang baru di sini?

Sebenarnya, memang, ada hal-hal baru yang saya dapatkan ketika saya naik bus kota pagi ini. Yang sederhana saja, saya bisa mengamati dengan detil bangunan-bangunan atau kantor-kantor, yang itu tidak bisa saya lakukan ketika saya harus berkonsentrasi dengan kemacetan di jalan raya.

Lalu apa lagi?

Sudut pandang! Ya, saya menemukan sudut pandang baru dalam melihat siapa saya, atau bagaimana orang memandang saya secara umum.

Begini, saat saya naik bus kota, saya tentu melihat banyak pengendara-pengendara motor yang berseliweran di dekat bus yang saya tumpangi. Saya kemudian membayangkan bahwa saya adalah salah satu diantara pengendara-pengendara tersebut dan berada di tengah-tengah. Maka saya pun tahu bagaimana orang menilai saya.

Selama ini saya beranggapan -misalnya saja- menyalip kendaraan lain dari sisi sebelah kiri atau memotong di depan kendaraan-kendaraan besar adalah hal yang lumrah dan wajar. Tapi saya baru mengetahui bahwa dari sudut pandang pengemudi bus dan penumpang yang lain bahwa hal semacam itu adalah hal yang tolol. Bila saya menganggap bahwa dapat menyalip kendaraan besar adalah suatu hal yang hebat, maka sebenarnya hal itu adalah hal yang konyol. Toh kalau pengemudi kendaraan besar tersebut tak dapat mengendalikan kendaraannya, yang hancur-lebur ya saya sendiri, si pengendara motor.

Tapi saya yang pengendara motor berkilah, “Mau bagaimana lagi? Kemacetan terus terjadi di sepanjang perjalanan, apalagi pada jam-jam sibuk. Sementara saya dituntut untuk tidak telat masuk kerja? Jadi, itulah yang saya lakukan, bermanuver.”

Saya yang berada di dalam bus menjawab, “Terjebak macet ketika jam-jam kerja memang suatu hal yang tak terelakkan. Tapi orang yang bijak akan memilih berangkat lebih pagi untuk menghindari hal tersebut. Berangkat lebih pagi, perjalanan lebih santai dan aman, dan tidak telat masuk kantor.”

Lagi-lagi saya yang pengendara motor membalas, “Bagaimana mungkin saya berangkat lebih pagi kalau bangun saja sudah siang?”

Saya yang di dalam bus menjawab, “Semua tergantung kebiasaan. Kenapa tidak mencoba tidur lebih sore sehingga bangun lebih dini dan berangkat kerja lebih pagi?”

Akhirnya, saya yang pengendara motor tercenung. Benar sekali. Semua tergantung bagaimana cara kita me-manage waktu. Selama ini saya memang betah berlama-lama nonton tivi sampai malam. Akibatnya sholat Shubuh-pun kerap ketinggalan. Padahal, bangun dan mandi lebih pagi juga lebih sehat, kan?
Ah, saya jadi menyadari kebodohan saya selama ini. Bercepat-cepat di jalan raya dengan resiko yang tidak kecil, sementara ada cara lain yang lebih aman dan sehat? Ya, ya… mulai besok saya akan mencoba cara baru ini. Belajar lebih mengendalikan waktu dan bukannya dikejar-kejar waktu.

Namun, sebelum pergi, saya yang pengendara motor tersenyum setengah mengejek kepada saya yang di dalam bus sambil berkata, “Emang bisa???”

Hahaha...
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, July 09, 2012

Thursday, July 5, 2012

ujungkelingking - Dalam beberapa “jengkal” lagi seluruh umat Islam di dunia akan memasuki bulan suci penuh berkah. Bulan Ramadlan, namanya.

Dan sudah jamak terjadi bahwa penetuan awal Ramadlan dan atau awal Syawal rentan terjadi perbedaan. Biasanya, bila penentuan awal Ramadlannya berbeda maka lebarannya bisa bersamaan. Tapi jika awal puasanya bersamaan, maka sholat ‘Id kita bisa berbeda.

