Wednesday, December 11, 2013

ujungkelingking - Di musim penghujan seperti saat sekarang ini banyak bermunculan laron-laron. Biasanya pada malam hari sebelum turun hujan. Serangga yang satu ini menyukai cahaya terang. Maka tak heran mereka banyak berkumpul di bawah sinar lampu jalanan atau lampu rumah penduduk.

Keberadaan serangga ini memang seringkali dirasa cukup mengganggu. Namun tidak sedikit pula yang menunggu-nunggu datangnya "serbuan" laron-laron ini. Dulu, ketika masih ngenger (tinggal) di panti asuhan, kami suka sekali mengumpulkan laron-laron ini. Tujuannya tentu saja untuk dibuat camilan gurih bernama keripik laron. Tapi sebenarnya kalau diminta memilih, saya lebih suka keripik jangkerik daripada keripik laron ini, meski rasanya tidak terlalu jauh berbeda.

Untuk menangkap laron-laron ini caranya juga cukup mudah. Kita tinggal menyiapkan sebuah ember (usahakan yang berwarna gelap), lalu diisi air kemudian diletakkan di bawah sorot lampu. Nantinya, air yang berada di dalam ember akan memantulkan cahaya dari lampu yang berada di atasnya. Laron-laron yang memang suka terhadap cahaya akan tertarik untuk mendekatinya. Namun, bukannya sampai pada cahaya yang diinginkannya, mereka justru akan terjebak di air yang ada di dalam ember.

***

Agama mengajarkan bahwa kemegahan dunia ini semu. Apa yang tampak indah dan mewah sekarang, pada akhirnya bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan.

Laron-laron itu mengajarkan kita satu hal, jangan tertipu oleh nisbinya dunia. Memang tampak menarik kelihatannya, namun dia bisa menjebak kita. Memperangkap kita dalam kehambaan terhadap materi yang ujung-ujungnya hanya akan menghinakan diri kita.

Saya bukanlah orang yang sudah sangat paham asam-garam kehidupan. Namun, dari laron-laron itu kita diajari agar bijak menyikapi dunia. Kita memang butuh dunia, namun hanya untuk mendukung sesuatu yang lebih penting dari itu. Sesuatu yang dimana kita akan menuju pada akhirnya. Ada yang menyebutnya purpose of life, sebagian lain menamakannya keabadian.

Satu lagi tentang laron. Binatang ini hanya hidup dalam semalam.

Begitupun manusia. Secara default, usia manusia ada pada rentang 60-70 tahun. Anggap saja usia kematangan (mulai mampu berpikir) seseorang dimulai saat usia 17-20 tahun, artinya kita punya 43-50 tahun waktu yang bisa kita manfaatkan. Lalu jika dikurangi jam tidur kita (yang menghabiskan sepertiga dari umur kita), maka hanya akan tersisa 14-16 tahun saja waktu produktif kita. Belum lagi tahun-tahun yang kita habiskan hanya untuk berhura-hura.

Lalu dari waktu yang tersisa itu, apa yang sudah kita lakukan untuk mempersiapkan diri?



*ditulis sesaat setelah makan wader penyet di warung pinggir kali, belakang kantor.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, December 11, 2013

Tuesday, December 10, 2013

ujungkelingking - Setelah kemarin membaca postingan mas Wong Crewchild tentang Semeru dan postingan mbak Khusna tentang ikan Gabus, saya jadi teringat kenangan saya ketika dulu mendaki ke puncak Hargo Dumilah, Lawu.

Namun kalau sudah ngomongin soal gunung, tidak afdol rasanya kalau saya tidak menceritakan tentang ustadz saya yang satu ini. Ust. Wildan, namanya. Beliau termasuk orang yang -bisa dibilang- unik alias eksentrik. Salah satu contoh ke-eksentrik-an beliau adalah tentang hobi. Kalau para ustadz yang lain hobinya seputar main bola, bulutangkis atau bersepeda, beliau memiliki hobi yang cukup berbeda, yaitu mendaki gunung dan berburu.

