Saturday, July 30, 2011

ujungkelingking - Tinggal hitungan jam saja, kita –umat Islam- akan memasuki bulan suci yang penuh barokah dan ampunan Allah subhanahu wa ta’alaa. 1 Agustus 2011 atau bertepatan dengan 1 Ramadlan 1432 h adalah hari pertama kita mengawali ibadah puasa. Memang, untuk tahun ini baik pemerintah, ulama’ maupun beberapa ormas Islam tidak memiliki perbedaan dalam menentukan awal Ramadlan.

Seandainya ada perbedaan sekalipun, maka hal itu katanya bisa menjadi rahmat bagi umat Islam.
Tapi benarkah demikian?

Jika dilihat dari sisi usaha keras para ulama’-ulama’ yang melakukan ijtihad sehingga kemudian memunculkan beberapa pendapat yang berlainan, maka benar jika perbedaan itu menjadi rahmat bagi umat.

Akan tetapi dalam persepsi lain, jika perbedaan itu dilihat dari sisi umat yang taqlid -mengikut saja- pendapat-pendapat ulama’ ini, atau kiai itu, padahal diantara pendapat-pendapat tersebut ada yang jelas-jelas bertentangan dengan sunnah Rasulullah, maka perbedaan di sini tidak akan pernah menjadi rahmat. Umat justru terpecah-belah.

Lalu bagaimana agar perbedaan itu tidak memecah belah dan melemahkan umat ini?

Pertama, tidak boleh ada perbedaan pendapat dalam hal-hal yang ditetapkan nash-nash qath'iy (pasti), seperti perkara-perkara akidah, ushul al-ahkam, dan lain sebagainya.

Kedua, setiap pendapat harus dibangun di atas dalil-dalil Alquran, as-Sunnah, Ijma Sahabat atau Qiyas, atau jika tidak bisa juga dengan syubhat dalil, tentu bagi yang menggunakannya

Ketiga, jika ada dua pendapat yang sama-sama syar'iy, maka seorang Muslim wajib melakukan tarjih untuk menentukan mana pendapat yang terkuat. Sebab, seorang Muslim tidak mungkin mengerjakan satu perbuatan dengan dua hukum yang berlawanan. Ia harus memilih salah satu pendapat yang dianggapnya kuat berdasarkan kaidah-kaidah tarjih.

Tarjih juga bisa dilakukan dalam cara berdiskusi. Hanya saja, diskusi tersebut tidak boleh menyulut permusuhan dan perselisihan.


وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” [Al-Anfal: 46]

Maka lebih bijak mengembalikan setiap perbedaan pendapat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bila dikembalikan kepada ego dan hawa nafsu, maka itulah awal kehancuran umat.

Rasulullah bersabda,


فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin al-mahdiyyiin (yang mendapatkan petunjuk, dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)

“Sunnahku” pada hadits di atas adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa salaam. Sedangkan “sunnah khulafa’ur rosyidin al-mahdiyyiin” adalah pemahaman (manhaj) para shahabat terhadap sunnah Rasulullah. Maka memahami sunnah haruslah dengan pemahaman para shahabat khulafa’ur rosyidin, agar kita setidaknya lebih dekat kepada kebenaran. Jika tidak, maka hanya akan menghasilkan pemahaman yang pada akhirnya menyimpang dari Islam.

Wallahu a'lam,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, July 30, 2011

Wednesday, July 27, 2011

ujungkelingking - Dari 10 alasan kenapa perempuan-perempuan Muslim tidak mau mengenakan jilbab -sebuah artikel yang ditulis oleh Dr. Huwayda Ismaeel- berikut ini saya ringkaskan beberapa diantaranya.

Semoga dapat menjadi pencerah bagi kita semuanya.

Saya belum benar-benar yakin akan jilbab

Pertanyaannya, apakah Anda benar-benar percaya dan mengakui kebenaran Islam? Bila jawabannya iya, maka pertanyaan selanjutnya, bukankah memakai jilbab termasuk hukum dalam Islam?

Bila Anda jujur dan dan tulus dalam ke-Islaman, maka jawaban untuk pertanyaan ini adalah, iya. Bahwa jilbab adalah sebagian dari hukum Islam yang tertera di dalam Al-Quran. Maka kesimpulannya, bila Anda percaya akan Islam dan meyakininya, mengapa tidak melaksanakan hukum-hukumnya?

