ujungkelingking - Dari seorang teman di lingkaran G+...
Ibn Al-Jauizy dalam kitabnya Al-Munthadham meriwayatkan dari Imam Ibrahim An-Nakha'i rahimahullah dan muridnya, Sulaiman bin Mihran:
Suatu
hari keduanya sedang melewati salah satu jalan di kota Kuffah, Irak
menuju ke Masjid Jami'. Tatkala mereka berdua sedang berjalan, Imam
Ibrahim memanggil muridnya dan berkata, "Wahai Sulaiman! Aku akan
mengambil jalan ini dan engkau ambil jalan yang lainnya. Sesungguhnya
aku khawatir kalau kita melewati orang-orang bodoh, mereka akan
mengatakan orang juling menuntun orang yang lemah penglihatannya,
sehingga mereka jatuh pada perbuatan dosa gara-gara menghibahi kita."
Note: Imam Ibrahim adalah seorang yang -maaf- matanya juling. Sedangkan muridnya juga lemah penglihatannya.
Maka muridnya menimpali, "Wahai Imam, biarkan saja mereka meng-ghibahi kita, toh mereka akan mendapat dosa dan sebaliknya kita akan mendapat pahala!"
Imam Ibrahim An-Nakha’i langsung menjawab, "Subhanallah! Lebih baik kita selamat dan mereka juga selamat daripada mereka mendapat dosa dan kita mendapat pahala."
***
Apa yang telah diucapkan oleh sang murid sepertinya memang merefleksikan cara berpikir kita.
Kita, ketika merasa benar dengan apa yang kita lakukan kerap menjadi tak peduli dengan apa yang dilakukan oleh orang lain. Kalau itu salah, toh kesalahan itu biar mereka yang menanggungnya. Sebuah sikap mementingkan diri sendiri yang tak pernah diajarkan oleh agama yang sempurna ini. Seolah-olah kita senang jika kita masuk surga dan mereka masuk neraka. Padahal Adam saja tidak betah di surga gara-gara tidak memiliki teman.
Kisah di atas telah memberikan pengajaran kepada kita bahwa sikap 'pembiaran' terhadap suatu kesalahan adalah tidak dibenarkan. Bukankah lebih baik selamat bersama-sama?
Bukankah ketika amar ma'ruf (mengajak kepada kebaikan) itu bernilai ibadah, maka nahi mungkar (mencegah orang lain berbuat dosa) juga akan dihitung sebagai pahala?
Salam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, December 18, 2013