Keakurasian tembakan beliau tidak perlu ditanyakan lagi. Pernah, beliau membidik sebuah cangkir kecil yang diletakkan di atas genteng pada bangunan berlantai dua. Sekali tembak, jatuhlah cangkir itu, entah kemana. Ya, mungkin bagi pemburu profesional hal-hal semacam ini sudah menjadi makanan sehari-hari. Namun bagi kami yang pegang senapan aja baru kali itu, tentu sangat mengagumkan.

Pada suatu kesempatan yang lain, beliau pernah memanggil saya selaku ketua di kelas, menyuruh saya agar mengajak anak-anak makan bersama. Rupanya beliau baru saja mendapatkan beberapa ikan gabus. Beberapa ikan gabus itupun kemudian diserahkan kepada saya untuk dimasak bersama-sama. Dan setelah saya coba mengamati ikan-ikan itu, saya baru menyadari kalau bidikan yang mengenai ikan-ikan itu berada di posisi yang persis sama. H-hee, niat banget.

Hal lain tentang Ust. Wildan ini adalah beliau tidak pernah mau difoto, baik itu dalam acara formal ataupun tidak. Saya jadi ingat tokoh utama dalam film God of Gambler, h-hiii. Bahkan saya menduga foto beliau yang ada di buku biodata para asatidz adalah satu-satunya foto beliau di dunia ini. Atau jangan-jangan di buku itu foto beliau juga tidak ada?

Pernah, salah seorang teman saya berhasil memotret beliau pada sebuah kesempatan. Mengetahui itu, beliau segera mengejar teman saya tersebut sampai dapat. Lalu mengeluarkan negatif-nya dari kamera. Hanguslah foto itu. :'( 

Nah, kembali ke ide awal artikel ini. Setelah membaca artikel mas Wong Crewchild tersebut, saya kemudian mencoba mencari-cari buku diary saya yang sudah terkubur sejak zaman pra-sejarah. Di dalam buku itu saya sempat menuliskan beberapa detil tentang perjalanan kami ke puncak Lawu. Namun detil-detil yang lain sudah kabur dimakan waktu.

Alkisah pun bermula...

***

Sabtu, 29 Juni 2002. Kami berangkat dari pesantren. Kami semua satu kelas (ada sekitar 30-an personil, 4 orang teman kami memutuskan tidak ikut karena beberapa hal).

Pendakian ini memang dalam rangka perpisahan kelas. Kami naik dari kelas 5 (setara kelas XI) ke kelas 6. Ust. Wildan memang selalu menjadi provokator dalam setiap pendakian kami. Beliau selalu mengiming-imingi kami tentang sebuah kepuasan di dalam pendakian, keindahan alamnya, dsb. Saya ingat beliau pernah mengatakan di kelas pada tahun pertama kami di pesantren, "Kalau kalian tidak berani mendaki, betina kalian". H-hee, sangar ya? Tapi dari situlah kami mulai termotivasi untuk melakukan hal-hal semacam ini. Bahkan pernah juga, saya ke Penanggungan sendirian, tanpa seorang teman.

Ada lagi kalimat beliau yang masih saya ingat, "Lebih baik meminta tapi tidak diberi daripada memberi tapi tidak diterima". Tapi yang ini sih ndak ada hubungannya sama cerita saya.

Nah, karena Ust. Wildan yang mem-provokasi kami, jadilah beliau dilibatkan dalam pendakian kali ini. Namun nanti, ada hal yang dilakukan oleh beliau yang bikin kami semua #tepokjidat.

Pukul 11.50 kami naik kereta api dari Bangil menuju Madiun. Perjalanan memakan waktu sekitar empat jam. Sesampainya di sana, karena hari sudah hampir malam, kami menuju desa Plaosan. Rupanya di desa ini sebuah panti asuhan yang kenal dengan Ust. Wildan. Di sanalah kami bermalam (dan numpang makan).

Pagi-pagi sekali Ust. Wildan menyuruh dua orang teman saya untuk menemani beliau. Dipikir kemana, ternyata ke pinggir jalan raya. Begitu ada angkutan umum yang lewat, beliau stop. Beliau langsung naik sambil bilang, "Sudah ya, saya balik dulu". Dong! Bengonglah teman saya. Piye iki jal, diajak ke Lawu, begitu sampai malah balik pulang. Ndak tanggung jawab ini mah.