Tentu, kita sering mendengar kalimat bahwa perbedaan adalah rahmat. Tapi benarkah demikian jika yang terjadi kemudian adalah perselisihan? Tentu saja mereka yang berada di atas bisa dengan legowo mengatakan “Kami menghormati setiap perbedaan. Silahkan saja berbeda dengan kami, toh semua ada dasarnya, jadi tak masalah memilih yang manapun”. Tapi bagi kami-kami yang berada di bawah -yang notabene lebih banyak yang awam (baca: bodoh) masalah-masalah ikhtilaf seperti ini hanya akan melahirkan sekat-sekat, bahkan di kampung kami sendiri.

Orang-orang yang pernah saya tanyai umumnya berpendapat (dengan bahasa saya sendiri) bahwa “satu (orang pintar) itu bagus, banyak itu bencana”. Jadi keinget film-nya The Avenger, dimana banyak jagoan bersatu malah masing-masing menganggap yang lain tak lebih hebat dari dirinya…

Banyak yang pintar (atau mengaku pintar), lalu akhirnya masing-masing punya cara sendiri -dalam hal ini- menentukan awal Ramadlan dan awal Syawal. Ormas ini bilangnya tanggal sekian, ormas yang lain bilangnya lain lagi, pun pemerintah juga berbeda. Lagi-lagi, kami-kami ini yang bodoh yang menjadi korban kebingungan.

Padahal, di jaman Rasulullah dahulu, satu orang saja yang melihat hilal (memang dulu, ini satu-satunya cara), maka otomatis yang lain mengikuti, dengan syarat orang tersebut adalah orang yang tsiqah (terpercaya). Maka, berkaca dari situ mestinya baik ormas ataupun pemerintah seyogyanya bisa satu kata dalam hal-hal semacam ini.

Wah, sulit bro… Sebagian ormas malah tidak suka dianggap “ngikut” pemerintah. Lebih baik berbeda, tapi hasil pengkajian sendiri. (Begitu, atau tidak begitu?)

Lalu bagaimana dengan bunyi, “Taatilah Allah. Dan taatilah Rasul-dan ulil amri diantara kalian”? (Al-ayat)

Maka, sidang itsbat yang akan digelar Menteri Agama (baca: Pemerintah) adalah kuncinya. Disana nanti semua ormas Islam di seluruh Indonesia akan berkumpul dan menyampaikan pendapatnya tentang awal Ramadlan atau awal 'Id. Dan pasti akan ada perbedaan pendapat. Maka, setelah palu diketok tanda putusan sudah final, maka seluruh ormas diharapkan dengan takzim mengikuti hasil putusan tersebut.

Dan diharapkan kita tak lagi disibukkan dengan masalah-masalah seperti ini lagi…

bismillah…
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, July 05, 2012

Thursday, June 21, 2012

ujungkelingking - Sebuah cerita dari seorang rekan Kompasianer...

***

Suatu pagi, di sebuah ruang tamu, seorang lelaki muda menghadapi seorang lelaki setengah baya, untuk "merebut" sang perempuan muda dari sisinya.

"Oh, jadi engkau yang akan melamar itu?" tanya sang setengah baya yang rupanya adalah ayah si gadis.

"Iya, Pak," jawab si pemuda.

"Apakah engkau telah mengenalnya dalam-dalam?" tanya sang ayah sambil menunjuk si perempuan.

"Ya Pak. Sangat kenal." jawab si pemuda, mencoba meyakinkan.

"Lamaranmu kutolak!" Jawab sang ayah tegas, "Berarti engkau telah pacaran dengannya selama ini? Tidak bisa! Aku tidak bisa mengijinkan pernikahan yang diawali dengan model seperti itu!" sergah sang ayah.

Si pemuda tergagap, “Enggak kok pak, sebenarnya saya hanya kenal sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan lalu.”

Sang ayah berkata lagi, “Kalau begitu lamaranmu kutolak. Itu seperti membeli kucing dalam karung kan? Aku tak mau kau akan gampang menceraikannya karena kau tak mengenalnya. Jangan-jangan kau nggak tahu anakku ini siapa?” balas sang ayah keras.

Ini situasi yang sulit. Sang gadis mencoba membantu si pemuda. Dia berbisik kepada ayahnya, "Ayah, dia dulu aktivis, lho."

