Friday, August 16, 2013

ujungkelingking - Tepat 68 tahun yang lalu, sejarah mencatat, negeri ini memproklamirkan kemerdekaannya. Sebuah sejarah yang membanggakan... pada masanya.

Tanpa bermaksud melankolis, tapi sejarah hanyalah sejarah.

Sejarah hanya akan menjadi kenangan -tidak akan bisa berbicara banyak- bila ia hanya dibaca untuk disampaikan di depan kelas atau dihafal demi menjawab lembar-lembar soal ujian.

Sejarah banyak berkisah tentang hukum sebab-akibat, sunnatullah atau kausalitas. Sejarah banyak bercerita tentang proses: bahwa jika kita begini, maka hasil yang akan diperoleh adalah ini. Maka mempelajari sejarah bukanlah dengan tujuan pengetahuan semata. Lebih dari itu, ia membimbing kita untuk mensyukuri karunia-Nya yang kita menyebutnya dengan, pengalaman. Karena itulah sejarah menjadi nyata manfaatnya ketika ia "dihidupkan" kembali dalam kehidupan kita.

Menghidupkan sejarah tentu bukan berarti Bung Karno harus bangkit kembali dan membacakan teks proklamasi. Pun juga tidak berarti Bung Tomo musti tampil lagi demi membakar semangat arek-arek Suroboyo. Menghidupkan sejarah lebih memiliki arti menerapkan "pelajaran"-nya dalam kehidupan kita. Dari pelajaran itulah kita kemudian mensikapi diri.

***

Dahulu, rakyat Indonesia begitu "welcome" dengan Belanda. Masyarakat kita selalu menganggap baik apapun yang datang dari luar. Namun dari situlah Belanda tahu bahwa rakyat mudah dibohongi, yang dengan devide et impera-nya mereka mulai menjajah bangsa ini.

Bagaimana dengan sekarang?

Faktanya, sekarangpun masih tak jauh beda. Kita masih bersikap permisif terhadap segala yang berlabel asing atau -dalam kasus ini- yang berbau teknologi. Memang tidak semua yang dari luar negeri itu buruk, tidak selalu teknologi itu merusak. Namun ibarat mata uang, tidak seluruhnya juga bisa diterima; oleh adat ketimuran kita, atau oleh budaya reliji kita. Perlu adanya usaha untuk men-filter itu semua. Ini yang penting.

Mungkin bagi generasi yang ada sekarang, kita masih dapat membantu untuk memilah mana yang baik untuk diterima dan mana yang merusak untuk dibuang. Namun bagaimana dengan anak-anak kita, pengganti kita nantinya? Sedangkan kita saksikan sekarang, sebagai contoh, begitu mudahnya mereka mengakses internet dengan tanpa pengawasan. Banyak situs-situs berbahaya -yang merusak cara berpikir- yang mereka lahap dengan semangatnya, dan mereka beranggapan bahwa mereka sedang belajar?

Apa kita bisa menjamin bahwa anak-anak itu -dengan logika kanak-kanaknya- bisa menyaring hal-hal yang mereka temui disana, sedangkan kita yang diharapkan sebagai pengawas justru sibuk dengan urusan-urusan yang lain? Maka terjadilah penjajahan tak kasat mata. Penjajahan konsep pemikiran yang dampaknya jauh lebih luas dan jauh lebih panjang dari sekedar penjajahan fisik semata.

Dan pada akhirnya kita memang tidak harus menjadi paranoid untuk selalu berprasangka buruk terhadap apapun yang datang. Namun dengan mau melakukan "banding" pada sejarah-sejarah yang telah lalu kita bisa sedikit menjaga jarak untuk lebih dahulu menganalisa apakah hal tersebut berefek negatif atau tidak.

Dan sejarah, ternyata adalah karunia dari Tuhan yang paling dekat dengan kita untuk mengajari manusia bagaimana bertingkah-laku dalam kehidupannya.