Saya yakin akan pentingnya jilbab namun ibu saya melarangnya

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salaam:
“Tidak ada kepatuhan kepada suatu ciptaan diatas kepatuhan kepada Allah subhanahu wa ta’alaa.” (Ahmad)

Status orangtua dalam Islam menempati posisi yang sangat tinggi dan terhormat. Dalam banyak ayat kita diperintah untuk patuh dan berbuat baik kepada mereka. Dengan catatan, bila kepatuhan kita kepada orangtua tidak bertentangan dengan kepatuhan kita kepada Allah. Namun sungguhpun demikian kita tetap diwajibkan untuk berbuat baik kepada keduanya.

Logikanya, bagaimana mungkin kita mematuhi orangtua namun melanggar Allah yang menciptakan kita dan mereka?

Lingkungan tidak memungkinkan untuk saya memakai jilbab

Anggap saja alasan itu benar, maka apakah Anda tidak menyadari bahwa perempuan Muslim tidak diperbolehkan meninggalkan rumah tanpa menutupi auratnya dengan hijab? Dan saya yakin Anda tahu itu.

Apabila Anda, benar-benar jujur dan tulus dalam berusaha, maka Anda akan menemukan ribuan tangan kebaikan yang siap membantu, dan Allah subhanahu wa ta’ala akan membuat segala permasalahan mudah untuk Anda.
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya” [Ath-Thalaq:2-3]

Saya tidak memakai jilbab berdasarkan perkataan Allah subhanahu wa ta’alaa:

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)” [Ad-Dhuhaa 93: 11]

Bagaimana mungkin saya menutupi anugerah Allah berupa kulit yang halus dan rambut yang indah?

Maka, ingatlah ayat Allah yang berbunyi:
“Janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang nampak daripadanya” [An-Nur 24: 31]
Atau,
“Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya” [Al-Ahzab 33: 59]

Janganlah memancing-mancing kemarahan Allah dengan membuat-buat hukum dan mentafsir ayat semaunya sendiri.

Saya belum diberi petunjuk oleh-Nya

Langkah apa yang Anda lakukan selama menunggu hidayah?

Kita mengetahui bahwa Allah subhanahu wa ta’alaa dalam kalimat-kalimatNya menciptakan sebab atau cara untuk segala sesuatu. Itulah mengapa orang yang sakit menelan sebutir obat untuk menjadi sehat, dan sebagainya.

Apakah Anda dengan seluruh keseriusan telah berusaha mencari petunjuk?

Saya takut, bila saya memakai jilbab, saya akan di-cap dan digolongkan dalam kelompok tertentu! Saya benci pengelompokan!

Ketahuilah bahwa dalam agama ini hanya ada dua kelompok, yang keduanya telah disebutkan dalam Kitabullah. Dan kita sendiri-lah yang memilih untuk masuk kepada kelompok yang mana.

Kelompok pertama adalah kelompok tentara Allah (Hizbullah) yang diberikan pada mereka kemenangan, karena kepatuhan mereka. Sedang kelompok kedua adalah kelompok syetan (hizbush-shaitan) yang selalu melanggar Allah subhanahu wa ta’alaa.

***

Bagi Anda yang telah membaca artikel ini segera sampaikan kepada keluarga, saudara dan sahabat kita yang belum mengetahuinya.

Bismillah,

Sumber: http://elramdzikro.blogspot.com/2011/03/10-alasan-perempuan-yang-mengaku-Muslim.html
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, July 27, 2011

Friday, July 22, 2011

ujungkelingking - Pengalaman yang akan saya tulis ini adalah pengalaman pribadi saya. Atau lebih tepatnya pengalaman anak kami, Dhiya’ul Haq Zaki Ilyas, yang saat ini berusia 16 bulan. Anak kami yang pertama dan satu-satunya, setidaknya untuk saat ini, hehehe...

Dok. pribadi
Hari itu, Selasa 12 Juli 2011 saat saya sedang berada di tempat kerja, tiba-tiba istri saya menelpon dari rumah, mengabarkan kalau anak kami mengalami panas tinggi dan bahkan sempat terjadi kejang –yang istilah medisnya kejang demam atau stuip (jawa: step). Untuk tindakan darurat, segera saya meminta istri untuk membawanya ke puskesmas, karena letaknya tidak begitu jauh dari rumah. Saya pun meminta izin pulang hari itu.

Sesampainya di puskesmas, ternyata istri saya sudah pulang. Dokter hanya memberi obat dan tidak menyarankan opname. Dari keterangan istri saya –yang juga menjiplak keterangan dokter- anak kami memiliki toleransi yang rendah terhadap suhu tinggi. Jadi bila anak-anak lain dengan suhu di atas 40° C baru memiliki kemungkinan mengalami kejang, maka pada anak kami suhu tubuh di atas 38° C atau 39° C saja sudah mengalami kejang.