"Kamu dulu aktivis, ya?" tanya sang ayah.

"Ya Pak, saya dulu sering memimpin aksi demonstrasi anti Orba di kampus,” jawab si pemuda percaya diri.

"Lamaranmu kutolak." Jawab sang ayah kemudian, "Nanti kalau kamu lagi kecewa dan marah sama istrimu, kamu bakal mengerahkan rombongan teman-temanmu untuk mendemo rumahku ini kan?"

"Ah, ya nggak, Pak. Wong dulu demonya juga cuma kecil-kecilan. Banyak yang nggak datang kalau saya suruh berangkat."

"Kalau begitu, lamaranmu kutolak. Lha wong kamu ngatur temanmu saja nggak bisa, kok mau ngatur keluargamu?"

Sang gadis membisik lagi, membantu. "Ayah, dia pinter lho."

"Kamu lulusan mana?" tanya sang ayah.

"Saya lulusan kampus ini, Pak. Itu salah satu kampus terbaik di Indonesia lho Pak."

"Lamaranmu kutolak, kalau begitu," jawab sang ayah. "Kamu sedang menghina saya yang cuma lulusan STM ini toh? Menganggap saya bodoh, kan?"

"Enggak kok, Pak. Wong saya juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya saja tujuh tahun, IP-nya juga cuma dua koma, Pak."

"Lha lamaranmu ya kutolak. Kamu saja bodoh gitu gimana bisa mendidik anak-anakmu kelak?"

Bisikan itu datang lagi, "Ayah dia sudah bekerja, lho."

"Jadi, kamu sudah bekerja?" tanya sang ayah.

"Sudah Pak. Saya bekerja sebagai marketing. Keliling Jawa dan Sumatera jualan produk saya Pak."

"Lamaranmu kutolak. Kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu nggak bakal sempat memperhatikan keluargamu."

"Anu Pak, kelilingnya jarang-jarang. Wong produknya saja nggak terlalu laku."

"Lho lamaranmu ya tetap kutolak. Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu, kalau kerja saja nggak becus begitu?"

Bisikan kembali datang, "Ayah, yang penting kan ia bisa membayar maharnya."

"Rencananya maharmu apa?" tanya sang ayah kemudian.

"Seperangkat alat shalat Pak."

"Lamaranmu kutolak. Kami sudah punya banyak. Maaf."

"Tapi saya siapkan juga emas satu kilogram dan uang limapuluh juta Pak."

"Lamaranmu kutolak. Kau pikir aku itu matre, dan menukar anakku dengan uang dan emas begitu? Maaf anak muda, itu bukan caraku."

Bisikan datang lagi dari sang gadis, "Dia jago IT lho, Pak."

"Kamu bisa apa itu, internet?"

"Oh iya Pak. Saya rutin pakai internet, hampir setiap hari lho Pak saya nge-net."

"Kalau begitu lamaranmu kutolak. Sebab nanti kamu cuma nge-net thok. Menghabiskan anggaran untuk internet dan nggak ngurus anak istrimu di dunia nyata."

"Tapi saya nge-net cuma untuk cek email saja kok Pak."

"Lamaranmu tetap kutolak kalau begitu. Jadi kamu nggak ngerti apa itu Facebook, Blog, Twitter, Youtube, kompasiana? Aku nggak mau punya mantu gaptek begitu."

Sang gadis hendak berbisik, tapi sang ayah keburu bertanya lagi, "Kamu kesini tadi naik apa?"

"Mobil, Pak."

"Kamu mau pamer toh kalau kamu kaya. Itu namanya riya'. Nanti hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik. Lamaranmu kutolak."

"Anu, Pak. Saya cuma mbonceng mobilnya teman kok Pak. Lha wong itu mobil dia. Saya juga nggak bisa nyetir."

"Lamaranmu kutolak, kalau begitu. Lha nanti kamu minta diboncengin istrimu juga? Ini namanya payah. Memangnya anakku supir?"

Sang gadis hendak berbisik lagi, tapi sang ayah sudah bertanya, "Kamu merasa ganteng ya?"