Namun bukan kami namanya kalau surut mundur. Berbekal kekompakan, kami tetap berangkat menuju gerbang masuk pendakian. Namun ternyata jalan yang kami lewati cukup jauh juga. Beberapa teman yang berpikir cepat langsung nggandol pick up yang kebetulan lewat. Sementara sebagian yang lain -termasuk saya- akhirnya terpaksa urunan buat nebeng mobil. Perjalanan ke atas sekitar 15 atau 20 menit hingga kami tiba di pintu gerbang pendakian. Saya ingat di sana ada sebuah jembatan yang merupakan perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jadi bila kita menyeberang ke sana kita sudah berada di Jawa Tengah.

Setelah seluruh personil berkumpul, kami pun memulai pendakian. Rute yang kami pilih adalah melalui jalur Cemorosewu. Bila tidak familiar dengan nama ini, rekan-rekan mungkin lebih kenal nama Telaga Sarangan. Katanya sih, lewat jalur Cemorosewu ini lebih susah, namun bisa sampai ke puncak lebih cepat.

Dari jalur ini kami harus melewati 5 pos. Sungguh sebuah perjalanan panjang yang amat-sangat menguras tenaga. Kami sampai harus berhemat air minum. Sehingga untuk minum seseorang hanya dijatah satu tutup botol air mineral. Menyedihkan, hiks...

Namun semua kelelahan itu terbayar sudah ketika kami sampai di puncaknya yang tertinggi. Di bawah kami adalah kumpulan awan yang menyerupai gumpalan kapas. Sejauh mata memandang, kami bisa melihat puncak-puncak dari gunung-gunung lain. Kami sempat berpose pada sebuah tugu di sana.

Kami pun turun dan memulai perjalanan pulang.

Kami sampai di pesantren pada tanggal 2 Juli 2002. Berarti semuanya memakan waktu 4 hari. Dan jangan membayangkan bagaimana keadaan kami yang tidak mandi dan tidak ganti celana dalam selama itu.

#Ngethel, bos.

Akhirnya, nemu juga satu poto.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, December 10, 2013

Monday, December 9, 2013

ujungkelingking - Sebenarnya tidak pernah ada yang memaksa kita untuk menjadi seorang blogger. Karena kita suka menulis, maka kita membuat blog yang berisikan tulisan-tulisan kita. Akhirnya disebutlah kita sebagai seorang blogger.

Akan tetapi, menjadi seorang blogger saja tidak lantas mengantarkan kita menjadi seorang penulis yang baik. Inilah yang meresahkan sebenarnya.

Apakah dengan banyaknya pembaca mengindikasikan blogger tersebut adalah seorang penulis yang baik?

Apakah dengan tidak adanya perdebatan di dalam kolom komentarnya menandakan dia adalah penulis yang baik?

Apakah jika kita menulis apa yang disukai pembaca, maka kita adalah penulis yang baik?

Ataukah jika kita menulis yang sesuai dengan pemikiran kita meskipun itu bertentangan dengan hal-hal umum bisa dikatakan penulis yang baik?

Ataukah justru penulis yang baik itu adalah yang mampu membuat artikel kontroversial sehingga memancing reaksi pikir dari pembaca?

***

Sebenarnya, yang saya khawatirkan di sini adalah kita menjadi seperti katak di dalam tempurung. Kita menulis, lalu orang lain meng-iyakan apa yang kita tulis. Dan seperti itu saja, selesai.

Dengan terlalu seringnya orang lain meng-iyakan saja apa yang kita tulis membuat kita pada akhirnya menjadi takut didebat, ditentang atau dikritik. Padahal seringkali itulah yang membuat kita menjadi bergairah untuk berpikir.

Lalu kita terjebak untuk menuliskan apa yang orang lain ingin baca...

Maka kemudian kita kehilangan prinsip menulis kita...

Dan pada akhirnya kita hanya bisa jadi "pengikut" dalam dunia yang serba dinamis ini...


Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, December 09, 2013

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!