Tapi kelegaan saya tidak berlangsung lama. Karena pada malam harinya, suhu tubuh anak kami kembali tinggi. Bergantian kami mengompresnya, dan hal itu berlangsung semalaman!

Pagi harinya kami membawanya ke bidan di desa tetangga. Istri saya kalau sakit biasanya ke bidan ini. Jadi barangkali anak kami juga cocok. Tapi di sana bidan hanya memberi parasetamol dan antibiotik.

Sampai sore hari tidak ada tanda-tanda kalau suhunya meninggi. Tapi menginjak malam, suhu tubuhnya kembali tinggi.

Khawatir akan adanya kemungkinan gejala DBD, atau penyakit ganas lainnya, maka keesokannya kami membawanya ke rumah sakit. Disana dilakukan tes darah. Hasilnya, negatif. Anak kami secara teori, sehat.

Malam harinya, suhu tubuhnya tidak juga menurun, padahal obat dan kompres terus diberikan. Terus berlangsung sampai malam berikutnya. Mungkin di sinilah letak kesalahan kami sebagai orang tua. Tidak tanggap terhadap situasi yang terjadi. Kami semula mengira tingginya suhu tubuh anak kami karena giginya mau tumbuh. Setidaknya memang ada 6 bakal gigi yang terlihat akan tumbuh.

Jum’at, 15 Juli 2011. Suhu tubuh 40° C. Zaki kembali mengalami kejang.
Malam itu juga kami membawanya ke puskesmas. Perawat di sana menyarankan untuk dirawat inap mengingat panasnya yang terlalu tinggi dan membutuhkan bantuan infus untuk suplai cairan. Beberapa hari ini memang Zaki susah makan, mungkin gara-gara sakitnya.

Pagi harinya, saat diperiksa dokter barulah ketahuan apa yang menyebabkan suhu tubuh anak kami sangat tinggi. Zaki terkena campak (jawa: gabag), disebabkan virus morbili yang penyebarannya lewat udara, sehingga mudah sekali menular. Apalagi secara kebetulan anak tetangga kami sudah terkena virus ini dan sudah opname di rumah sakit selama sepekan.

Dari informasi yang saya dapat dari beberapa kali jalan-jalan di search engine, sebenarnya tidak ada obat untuk penyakit ini. Penyakit ini akan hilang setelah semua prosesnya terlewati. Yaitu dimulai dari suhu tubuh yang meninggi, lalu keluar bercak-bercak merah di tubuh –biasanya dimulai dari punggung dan belakang telinga, lalu bercak-bercak merah itu akan menyebar keseluruh permukaan tubuh diikuti radang selaput mata, batuk dan diare, lalu bercak-bercak merah mengering untuk kemudian berangsur menghilang dan panas tubuh pun turun. Seluruh proses ini biasanya berlangsung sekitar 7-10 hari. Itulah kenapa dokter cuma memberikan obat penurun panas dan antibiotik saja.

Sampai hari kedua di puskesmas, keadaan anak kami tidak juga membaik. Untuk makan begitu susah, minum obat tambah susah. Hanya infus dan ASI saja yang menopang dirinya.

Tapi alhamdulillah, menginjak hari yang keempat keadaanya mulai membaik. Sudah mau duduk sendiri atau pun berdiri, meski makannya juga masih susah. Kami pun optimis kalau besok Zaki sudah diizinkan untuk pulang, apalagi hasil pemeriksaan dokter tadi pagi menyebutkan kalau keadaannya sudah bagus, hanya tinggal menunggu BAB-nya yang masih cair.

Malam harinya, terjadi sedikit insiden. Infus yang ada pada anak kami, macet. Oleh perawat diperiksa, dan mereka mengatakan kalau infus dan intravena setidaknya 4 hari harus diganti. Artinya, infus yang lama harus dilepas dan dipasang infus lagi yang baru. Padahal, waktu dipasang pertama, saya benar-benar tidak tega melihatnya. Lha ini mau ditusuk-tusuk lagi. Apalagi kata istri saya perawat yang sekarang ini orangnya “kurang pinter” dalam memasang jarum infus (pengalaman waktu Zaki opname dulu). Tapi okelah dicoba dulu...

Apa yang saya takutkan terjadi. Cukup lama perawat ini mencari-cari pembuluh darah anak saya. Mungkin bawaan ibunya kali ya? Sebab istri saya dulu juga mengalami hal yang sama sewaktu melahirkan Zaki.

