ujungkelingking - Cerita ini sebenarnya sudah lama tercatat di dalam draft saya. Daripada bikin sepet mata, mending di-publish saja...
Kewajiban manusia sebagai makhluk sosial adalah menolong sesamanya. Menolong, yang dalam hubungan kemanusiaan tentunya tidak boleh pilih kasih.
Kewajiban manusia sebagai makhluk sosial adalah menolong sesamanya. Menolong, yang dalam hubungan kemanusiaan tentunya tidak boleh pilih kasih.
Suatu pagi (saya lupa kapan) saya cukup tertegun membaca sebuah postingan status di sebuah sosial network. Ditulis oleh seseorang yang tidak saya kenal, namun kami memiliki satu teman yang sama. Dari komentar teman yang sama itulah sehingga status tersebut bisa muncul di wall saya.
Redaksinya saya lupa, tapi inti dari status tersebut si pemilik akun mendapati ada seseorang yang mengalami kecelakaan di jalan raya. Pemilik akun ini lalu mencoba melihat keadaan orang tersebut dan hendak menolongnya. Namun ketika tahu bahwa orang yang mendapat kecelakaan tersebut memiliki "tanda" berupa jidat gosong dan celana cingkrang (penyebutan ini seperti apa yang ditulis pada akun tersebut), si pemilik akun tiba-tiba mengurungkan niat menolongnya karena menganggap orang tersebut berpaham Wahabi yang dianggap penuh dengan kesesatan dan kebid'ahan. Tidak hanya itu bahkan si pemilik akun merasa bersyukur dengan musibah yang menimpa orang tersebut.
Karena saya tidak bisa unjuk komentar di situ, akhirnya yang saya lakukan kemudian adalah menulis status yang isinya mempertanyakan kenapa untuk menolong seseorang harus dipilih-pilih dulu? Dan lucunya, ketika saya mencoba menelusuri keberadaan status itu beberapa hari kemudian, status tersebut sudah tidak ada.
Redaksinya saya lupa, tapi inti dari status tersebut si pemilik akun mendapati ada seseorang yang mengalami kecelakaan di jalan raya. Pemilik akun ini lalu mencoba melihat keadaan orang tersebut dan hendak menolongnya. Namun ketika tahu bahwa orang yang mendapat kecelakaan tersebut memiliki "tanda" berupa jidat gosong dan celana cingkrang (penyebutan ini seperti apa yang ditulis pada akun tersebut), si pemilik akun tiba-tiba mengurungkan niat menolongnya karena menganggap orang tersebut berpaham Wahabi yang dianggap penuh dengan kesesatan dan kebid'ahan. Tidak hanya itu bahkan si pemilik akun merasa bersyukur dengan musibah yang menimpa orang tersebut.
Karena saya tidak bisa unjuk komentar di situ, akhirnya yang saya lakukan kemudian adalah menulis status yang isinya mempertanyakan kenapa untuk menolong seseorang harus dipilih-pilih dulu? Dan lucunya, ketika saya mencoba menelusuri keberadaan status itu beberapa hari kemudian, status tersebut sudah tidak ada.
***
Terkait dengan status tersebut di atas, dalam kesempatan ini, saya ingin mengutarakan beberapa poin yang menjadi pemikiran saya:
Pertama, "jidat gosong" atau "celana cingkrang" tidak serta-merta menunjukkan bahwa orang tersebut pastilah pengikut madzab Wahabi. Ini sama seperti mengatakan bahwa 'api itu panas', dan logika itu tidak bisa dibalik menjadi 'kalau panas pasti api'. Sebuah logika yang ngawur.
Kedua, ketika kita menolong seseorang -dalam hal kemanusiaan- sangat tidak perlu dipertanyakan dia Wahabi atau bukan, Islam atau bukan, WNI asli atau bukan. Toh kita juga tidak perlu bertanya dia laki-laki atau banci. Andaipun yang kita tolong ternyata orang yang menyimpang dari agama, hal itu sama sekali tidak akan membuat kita ikut sesat.
Ketiga, dan ini yang kita seringkali salah mendefinisikan, yaitu tentang apa itu bid'ah? Yang dimaksud dengan "bid'ah" -dalam setiap konteks- adalah mengacu kepada hal yang bersifat ritual ibadah, bukan dalam keduniaan semisal teknologi dan lainnya. Hal ini sesuai hadits dari Aisyah radhiallahu anha,
Saya bukan Wahabi. Bahkan saya juga tidak berani menyebut diri saya Ahlu 's-Sunnah wa 'l-Jama'ah. Namun yang menjadi inti dari tulisan ini adalah bahwa menolong sesama makluk ciptaan Allah itu (harus) ikhlas. Ikhlas bahwa yang berhak membalas pertolongan kita hanya Allah semata, dan ikhlas dalam arti tidak pilih kasih.
Bukan begitu?
Pertama, "jidat gosong" atau "celana cingkrang" tidak serta-merta menunjukkan bahwa orang tersebut pastilah pengikut madzab Wahabi. Ini sama seperti mengatakan bahwa 'api itu panas', dan logika itu tidak bisa dibalik menjadi 'kalau panas pasti api'. Sebuah logika yang ngawur.
Kedua, ketika kita menolong seseorang -dalam hal kemanusiaan- sangat tidak perlu dipertanyakan dia Wahabi atau bukan, Islam atau bukan, WNI asli atau bukan. Toh kita juga tidak perlu bertanya dia laki-laki atau banci. Andaipun yang kita tolong ternyata orang yang menyimpang dari agama, hal itu sama sekali tidak akan membuat kita ikut sesat.
Ketiga, dan ini yang kita seringkali salah mendefinisikan, yaitu tentang apa itu bid'ah? Yang dimaksud dengan "bid'ah" -dalam setiap konteks- adalah mengacu kepada hal yang bersifat ritual ibadah, bukan dalam keduniaan semisal teknologi dan lainnya. Hal ini sesuai hadits dari Aisyah radhiallahu anha,
"Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak."
[Bukhari No. 20, Muslim No. 1718]
***
Saya bukan Wahabi. Bahkan saya juga tidak berani menyebut diri saya Ahlu 's-Sunnah wa 'l-Jama'ah. Namun yang menjadi inti dari tulisan ini adalah bahwa menolong sesama makluk ciptaan Allah itu (harus) ikhlas. Ikhlas bahwa yang berhak membalas pertolongan kita hanya Allah semata, dan ikhlas dalam arti tidak pilih kasih.
Bukan begitu?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, September 03, 2013