ujungkelingking - Al-Qur'an Meramalkan Bencana, Mu'jizat Atau Kebetulan?
Semenjak Kelud meletus, beredar broadcast dan sms, entah darimana sumber awalnya yang mengatakan bahwa kejadian ini sudah diramalkan oleh Al-Qur'an.
Di sana disebutkan bahwa kejadian erupsi itu terjadi pada tanggal 13 Pebruari 2014, pukul 20.49 atau 20.50. Ini sesuai dengan apa yang tertulis di Al-Qur'an yang "menunjukkan" peristiwa tersebut. Ayat yang dimaksud adalah surah 13: 2 dan 22: 49-50, serta 20: 14.
Banyak orang yang percaya dengan "kebenaran" berita ini. Namun tidak
sedikit pula yang meragukannya, termasuk mas Is di dalam salah satu
postingannya.
Hal-hal seperti sudah berkali-kali muncul. Yang paling saya ingat adalah
runtuhnya gedung kembar WTC yang dihubungkan dengan At-Taubah ayat
109-110 (9: 109-110, sebagian masuk dalam juz ke-11) hanya karena
peristiwa ini terjadi pada 11 September 2001, dan tinggi gedung tersebut
adalah 110 lantai (namun, karena lantai 13 tidak ada jadi sebenarnya
gedung ini ada 109 lantai). Sedang angka 2001 dikatakan merujuk kepada
jumlah huruf yang ada pada surah ini.
Menunjukkan keagungan Al-Qur'an atau hanya kebetulan yang dibuat-buat?
Sesungguhnya Al-Qur'an diturunkan oleh Allah untuk ditadabburi dan mengambil pelajaran dari sana. Sungguh amat dangkal isi kitab ini jika hanya membahas persoalan-persoalan sependek ini.
Inilah yang oleh orang Jawa dinamakan sebagai ilmu gathuk. Ilmu cocok-cocokan. Namanya mencocokkan, jelas hanya bisa dilakukan setelah peristiwa terjadi. Tidak mungkin sebelum kejadian kita sudah memiliki pemikiran tentang kejadian tersebut.
Kalau Anda ingat apa yang dilakukan Deddy Corbuzier yang katanya bisa memprediksi siapa pemenang dalam turnamen piala dunia kemarin, ini sama saja dengan hal itu. Deddy mengatakan bisa meramalkan siapa pemenangnya dengan cara menuliskannya pada kertas kosong dan disimpan dengan penjagaan ketat. Orang paling bodoh pun bisa bilang itu hanya akal-akalan sang master ilusi ini saja. Seharusnya, jika memang bisa memprediksikan, sebut saja nama tim-nya, lalu sama-sama kita buktikan tim tersebut akan menjadi pemenang atau tidak.
Lihat saja cara analisisnya. Kalau bukan nama dan ayat surah, ya jumlah huruf atau juz yang jadi "sasarannya". Tidak ada standar ukur yang pasti alias sak karepe atau sak cocoke. Disamping itu ayat yang dimaksud tidak menunjuk kejadian secara langsung alias hanya bersifat umum. Dan satu lagi, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara serampangan seperti itu, bukan saja tidak ada dalam syar'i, juga menuai ancaman yang amat besar.
Ibnu Katsir rahimahumullah mengatakan, "Menafsirkan Al-Qur'an dengan logika semata, hukumnya HARAM."
"Barangsiapa berkata tentang Al-Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka."
(Tirmidzi: 2951, beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Bagaimana cara menafsirkan ayat Al-Qur'an yang benar?
Ibnu Katsir menjelaskan beberapa metode cara penafsiran yang terbaik yang dibenarkan oleh syar'i.
1. Al-Qur'an ditafsirkan dengan ayat Al-Qur'an yang lain.
Biasanya, ada ayat-ayat dari Kitabullah yang bersifat global atau umum. Jika ada ayat lain di dalam Al-Qur'an yang menjelaskannya, maka menafsirkannya dengan cara seperti ini dibenarkan.
Misalnya saja, ayat dari surah Al-Baqaraah ayat 155 yang potongan akhirnya berbunyi,
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
"... dan gembirakanlah orang-orang yang sabar."
Penafsiran tentang siapa orang yang sabar ini ada dijelaskan pada ayat selanjutnya,
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
"(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun."
2. Al-Qur'an ditafsirkan dengan hadits.
Jika tidak didapati ayat lain yang menjelaskan hal tersebut, maka Al-Qur'an ditafsirkan dengan hadits Nabi.
Contoh mengenai hal ini adalah -misalnya- perintah tentang mendirikan shalat. Nah, apa dan bagaimana serta kapan waktu-waktu untuk shalat ini, hadits Nabi yang menjelaskannya secara rinci.
3. Al-Qur'an ditafsirkan dengan pendapat shahabat.
Jika pada hadits-hadits Rasulullah tidak didapati penjelasannya, maka ayat Al-Qur'an ditafsirkan dengan perkataan/pendapat para shahabat. Karena mereka lebih paham maksud ayat karena mereka mengalaminya.
4. Al-Qur'an ditafsirkan dengan perkataan para tabi'in.
Jika pada pendapat shahabat juga tidak ditemukan, maka penafsiran dialihkan kepada perkataan para tabi'in seperti yang disebut Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur'anu 'l-'Adhim 1: 5-16.
Maka jelas, penafsiran Al-Qur'an selain dari cara-cara tersebut di atas adalah bathil. Semoga kita semua dapat menghindarkan diri dari menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur'an secara serampangan. Jika harus menjelaskan suatu ayat, lebih aman bila kita merujuk kepada pendapat para ulama' besar tentang ayat tersebut.