Akhirnya perawat itu mulai menusukkan jarumnya. Tapi rupanya “salah sasaran”, terbukti tidak ada darah yang keluar. Perawat itu kemudian berinisiatif menarik sedikit jarumnya, untuk ditusukkan lagi. Masih tidak ada darah yang keluar. Tidak terlukiskan perasaan saya waktu itu. Antara cemas, bimbang dan marah. Perawat itu lalu mencoba untuk yang ketiga kalinya. Dan karena masih gagal juga akhirnya saya memutuskan untuk tidak memakai infus. Saya sendiri tidak tahu apakah ini keputusan yang benar atau justru keputusan yang ceroboh. Saya katakan kepada perawat itu agar tidak usah lagi dipasang infus, toh besok pagi rencananya sudah boleh rawat jalan. Perawat itu kemudian bertanya kepada saya, berapa kali BAB-nya. Saya jawab “cuma” 4 kali.

Hehe, ini yang menarik. Saya ingin sedikit membahas tentang fungsi kata “cuma”. Kata ini ternyata bisa dipakai untuk menyedikit-kan jumlah, walaupun sebenarnya sama. Perawat yang sebelumnya bertanya, dengan pertanyaan yang sama. Ketika istri saya menjawab “sudah” 4 kali, maka si perawat langsung memutuskan harus tetap di-infus! Tetapi ketika pada perawat yang lain –dengan pertanyaan yang sama- saya menjawabnya “cuma” 4 kali, dia merespon lain. Perawat itu menjawab boleh, dengan catatan tidak BAB lagi sampai besok pagi.

Akhirnya, dengan izin Allah. Anak saya diperbolehkan pulang esok harinya.

Pengalaman ini benar-benar menjadi pelajaran yang berharga buat kami. Sekarang, kami –orang tuanya- punya tugas berat untuk lebih menjaganya.

Bismillah.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, July 22, 2011

Friday, July 8, 2011

ujungkelingking -

Hadist riwayat Abu Sufyan radhiallahu anhu, ia berkata:
Aku berangkat ke Syam pada masa perdamaian Hudaibiah, yaitu perjanjian antara diriku dan Rasulullah shallallahu alaihi wa salaam. Ketika aku berada di Syam, datanglah sepucuk surat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa salaam yang ditujukan ke Hiraklius, Penguasa Romawi. Yang membawa surat itu adalah Dihyah Al-Kalbi yang langsung menyerahkannya kepada Penguasa Basrah. Selanjutnya, Penguasa Basrah menyerahkan kepada Hiraklius.

Hiraklius lalu bertanya, “Apakah di sini terdapat seorang dari kaum lelaki yang mengaku sebagai nabi ini?”

Mereka menjawab, “Ya!”

Maka aku pun dipanggil bersama beberapa orang Quraisy lainnya sehingga masuklah kami menghadap Hiraklius. Setelah mempersilakan kami duduk di hadapannya, Hiraklius bertanya, “Siapakah di antara kamu sekalian yang paling dekat nasabnya dengan lelaki yang mengaku sebagai nabi ini?”

Abu Sufyan berkata, “Lalu aku menjawab, Aku.”

Kemudian aku dipersilakan duduk lebih dekat lagi ke hadapannya sementara teman-temanku yang lain dipersilakan duduk di belakangku. Kemudian Hiraklius memanggil juru terjemahnya dan berkata kepadanya, “Katakanlah kepada mereka bahwa aku akan menanyakan kepada orang ini tentang lelaki yang mengaku sebagai nabi itu. Jika ia berdusta kepadaku, maka katakanlah bahwa ia berdusta.”

Abu Sufyan berkata, “Demi Allah, seandainya aku tidak takut dikenal sebagai pendusta, niscaya aku akan berdusta.”

Lalu Hiraklius berkata kepada juru terjemahnya, “Tanyakan kepadanya bagaimana dengan keturunan lelaki itu di kalangan kamu sekalian?”

Aku menjawab, “Di kalangan kami, dia adalah seorang yang bernasab baik.”

Dia bertanya, “Apakah ada di antara nenek-moyangnya yang menjadi raja?”

Aku menjawab, “Tidak.”

Dia bertanya, “Apa kamu sekalian menuduhnya sebagai pendusta sebelum dia mengakui apa yang dikatakannya?”

Aku menjawab, “Tidak.”

Dia bertanya, “Siapakah pengikutnya, orang-orang yang terhormatkah atau orang-orang yang lemah?”