Maka, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
[An-Nahl: 16]
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, August 16, 2013

Wednesday, August 14, 2013

ujungkelingking - Alhamdulillah, akhirnya saya bisa kembali masuk kerja hari ini setelah mengambil cuti lebaran beberapa hari. Tidak ada acara "mudik ke desa" untuk tahun ini, lha wong baik saya maupun istri tidak punya desa, hehehe... Palingan cuma muter-muter ke sanak famili yang masih di seputar kabupaten saja.

Meski kantor tempat saya bekerja sudah mulai aktif per tanggal 12 Agustus kemarin, tapi dalam perjalanan berangkat tadi pagi tidak terlihat adanya kemacetan, padahal saya lewat jalan utama (biasanya saya harus lewat "jalan tikus" untuk menghindari macet). Ini berarti masih banyak perkantoran atau para pegawai yang masih menikmati sisa-sisa libur mereka.

Karena itulah -meski (sedikit) terlambat- saya pribadi mengucapkan:

"TAQABBALALLHU MINNA WA MINKUM"

Semoga semua amal ibadah kita selama bulan Ramadhan kemarin mendapat tempat di sisi-Nya. Aamiin.

***

Ada yang menarik ketika saya sedang menikmati liburan kemarin. Datangnya dari sebuah broadcast yang ditunjukkan seorang teman kepada saya. Isinya tentang pembagian Ramadhan dalam 10 hari. Mungkin ini termasuk broadcast lama, namun harus saya tulis di sini karena ada yang penting pada poin terakhirnya.

Nah, berikut pembagian bulan Ramadhan dalam 10 hari:


10 Hari I: Masjid penuh

Hal ini bisa dimaklumi, karena ibarat sebuah pertandingan maka 10 hari I di bulan Ramadhan adalah babak seleksi (penyisihan). Banyak kontenstan yang unjuk kebolehan. Semuanya bertanding dengan energi penuh. Karena itulah kita akan lihat penuh-sesaknya masjid-masjid untuk sholat tarawih, riuhnya musholla dengan lantunan ayat-ayat suci Kitabullah, dan ramainya orang-orang membagi-bagikan sedekah.

10 Hari II: Mall penuh

Saya tidak bisa mengatakan bahwa ini adalah sebuah gaya hedonism atau memang sebuah kebutuhan, atau malah hanya sekedar mengikuti tradisi semata. Dewasa ini, hal-hal semacam itu semakin samar batas-batasnya.

10 Hari III: Terminal-bandara penuh

Yang ini mungkin bisa dijawab sama yang punya desa. :)
Katanya, lebaran tanpa mudik bukanlah lebaran, hehehe...
Tapi, yang ingin saya sampaikan adalah poin yang terakhir ini,

10 Hari IV: Dosa-dosa (kembali) penuh

Di's wi aa. Naudzubillahi min dzalik. Inilah potret dari sebagian besar masyarakat kita (termasuk penulis sendiri, nih!). Berapa banyak dari kita yang setelah 'id justru kembali lagi kepada "kehidupan lama"?

Banyak dari kita yang ketika Ramadhan rajin sholat malam, namun setelah hari raya justru untuk sholat 5 waktu kembali bolong-bolong. Banyak pula yang bulan kemarin begitu gemar membaca Al-Qur'an, setelah hari ini malah mushaf itu akan dibiarkan kembali berdebu. Pun juga yang tadinya senang bersedekah, lalu kembali lagi sifat kikirnya. Yang sudah mampu mengendalikan ucapannya, akhirnya kembali disibukkan dengan menggunjing sesama. Naudzubillah.

