Friday, December 14, 2012

ujungkelingking - Ini cerita dari seorang teman.

Teman saya ini memiliki sebuah grup pengajian. Internal saja, hanya sekitar 20 orang anggotanya. Suatu ketika mereka akan mengadakan sebuah acara, pengajian rutin. Nah, salah seorang anggota grup tersebut berinisiatif mem-publish agenda tersebut di wall facebook-nya. Maksudnya mungkin benar, barangkali saja ada teman-teman lain yang berkenan hadir atau bergabung dengan grup tersebut.

Singkat cerita, saat pengajian berlangsung, memang tampak hadir seorang perempuan paruh baya berbusana muslimah. Wajahnya memang tidak familiar, namun teman saya ini menganggap perempuan tersebut adalah kerabat dari salah seorang anggota grup.

Ketika acara berlangsung pun, perempuan tersebut tampak antusias sekali dan terlibat diskusi menarik dengan penceramah. Maka teman saya pun semakin yakin bahwa perempuan ini memang orang baik-baik.

Namun, prasangka teman saya ini rupanya keliru. Ketika acara selesai dan dilanjut untuk sholat Maghrib berjamaah, perempuan ini menghilang. Belakangan baru diketahui ternyata ikut raib juga Blackberry yang sedang di charge dan sebuah tablet Samsung milik anggota yang lain.

Karena itulah, berkaca dari kejadian ini hendaknya kita berhati-hati bila ingin mem-publish acara yang sifatnya internal di media sosial. Barangkali SMS atau Grup Pribadi bisa menjadi alternatif jika ingin mengundang seseorang untuk ikut dalam acara kita. Kita, oleh agama, memang tidak diperbolehkan untuk bersikap su'udzon, namun kita tidak dilarang untuk bersikap waspada.

Nah, saya jadi tertarik untuk mencari tahu apa bedanya su'udzon dan 'bersikap waspada'?

Dan setelah saya coba blogwalking, saya bisa sedikit menyimpulkan bahwa su'udzon adalah: penilaian kita terhadap seseorang secara negatif; tanpa adanya bukti, dan; analisis yang bersifat subyektif. Sedang 'waspada' adalah: penilaian obyektif; didasarkan pada peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang kerap terjadi.

Hm, sepertinya cuma mudah untuk di-teorikan, ya? Namun, jika kita yakin Allah senantiasa bersama kita, maka kita bisa terhindar dari sikap su'udzon ini.

Hasbunallah wa ni'mal wakiil.

***

Salam hati-hati.

Cerita teman saya di sini: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/12/14/waspada-mempublikasi-acara-intern-di-media-sosial-506598.html
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, December 14, 2012
ujungkelingking - Pepatah malu bertanya, sesat di jalan memiliki makna agar kita selalu (baca: tidak malu) untuk mencari informasi tentang apa yang kita tidak tahu. Proses mencari tahu ini bisa dilakukan dengan cara bertanya langsung kepada orang yang memang tahu tentang hal tersebut, atau bisa juga melalui buku-buku atau internet. Banyak sekali contoh-contoh hal buruk terjadi disebabkan karena ketidak-tahuan ini.

Islam telah menjelaskan tentang hal ini,
"Dan Kami tidak mengutus kamu, kecuali lelaki-lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada ahli dzikir* jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl: 43)

* Mengenai kenapa Al-Qur'an menggunakan istilah ahli dzikir pada ayat di atas, insya Allah akan kita bahas pada tulisan yang lain. Untuk sementara ini kita mengikut terjemahan dari Depag saja, yaitu diartikan sebagai 'orang yang memiliki ilmu pengetahuan'.

Proses bertanya, dalam banyak tempat disinonimkan sebagai proses belajar. Banyak belajar nyatanya memang berbanding lurus dengan banyak bertanya. Kita menyebutnya, kritis.  Dengan semakin banyak bertanya, diharapkan informasi yang diterima semakin banyak dan semakin pahamlah kita. Oleh karena itu bertanya dan belajar hendaknya kepada orang atau guru yang benar, dalam hal ini, orang yang mengerti tentang hal tersebut.

Namun masalahnya, dalam konteks kekinian, proses bertanya ini dilakukan bukan lagi untuk pembelajaran, namun lebih kepada mencari alasan untuk menghindari tugas atau pekerjaan tersebut.

