ujungkelingking - Sebuah cerita dari seorang rekan Kompasianer...
***
Suatu pagi, di sebuah ruang tamu, seorang lelaki muda menghadapi seorang lelaki setengah baya, untuk "merebut" sang perempuan muda dari sisinya.
"Oh, jadi engkau yang akan melamar itu?" tanya sang setengah baya yang rupanya adalah ayah si gadis.
"Iya, Pak," jawab si pemuda.
"Apakah engkau telah mengenalnya dalam-dalam?" tanya sang ayah sambil menunjuk si perempuan.
"Ya Pak. Sangat kenal." jawab si pemuda, mencoba meyakinkan.
"Lamaranmu kutolak!" Jawab sang ayah tegas, "Berarti engkau telah pacaran dengannya selama ini? Tidak bisa! Aku tidak bisa mengijinkan pernikahan yang diawali dengan model seperti itu!" sergah sang ayah.
Si pemuda tergagap, “Enggak kok pak, sebenarnya saya hanya kenal sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan lalu.”
Sang ayah berkata lagi, “Kalau begitu lamaranmu kutolak. Itu seperti membeli kucing dalam karung kan? Aku tak mau kau akan gampang menceraikannya karena kau tak mengenalnya. Jangan-jangan kau nggak tahu anakku ini siapa?” balas sang ayah keras.
Ini situasi yang sulit. Sang gadis mencoba membantu si pemuda. Dia berbisik kepada ayahnya, "Ayah, dia dulu aktivis, lho."
"Kamu dulu aktivis, ya?" tanya sang ayah.
"Ya Pak, saya dulu sering memimpin aksi demonstrasi anti Orba di kampus,” jawab si pemuda percaya diri.
"Lamaranmu kutolak." Jawab sang ayah kemudian, "Nanti kalau kamu lagi kecewa dan marah sama istrimu, kamu bakal mengerahkan rombongan teman-temanmu untuk mendemo rumahku ini kan?"
"Ah, ya nggak, Pak. Wong dulu demonya juga cuma kecil-kecilan. Banyak yang nggak datang kalau saya suruh berangkat."
"Kalau begitu, lamaranmu kutolak. Lha wong kamu ngatur temanmu saja nggak bisa, kok mau ngatur keluargamu?"
Sang gadis membisik lagi, membantu. "Ayah, dia pinter lho."
"Kamu lulusan mana?" tanya sang ayah.
"Saya lulusan kampus ini, Pak. Itu salah satu kampus terbaik di Indonesia lho Pak."
"Lamaranmu kutolak, kalau begitu," jawab sang ayah. "Kamu sedang menghina saya yang cuma lulusan STM ini toh? Menganggap saya bodoh, kan?"
"Enggak kok, Pak. Wong saya juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya saja tujuh tahun, IP-nya juga cuma dua koma, Pak."
"Lha lamaranmu ya kutolak. Kamu saja bodoh gitu gimana bisa mendidik anak-anakmu kelak?"
Bisikan itu datang lagi, "Ayah dia sudah bekerja, lho."
"Jadi, kamu sudah bekerja?" tanya sang ayah.
"Sudah Pak. Saya bekerja sebagai marketing. Keliling Jawa dan Sumatera jualan produk saya Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu nggak bakal sempat memperhatikan keluargamu."
"Anu Pak, kelilingnya jarang-jarang. Wong produknya saja nggak terlalu laku."
"Lho lamaranmu ya tetap kutolak. Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu, kalau kerja saja nggak becus begitu?"
Bisikan kembali datang, "Ayah, yang penting kan ia bisa membayar maharnya."
"Rencananya maharmu apa?" tanya sang ayah kemudian.
"Seperangkat alat shalat Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kami sudah punya banyak. Maaf."
"Tapi saya siapkan juga emas satu kilogram dan uang limapuluh juta Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kau pikir aku itu matre, dan menukar anakku dengan uang dan emas begitu? Maaf anak muda, itu bukan caraku."
Bisikan datang lagi dari sang gadis, "Dia jago IT lho, Pak."
"Kamu bisa apa itu, internet?"
"Oh iya Pak. Saya rutin pakai internet, hampir setiap hari lho Pak saya nge-net."
"Kalau begitu lamaranmu kutolak. Sebab nanti kamu cuma nge-net thok. Menghabiskan anggaran untuk internet dan nggak ngurus anak istrimu di dunia nyata."
"Tapi saya nge-net cuma untuk cek email saja kok Pak."
"Lamaranmu tetap kutolak kalau begitu. Jadi kamu nggak ngerti apa itu Facebook, Blog, Twitter, Youtube, kompasiana? Aku nggak mau punya mantu gaptek begitu."
Sang gadis hendak berbisik, tapi sang ayah keburu bertanya lagi, "Kamu kesini tadi naik apa?"
"Mobil, Pak."
"Kamu mau pamer toh kalau kamu kaya. Itu namanya riya'. Nanti hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik. Lamaranmu kutolak."
"Anu, Pak. Saya cuma mbonceng mobilnya teman kok Pak. Lha wong itu mobil dia. Saya juga nggak bisa nyetir."
"Lamaranmu kutolak, kalau begitu. Lha nanti kamu minta diboncengin istrimu juga? Ini namanya payah. Memangnya anakku supir?"
Sang gadis hendak berbisik lagi, tapi sang ayah sudah bertanya, "Kamu merasa ganteng ya?"
"Nggak Pak. Biasa saja kok."
"Lamaranmu kutolak. Mbok kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang cantik ini."
"Tapi Pak, di kampung, sebenarnya banyak pula yang naksir saya kok, Pak."
"Kalau begitu berpotensi playboy. Nanti kamu bakal selingkuh. Lamaranmu kutolak!"
***
Sang gadis kini berkaca-kaca, "Ayah, tak bisakah engkau tanyakan soal agamanya, selain tentang harta dan fisiknya?"
Sang ayah menatap wajah sang anak, dan berganti menatap si pemuda yang sudah menyerah pasrah. "Nak, apakah ada yang engkau hapal dari Al Qur’an dan Hadits?"
Si pemuda telah putus asa, tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga. Pun pada pokok soal ini ia menyerah. Jawabnya, "Pak, dari tigapuluh juz saya cuma hapal juz ketigapuluh, itupun yang pendek-pendek saja. Hadits-pun cuma dari Arba'in, yang terpendek pula."
Sang ayah tersenyum.
"Lamaranmu kuterima, anak muda. Itu cukup. Kau lebih hebat dariku. Agar kau tahu saja, membacanya saja aku masih tertatih."
Mata si pemuda-pun ikut berkaca-kaca.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, June 21, 2012
0 comments:
Post a Comment
Komentar Anda tidak dimoderasi.
Namun, Admin berhak menghapus komentar yang dianggap tidak etis.