Friday, April 1, 2011

ujungkelingking -

Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya maka sungguh tuduhannya itu akan kembali kepada salah seorang di antara mereka berdua.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Apabila sebagaimana apa yang dia katakan -maka dia tidak bersalah- akan tetapi apabila tidak sebagaimana yang dia tuduh maka tuduhan itu justru kembali kepadanya.”
[lihat Syarh Muslim (2/126-127) dan Shahih Bukhari, hal. 1254]

Maksud dari “tuduhan itu justru kembali kepadanya” adalah sebagaimana yang diterangkan oleh al-’Aini rahimahullah, yaitu, “Apa yang diucapkannya justru terarah kepada dirinya sendiri, karena orang yang dia kafirkan ternyata benar imannya (tidak kafir).” Sehingga maknanya adalah kalau tuduhannya itu tidak terbukti kebenarannya maka sesungguhnya dia telah mengkafirkan dirinya sendiri (‘Umdat al-Qari [22/245])

Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al-’Aql berkata, “Takfir (mengkafirkan) adalah perkara yang diatur dalam hukum syari’at acuannya adalah al-Kitab dan as-Sunnah. Maka tidak boleh mengkafirkan seorang muslim karena ucapan atau perbuatannya selama dalil syari’at tidak menunjukkan atas kekafirannya. Dengan disebutkannya istilah hukum kafir -secara umum- atas suatu ucapan atau perbuatan itu tidak secara otomatis menunjukkan jatuhnya vonis kafir tersebut -secara khusus- kepada pelakunya, kecuali apabila syarat-syarat -pengkafiran- itu sudah terpenuhi dan penghalang-penghalangnya tersingkirkan. Takfir merupakan hukum yang sangat berbahaya resikonya, oleh sebab itu wajib meneliti segalanya/tatsabbut dan berhati-hati di dalam menjatuhkan vonis kafir ini kepada seorang muslim.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 19) 

Berikut ini ada beberapa catatan penting seputar takfir yang harus diperhatikan:
  • Pedoman dan tempat rujukan dalam hal takfir ini adalah Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu al-Kitab dan as-Sunnah).
  • Orang yang terbukti keislamannya dengan meyakinkan maka keislamannya itu tidak lenyap darinya kecuali dengan bukti yang meyakinkan pula.
  • Tidak setiap ucapan atau perbuatan -yang disebut oleh dalil sebagai bentuk kekafiran- menjadi kekafiran besar yang mengeluarkan dari agama. Sebab kekafiran itu ada dua macam: kufur asghar (kecil) dan kufur akbar (besar). Maka menerapkan hukum terhadap ucapan atau perbuatan tersebut hanya bisa dilakukan dengan mengikuti metode ulama Ahlus Sunnah dan aturan-aturan yang telah mereka terangkan.
  • Tidak boleh menjatuhkan hukum takfir kepada seorang muslim pun kecuali orang yang ditunjukkan dengan jelas dan gamblang mengenai kekafirannya oleh dalil al-Kitab dan as-Sunnah, sehingga dalam hal ini tidak cukup berlandaskan kepada syubhat/perkara yang masih samar ataupun sekedar dugaan.

Terkadang disebutkan di dalam al-Kitab ataupun as-Sunnah sesuatu yang dipahami bahwa ucapan, perbuatan, atau keyakinan tertentu sebagai kekafiran. Maka tidak boleh semata-mata berdasarkan hal itu kemudian dengan serta merta menjatuhkan vonis kafir kepada seseorang kecuali apabila telah ditegakkan hujjah kepadanya: yaitu dengan terpenuhinya syarat-syarat -dalam keadaan dia mengetahui, sengaja, dan atas dasar pilihannya sendiri- dan juga dengan hilangnya penghalang-penghalang -untuk dikafirkan- yaitu perkara-perkara yang menjadi lawan dari syarat-syarat tersebut (artinya; dia tidak jahil, dalam keadaan sadar, dan tidak terpaksa)

(Lihat lebih lengkap dalam Mujmal Masa’il al-Iman al-’Ilmiyah fi Ushul al-’Aqidah as-Salafiyah, hal. 17-18).

Allahul musta’aan…

(SELESAI)
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, April 01, 2011
ujungkelingking - Sebagian orang menganggap demokrasi adalah haram, bahkan termasuk kemusyrikan. Karena di dalam konsep demokrasi rakyat menjadi sumber hukum dan kekuasaan ditentukan oleh mayoritas.

Di satu sisi mereka benar, yaitu mengingkari demokrasi yang hal itu termasuk dalam bentuk kekafiran dan kemusyrikan. (Kitab Tanwir adh-Dhulumat karya Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam -hafidhahullah-).

Namun, di sisi lain mereka juga melakukan kesalahan yang sangat besar yaitu serampangan dalam menjatuhkan vonis kafir kepada orang. Biasanya mereka berdalil dengan ayat (yang artinya),
“Barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” [Al-Maa’idah: 44]

Sederhananya begini, bahwa seandainya mereka -pemerintah- berhukum dengan selain hukum Allah, maka ada satu hal penting yang perlu diingat, yaitu bahwa tidak semua yang berhukum dengan selain hukum Allah itu dihukumi kafir.