"Nggak Pak. Biasa saja kok."

"Lamaranmu kutolak. Mbok kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang cantik ini."

"Tapi Pak, di kampung, sebenarnya banyak pula yang naksir saya kok, Pak."

"Kalau begitu berpotensi playboy. Nanti kamu bakal selingkuh. Lamaranmu kutolak!"

***

Sang gadis kini berkaca-kaca, "Ayah, tak bisakah engkau tanyakan soal agamanya, selain tentang harta dan fisiknya?"

Sang ayah menatap wajah sang anak, dan berganti menatap si pemuda yang sudah menyerah pasrah. "Nak, apakah ada yang engkau hapal dari Al Qur’an dan Hadits?"

Si pemuda telah putus asa, tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga. Pun pada pokok soal ini ia menyerah. Jawabnya, "Pak, dari tigapuluh juz saya cuma hapal juz ketigapuluh, itupun yang pendek-pendek saja. Hadits-pun cuma dari Arba'in, yang terpendek pula."

Sang ayah tersenyum.

"Lamaranmu kuterima, anak muda. Itu cukup. Kau lebih hebat dariku. Agar kau tahu saja, membacanya saja aku masih tertatih."

Mata si pemuda-pun ikut berkaca-kaca.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, June 21, 2012

Monday, June 18, 2012

ujungkelingking,


"Anak belajar dari kehidupannya"



Jika anak dibesarkan dengan celaan,

ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,

ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan,

ia belajar gelisah
Jika anak dibesarkan dengan rasa iba,

ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok,

ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan iri hati,

ia belajar kedengkian
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan,

ia belajar merasa bersalah
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,

ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,

ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian,

ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan,

ia belajar mencintai
Jika anak dibesarkan dengan dukungan,

ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan pengakuan,

ia belajar mengenali tujuan
Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi,

ia belajar kedermawaan
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan,

ia belajar kebenaran dan keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,

ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan persahabatan,

ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
Jika anak dibesarkan dengan ketentraman,

ia belajar berdamai dengan pikiran

Dorothy Law Nolte
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, June 18, 2012

Thursday, June 14, 2012

ujungkelingking - Bismillahirrahamaanirrahiim,

Sesungguhnya banyak diantara orang-orang Kafir dan Murtad yang mencari-cari "celah" dalam agama ini untuk kemudian menyerang umat Muslim.

Salah satu contohnya adalah mereka mengatakan bahwa Rasulullah adalah seorang -maaf- pe**filia karena menikahi Aisyah radhiallahu anha pada saat Aisyah berusia sangat muda, yaitu 6 tahun, dan berumah tangga pada saat Aisyah menginjak usia 9 tahun. Tuduhan -tentu- ini adalah tuduhan yang tidak berdasar, mengada-ada. Atau kalau memang ada dasarnya, tentulah dasar yang mereka pakai adalah dasar/dalil yang DIRAGUKAN validitasnya.

Setelah mengikuti debat komen yang sempat memanas di Kompasiana tentang hal ini, saya sebutkan ada 5 poin (saya yakin masih banyak lagi) yang bisa mematahkan tuduhan keji mereka.

Pertama, tentang beda usia

Dalam Kitab Siyar A'la'ma'l-nubala karangan Al-Zahabi, terdapat riwayat yang menyatakan bahwa beda usia antara Aisyah dengan Asma, kakaknya adalah sekitar 10 tahun. (Siyar A`la'ma'l-nubala', Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu'assasatu'l-risalah, Beirut, 1992).

Ibn Hajar Al-Asqalani mengatakan, "Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 atau 74 H." (Taqribu'l-tahzib, Ibn Hajar Al-Asqalani, p. 654, Arabic, Bab fi'l-nisa', al-harfu'l-alif). Artinya Asma lahir pada tahun 27 Sebelum Hijrah, dan Aisyah lahir pada tahun 17 Sebelum Hijrah.

Sementara itu, para ahli sejarah sepakat bahwa pernikahan Rasulullah dengan Aisyah terjadi sekitar tahun 2 H. Dengan kata lain, Aisyah radhiallahu anha berumah tangga dengan Rasulullah pada usia 19 tahun.

