Thursday, January 3, 2013

ujungkelingking - Setelah tiga seri postingan ini saya tulis, :lol:
maka sebagai klimaksnya akan saya tulis juga "hasil akhir" perjuangan saya selama ini.

Sekitar pertengahan Oktober kemarin (saya lupa kapan persisnya), Akte Lahir anak kami pun jadilah. Tanpa salah cetak dan salah tulis lagi. Sudah sampai tingkat aman pertama, sorak hati saya.

Perbedaan wilayah -yang juga berbeda aturannnya- membuat kami memang cukup kesulitan mengurus surat-surat semacam ini. Misalnya saja, aturan di Sidoarjo, kami harus membuat Kartu Keluarga yang baru terlebih dahulu (yang sudah berisi data anak kedua kami), setelah itu barulah dari KK tersebut diterbitkan Akte Lahir anak kedua kami. Sedang untuk di Surabaya, kami harus membuat Akte Lahir dahulu, baru nanti akan terbit Kartu Keluarga. Dan kami yang tinggal di Sidoarjo namun masih menggunakan KK Surabaya cukup direpotkan dengan hal ini.

Karena itulah dengan terbitnya Akte Lahir ini sungguh membuat saya girang bukan kepalang. Itu berarti tinggal satu langkah lagi dan segalanya beres!

***

Beberapa hari setelah saya menerima akte tersebut -awal Nopember- saya segera pergi ke Kantor Kecamatan. Saat itu saya hanya membawa copy akte tersebut yang sudah terlegalisir dan Kartu Keluarga asli serta sebuah map sebagai tempatnya. Yang terakhir ini memang ketentuan dari Kecamatan untuk memudahkan pendistribusian ke Kantor Dispenduk nantinya.

Petugas sempat menanyakan data rekam (maksudnya, yang saya dapat dari Kantor kelurahan), dan itu harus dilampirkan juga. Namun setelah saya jelaskan bahwa data yang dimaksud tersebut ada di Kantor Dispenduk Sidoarjo -karena kelahiran terjadi di Sidoarjo- petugas tersebut pun memaklumi.

Selanjutnya saya diberi tanda terima yang menyatakan bahwa Kartu Keluarga yang baru bisa diambil satu bulan kemudian (30 hari kerja).

Dan, Desember kemarin KK tersebut sudah bisa saya laminating dan saya "koleksi" di lemari kami. Selesai.

Alhamdulillah.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, January 03, 2013

Friday, December 28, 2012

ujungkelingking - Dari status seorang teman, tentang memberi dan berharap balasan. Dia menganalogikan memberi sebagai pembilang, sedangkan mengharap balasan sebagai penyebut.

Secara matematis, suatu bilangan yang dibagi dengan bilangan lain, maka jika makin besar penyebutnya maka akan semakin kecil hasil yang didapat. Sebaliknya, jika makin kecil penyebutnya maka hasilnya semakin besar.

1/2 = 0.5

Lebih lanjut dikatakan, jika seseorang memberi dengan berharap sesuatu yang lebih besar (pada contoh, memberi 1 namun berharap mendapat 2), maka dia hanya akan mendapatkan separuh. Lebih sedikit dari yang diberikannya.

1/1 = 1

Kemudian dicontohkan lagi jika kita memberi seseorang namun berharap mendapatkan balasan yang sama, maka kita akan mendapatkan hal yang sama tersebut.
Lalu bagaimana jika kita memberi tanpa mengharap balasan apapun (nol)?

1/0 = ∞

Hasilnya adalah, TAK TERHINGGA!

Ternyata keikhlasan menjadikan kita jauh lebih beruntung, hehe...

***

nb: sepanjang yang saya tahu, hasil dari pembagian suatu bilangan dengan penyebut sama dengan nol masih diperdebatkan, apakah infinite (tak terhingga) ataukah undefined (tak terdefinisikan).
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, December 28, 2012

Monday, December 24, 2012

ujungkelingking - Pepatah lama yang mengatakan anak polah, bapa kepradah, yang kira-kira artinya bahwa apa yang dilakukan oleh seorang anak, orangtua akan tetap kena getahnya, barangkali memang benar adanya.

Hampir setiap hari, di media massa kita disuguhi berita-berita seperti itu. Mahasiswi hamil, narkoba dan siswa, video mesum pribadi, tawuran antar pelajar, dan sebagainya yang ujung-ujungnya orangtua-lah yang menanggung malu dan menanggung kerugian materi.

Tiba-tiba saja muncul pertanyaan, apakah selalu anak yang berulah?

Apakah tidak pernah terjadi orangtua yang berulah lalu kemudian anak yang menanggung malu?

Jika, iya, kenapa tidak ada pepatah yang berbunyi sebaliknya?

***

Faktanya adalah, buah apel jatuhnya tidak jauh dari pohonnya. Disini tersirat makna bahwa kebiasaan orangtua biasanya ter-copy kepada diri sang anak. Jadi jangan buru-buru anak disalahkan jika berulah. Jangan-jangan orangtuanya-lah yang mengajarinya, meski tidak secara sadar.

***

Maka, akhirnya menjadi jelas bahwa ulah orangtua akan menjadikan anak juga berulah. Dan selanjutnya dari ulah sang anak tersebut menjadikan orangtua-lah yang menuai malu.

Siapa yang salah sekarang?

(Selalu) belum terlambat untuk memperbaiki diri. Pendidikan anak selaku dimulai dari pendidikan keluarga (baca: diri si orangtua).

Jadi, yuk memperbaiki diri!

Bismillah,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, December 24, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!