Berikut ini adalah ringkasan penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan isi Kitab at-Tauhid:

Yang dimaksud dengan berhukum dengan selain hukum Allah yang dihukumi kafir dan murtad -sehingga layak untuk disebut sebagai thaghut- adalah dalam tiga keadaan:
  1. Apabila dia meyakini bahwa berhukum dengan selain hukum Allah -yang bertentangan dengan hukum Allah- itu boleh, seperti contohnya: meyakini bahwa zina dan khamr itu halal.
  2. Apabila dia meyakini bahwa selain hukum Allah itu sama saja (sama baiknya) dengan hukum Allah.
  3. Apabila dia meyakini bahwa selain hukum Allah lebih bagus daripada hukum Allah.

Lalu, dia bisa dihukumi dhalim (belum kafir), apabila dia masih meyakini hukum Allah lebih bagus dan wajib diterapkan namun karena kebenciannya kepada orang yang menjadi objek hukum maka dia menerapkan selain hukum Allah. Demikian juga ia dikatakan fasik (belum kafir), apabila dia menggunakan selain hukum Allah dengan keyakinan bahwa hukum Allah yang benar, namun dia melakukan hal itu dorongan hawa nafsu, suap dsb. Kemudian beliau juga menjelaskan bahwa tindakan orang yang mengganti syari’at dengan undang-undang buatan manusia dapat dikategorikan sebagai bentuk kekafiran akbar. Meskipun demikian, orang yang memberlakukan undang-undang ini tidak serta merta dikafirkan. Seperti misalnya, apabila dia menyangka bahwa sistem yang diberlakukannya itu tidak bertentangan dengan Islam, atau dia menyangka bahwa hal itu termasuk urusan yang diserahkan oleh Islam kepada manusia, atau dia tidak mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu termasuk kekafiran (al-Qaul al-Mufid [2/68-69 dan 71]).

Berdasar keterangan di atas tentu jelas bagi kita bahwa tindakan yang dengan mudahnya mengkafirkan penguasa serta menjuluki mereka sebagai rezim thaghut adalah sebuah tindakan serampangan dan tidak dibangun di atas ilmu yang benar. Bahkan, kalau diteliti lebih jauh ternyata mereka itu telah terjangkiti pemikiran-pemikiran Khawarij modern!

Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, April 01, 2011
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, (itu) jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu adalah yang terbaik untuk kalian dan paling bagus dampaknya. [QS. an-Nisaa’: 59]

Terdapat beda-tafsir mengenai definisi ulil amri. Akan tetapi pendapat yang terkuat adalah pendapat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah para pemimpin/pemerintah. Pendapat ini dikuatkan  oleh Imam asy-Syafi’i (Fathul Bari [8/106]). Oleh karena itu an-Nawawi rahimahullah membuat judul bab untuk hadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai tafsir ayat ini dengan judul “Kewajiban taat kepada pemerintah selama bukan dalam kemaksiatan dan diharamkan hal itu dalam perbuatan maksiat”.

Ketaatan kepada pemerintah muslim ini dibatasi dalam hal ma’ruf saja, sedangkan dalam perkara maksiat tidak diperbolehkan.

Kewajiban untuk mendengar dan taat kepada pemerintah muslim ini juga dibatasi selama tidak tampak dari mereka kekufuran yang nyata. Apabila mereka melakukan kekufuran yang nyata maka wajib untuk mengingkarinya dan menyampaikan kebenaran kepada mereka. Akan tetapi memberontak atau memeranginya -sedzalim atau sefasik apapun mereka- tidak diperbolehkan selama dia masih muslim/tidak kafir.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menambahkan, “… kecuali apabila kaum muslimin telah melihat kekafiran yang nyata yang mereka memiliki bukti kuat dari sisi Allah tentangnya, maka tidak mengapa melakukan pemberontakan kepada penguasa ini untuk menyingkirkannya dengan syarat bila mereka mempunyai kemampuan yang memadai.”

Dalam syariat, terdapat kaidah: Tidak boleh menghilangkan keburukan dengan sesuatu yang menimbulkan akibat lebih buruk dari keburukan semula, akan tetapi wajib menolak keburukan itu dengan sesuatu yang benar-benar bisa menyingkirkannya atau -minimal- meringankannya. (al-Ma’lum Min Wajib al-’Alaqah baina al-Hakim wa al-Mahkum, hal. 9-10)

Maka, bila mereka tidak memiliki kemampuan untuk itu, atau  apabila terjadi pemberontakan -diduga kuat- akan timbul kerusakan yang lebih dominan, maka mereka tidak boleh memberontak demi memelihara kemaslahatan masyarakat luas.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti petunjuk bukan dengan petunjukku dan menjalankan sunnah namun bukan sunnahku. Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati laksana hati syaitan yang bersemayam di dalam raga manusia.” Maka Hudzaifah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau menjawab, “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” 
[Syarah Muslim: 6/480]

Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan muncul para penguasa yang kalian mengenali mereka namun kalian mengingkari -kekeliruan mereka-. Barangsiapa yang mengetahuinya maka harus berlepas diri -dengan hatinya- dari kemungkaran itu. Dan barangsiapa yang mengingkarinya maka dia akan selamat. Yang berdosa adalah orang yang meridhainya dan tetap menuruti kekeliruannya.” Mereka -para sahabat- bertanya, “Apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?”. Maka beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih menjalankan sholat.” 
[Syarah Muslim: 6/485]

(bersambung)
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, April 01, 2011

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!