Satu contoh yang masyur terabadikan di dalam Al-Qur'an adalah kisah Bani Israel yang diperintahkan untuk menyembelih seekor sapi betina. Namun karena keengganan dari Bani Israel untuk melaksanakan perintah tersebut, maka mereka mencari-cari alasan dengan kasratu 's-su'al (mengajukan banyak pertanyaan yang tidak penting).  Mereka bertanya bagaimana warnanya, usianya, dan keadaan sapi tersebut. Sehingga pada akhirnya, akibat dari pertanyaan-pertanyaan tersebut menyebabkan semakin bertambahlah kriteria yang dimaksud, dan menjadi beratlah tugas mereka. (Lihat Al-Baqaraah: 67-71)

Lalu bagaimana kita membedakan antara kritis dan kasratu 's-su'al?

Jawabannya tentu dari substansi pertanyaan itu sendiri. Atau dengan kata lain, 'apa yang ingin dicapai dari pertanyaan tersebut'. Jika memang pertanyaan itu mengharapkan informasi agar kita bisa melaksanakan perintah tersebut dengan benar, maka itulah kritis. Namun, jika berharap agar yang ditanya tidak mendapatkan jawaban (buntu), sehingga terbebas dari tuntutan pekerjaan, maka kita bisa menyebutnya sebagai kasratu 's-su'al. Dan sifat terakhir ini sangat dibenci oleh Allah subhanahu wa ta'ala.
"Sesungguhnya Allah meridlai kalian pada tiga hal dan membenci kalian pada tiga hal pula. Allah meridlai kalian: bila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya; serta berpegang teguh kepada tali (agama) Allah seluruhnya; dan janganlah kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian: bila kalian suka qiila wa qaala (berkata tanpa dasar: katanya, katanya); kasratu 's-su'al (banyak bertanya yang tidak bermanfaat); serta menyia-nyiakan harta." (diriwayatkan Muslim)
 
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, December 14, 2012
ujungkelingking - Dalam masyarakat kita dewasa ini, istri berkarir (baca: bekerja) tak lagi menjadi hal yang tabu dan aneh. Tentunya ada banyak faktor yang mendorong terciptanya situasi tersebut. Yang paling sering saya dengar adalah faktor ekonomi, dimana kebutuhan hidup yang kian hari kian menanjak sehingga “memaksa” orang untuk menciptakan sumber pendapatan baru. Salah satunya, ya, dengan suami dan istri bekerja kedua-duanya.

Sebagai seorang suami yang notabene adalah kepala keluarga tentu memiliki alasan yang cukup benar sehingga harus mempersilahkan istrinya bekerja juga. Sang istri juga harus memiliki batasan-batasan tatkala ia meninggalkan rumahnya untuk mencari penghasilan dan tetap bisa melakukan kewajibannya ketika kembali ke rumah.

Sang suami, terlepas dari penghasilan mana yang lebih besar, tetaplah memegang fungsinya sebagai kepala keluarga. Tidak terlalu menjadi masalah jika gaji sang istri lebih kecil atau cuma sebagai tambahan saja, namun bagaimana jika gaji istri mendominasi? Inilah yang jika sang istri tidak pandai menempatkan diri akan bisa memicu titik-titik api dalam rumah tangga. Stigma bahwa laki-laki harus menghidupi keluarganya, pastilah akan menumbuhkan gengsinya. Di titik inilah sang istri harus bisa memberi pengertian kepada suami bahwa tetap dirinyalah (suami) yang menjadi penentu setiap keputusan yang harus dibuat.

Kemarin sore, secara tak sengaja saya mendengar obrolan dua rekan kerja saya. Intinya adalah bahwa suami masing-masing tidak pernah mereka beri tahu berapa pastinya gaji mereka. Dan suami-suami mereka toh juga tidak pernah protes.

Timbul pertanyaan menggelitik, apakah seorang suami (memang) tidak ingin tahu berapa gaji istrinya?

Hehe…, suami -dalam pandangan subyektif saya- sebenarnya yang dia tahu adalah dia harus membiayai kehidupan keluarganya. Jika istrinya memiliki penghasilan, berapa pun itu, maka terserah sang istri mau dipakai untuk apa uang itu. Gengsi laki-laki itu tinggi. Mungkin itu sebabnya dia kurang suka jika untuk melakukan kewajibannya harus dibantu dengan gaji sang istri.

Namun seperti yang ditulis diawal, jika ekonomi yang menjadi faktor penyebab bolehnya istri bekerja, maka mau atau tidak mau, gengsi atau tidak, sang suami harus sedikit bersusah-payah untuk menurunkan egonya agar permasalahan ekonomi keluarga bisa teratasi.

Toh, itu juga untuk kebaikan bersama.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, December 14, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!