Padahal kita tentu paham bahwa label "muttaquun" bukanlah gelar musiman yang disematkan Allah kepada seorang hamba hanya ketika bulan Ramadhan saja. Lebih dari itu, ia adalah sebuah refleksi dari sikap hidup yang akan terus mendarah-daging pada diri seorang muslim. Ketika ia sudah lepas dari bulan Ramadhan, maka pelajaran dan pengajaran yang didapatnya dari bulan tersebut tetap dibawanya hingga ke sebelas bulan berikutnya.

Maka yang bisa menjadi tolok ukur dari keberhasilan puasa yang kita lakukan kemarin adalah perubahan (baca: perbaikan) sikap hidup di dalam keseharian kita. Tentang hal ini, tentu masing-masing kita yang bisa menilainya.

Meningkatkan ibadah itu suatu keharusan. Akan tetapi jika hal itu masih terlalu sulit, setidaknya, kita tetap istiqomah menjaga apa yang sudah kita kerjakan pada bulan kemarin. Pertahankan, jangan kurangkan. In sya Allah itu menjadikan kita lebih baik dari sebelumnya. Dan semoga Allah subhanahu wa ta'ala berkenan memberikan hidayah-Nya agar kita semua dapat sampai kepada tingkatan "muttaquun". Aamiin, ya rabbal 'alamiin...

Bismillah.



Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, August 14, 2013

Tuesday, July 30, 2013

ujungkelingking - Hari Minggu kemarin saya akhirnya sempat menonton televisi. Iseng-iseng nonton TVRI. Kebetulan acara waktu itu adalah acara untuk anak-anak. Kalau tidak salah nama acaranya "Hayya Bi Du'a" (Ayo berdoa).

Pada tayangan tersebut diceritakan ada seorang anak laki-laki yang membawa minumannya ke dalam kelas. Lalu dia meminta kepada temannya -seorang anak perempuan- yang kebetulan ada di situ untuk tidak meminum minumannya, karena dia akan pergi sebentar.

Namun, anak perempuan ini kemudian meminum minuman tersebut, dan kepergok oleh anak laki-laki pemilik minuman tersebut. Lalu dengan mimik tidak suka, si anak laki-laki mengatakan kepada anak perempuan tersebut bahwa perbuatannya itu termasuk perbuatan dosa dan dia akan masuk neraka. Anak perempuan itu akhirnya menangis, karena dia tidak ingin masuk neraka. Terjadilah kegaduhan karena kedua anak tersebut.

Kemudian datanglah ibu (atau ibu guru?) dari kedua anak itu, menenangkan. Lalu ibu tersebut mengajarkan doa agar terbebas dari neraka, yaitu "Rabbana aatinaa fi 'd-dunya hasanah..." dst. Setelah membaca doa tersebut si anak perempuan sudah yakin bahwa dirinya tidak akan masuk neraka dan melanjutkan meminum minuman yang bukan miliknya itu.


Benar, tapi salah

Islam memang menganjurkan agar kita memperbanyak doa-doa semacam itu. Namun bukan berarti setelah membacanya lalu otomatis kita boleh berbuat (baca: melanjutkan) dosa yang telah kita lakukan. Ampunan itu haknya Allah. Bahwa Allah akan mengampuni semua dosa (selain syirik), itu betul. Namun salah satu syarat ampunan itu adalah dengan tidak mengulang perbuatan dosa tersebut.

Tentu saja yang saya kritisi di sini hanyalah penerapan contohnya yang tidak tepat. Akan lebih sesuai bila ditunjukkan perasaan menyesal pada diri si anak perempuan atau mungkin ada "penekanan" janji yang diucapkan anak perempuan itu bahwa dia tidak akan mengulangi perbuatan salahnya tersebut.

Bagaimanapun -sebuah tayangan- meski itu diperuntukkan bagi anak-anak, akan lebih baik bila kita senantiasa mendampingi mereka. Langsung menunjukkan mana yang baik dan mana yang tidak baik, lalu menjelaskannya. Dengan langkah ini diharapkan kita bisa menyaring apa saja yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi oleh otak mereka.

Salam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, July 30, 2013

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!