Kedua, tentang istilah dalam bahasa Arab

Aisyah radhiallhu anha pernah berkata, "Saya seorang jariyah ketika surah Al-Qamar diturunkan." (Bukhari, Kitabu'l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa'l-sa`atu adha' wa amar).

"Jariyah" dalam bahasa Arab berarti gadis muda, yaitu mereka yang berusia antara 6-13 tahun. Jika surah Al-Qamar diturunkan pada tahun 8 Sebelum Hijrah, berarti usia Aisyah saat menikah antara 16-23 tahun.

Selain itu, menurut riwayat dari Ahmad ibn Hambal, sesudah meninggalnya Khadijah, Khaulah datang menasehati Nabi untuk menikah lagi. Nabi bertanya kepadanya tentang pilihan Khaulah. Khaulah berkata, "Anda dapat menikahi seorang bikr (gadis) atau seorang thayyib (wanita yang sudah pernah menikah)". Ketika Nabi bertanya tentang identitas bikr (gadis) tersebut, Khaulah menyebut nama Aisyah.

Dalam bahasa Arab, kata bikr tidak akan digunakan untuk gadis belia yang baru berusia 9 tahun. Kata yang tepat untuk menunjukkan gadis belia yang masih suka bermain-main adalah jariyah. Dalam hal lain, bikr digunakan untuk menyebut seorang gadis, belum pernah menikah dan belum punya pengalaman dalam hal pernikahan. (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p. .210,Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).

Ketiga, tentang sejarah da'wah sirriyah

Berdasarkan Sirah An-Nabawiyah (Ibnu Hisyam, 1/245-262), Aisyah radhiallahu anha tercatat sebagai orang ke-19 yang menerima Islam, sedang da'wah secara sirriyah dilakukan selama kurang lebih 3 tahun sampai pengikut Islam berjumlah 40 orang. Jika Aisyah pada saat menikah (tahun 2 H) berusia 9 tahun, maka pada masa da'wah dilakukan secara sirriyah, berdasarkan perhitungan tahun, Aisyah masih belum lahir. Lalu bagaimana mungkin anak yang belum lahir bisa bersyahadat?

Keempat, tentang perowi hadits

Hadits-hadits yang menceritakan tentang hal ini diriwayatkan hanya oleh Hisyam ibn Urwah. Dan hadits ini diriwayatkannya setelah beliau pindah dari Madinah ke Iraq, pada usia tua.

Kitab Tahdibu'l-tahdib mencatat demikian, "Hisyam sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq." (Tahdibu'l-tahdib, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Dar Ihya al-turath al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50).

Lebih lanjut dalam kitab yang sama, Malik ibn Anas menolak riwayat Hisyam, "Saya pernah diberi tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisyam yang dicatat dari orang-orang Iraq."

Sementara dalam Mizanu'l-i'tidal lebih jelas lagi, "Ketika masa tua, ingatan Hisyam mengalami kemunduran yang mencolok." (Mizanu'l-i'tidal, Al-Zahabi, Al-Maktabatu'l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan. Vol 4, p. 301).

Karena itu, hadits yang diriwayatkan oleh Hisyam untuk hal ini tidak bisa dijadikan hujjah.

Kelima, tentang perang Badar dan Uhud

Aisyah ikut dalam perang Badar (Muslim, Kitabu'l-jihad wa'l-siyar, Bab karahiyati'l-isti`anah fi'l-ghazwi bikafir) dan dalam perang Uhud (Bukhari, Kitabu'l-jihad wa'l-siyar, Bab Ghazwi'l-nisa' wa qitalihinnama`a'lrijal).

Dalam riwayat yang berbeda, Ibnu Umar mengatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya ikut dalam perang Uhud, pada saat itu usianya 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, pada saat usianya 15 tahun, Nabi mengijinkannya ikut dalam perang tersebut. (Bukhari, Kitabu'l-maghazi, Bab Ghazwati'l-khandaq wa hiya'l-ahza'b).

Kesimpulannya, Aisyah yang ikut dalam perang Badar dan Uhud mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun.

Hasbunallah wa ni'mal wakiil.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, June 14, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!