Aku menjawab, “Para pengikutnya adalah orang-orang lemah.”

Dia bertanya, “Mereka semakin bertambah ataukah berkurang?”

Aku menjawab, “Bahkan mereka semakin bertambah.”

Dia bertanya, “Apakah ada seorang pengikutnya yang murtad dari agamanya setelah dia peluk karena rasa benci terhadapnya?”

Aku menjawab, “Tidak.”

Dia bertanya, “Apakah kamu sekalian memeranginya?”

Aku menjawab, “Ya.”

Dia bertanya, “Bagaimana peperangan kamu dengan orang itu?”

Aku menjawab, “Peperangan yang terjadi antara kami dengannya silih-berganti, terkadang dia mengalahkan kami dan terkadang kami mengalahkannya.”

Dia bertanya, “Apakah dia pernah berkhianat?”

Aku menjawab, “Tidak. Dan kami sekarang sedang berada dalam masa perjanjian damai dengannya, kami tidak tahu apa yang akan dia perbuat.”

Dia melanjutkan, “Demi Allah, aku tidak dapat menyelipkan kata lain dalam kalimat jawaban selain ucapan di atas.”

Dia bertanya lagi, “Apakah perkataan itu pernah diucapkan oleh orang lain sebelum dia?”

Aku menjawab, “Tidak.”

Selanjutnya Hiraklius berkata kepada juru terjemahnya, “Katakanlah kepadanya, ketika aku bertanya kepadamu tentang nasabnya, kamu menjawab bahwa ia adalah seorang yang bernasab mulia. Memang demikianlah keadaan rasul-rasul yang diutus ke tengah kaumnya. Ketika aku bertanya kepada kamu apakah di antara nenek-moyangnya ada yang menjadi raja, kamu menjawab tidak. Menurutku, seandainya ada di antara nenek-moyangnya yang menjadi raja, aku akan mengatakan dia adalah seorang yang sedang menuntut kerajaan nenek-moyangnya. Lalu aku menanyakan kepadamu tentang pengikutnya, apakah mereka orang-orang yang lemah ataukah orang-orang yang terhormat. Kamu menjawab mereka adalah orang-orang yang lemah. Dan memang merekalah pengikut para rasul. Lalu ketika aku bertanya kepadamu apakah kamu sekalian menuduhnya sebagai pendusta sebelum dia mengakui apa yang dia katakan. Kamu menjawab tidak. Maka tahulah aku, bahwa tidak mungkin dia tidak pernah berdusta kepada manusia kemudian akan berdusta kepada Allah. Aku juga bertanya kepadamu apakah ada seorang pengikutnya yang murtad dari agama setelah ia memeluknya karena rasa benci terhadapnya. Kamu menjawab tidak. Memang demikianlah iman bila telah menyatu dengan orang-orang yang berhati bersih. Ketika aku menanyakanmu apakah mereka semakin bertambah atau berkurang, kamu menjawab mereka semakin bertambah. Begitulah iman sehingga ia bisa menjadi sempurna. Aku juga menanyakanmu apakah kamu sekalian memeranginya, kamu menjawab bahwa kamu sekalian sering memeranginya. Sehingga perang yang terjadi antara kamu dengannya silih-berganti, sesekali dia berhasil mengalahkanmu dan di lain kali kamu berhasil mengalahkannya. Begitulah para rasul akan senantiasa diuji, namun pada akhirnya merekalah yang akan memperoleh kemenangan. Aku juga menanyakanmu apakah dia pernah berkhianat, lalu kamu menjawab bahwa dia tidak pernah berkhianat. Memang begitulah sifat para rasul tidak akan pernah berkhianat. Aku bertanya apakah sebelum dia ada seorang yang pernah mengatakan apa yang dia katakan, lalu kamu menjawab tidak. Seandainya sebelumnya ada seorang yang pernah mengatakan apa yang dia katakan, maka aku akan mengatakan bahwa dia adalah seorang yang mengikuti perkataan yang pernah dikatakan sebelumnya.

Dia melanjutkan, kemudian Hiraklius bertanya lagi, “Apakah yang ia perintahkan kepadamu?”

Aku menjawab, “Dia menyuruh kami dengan shalat, membayar zakat, bersilaturahmi serta membersihkan diri dari sesuatu yang haram dan tercela.”

Hiraklius berkata, “Jika apa yang kamu katakan tentangnya itu adalah benar, maka ia adalah seorang nabi. Dan aku sebenarnya telah mengetahui bahwa dia akan muncul, tetapi aku tidak menyangka dia berasal dari bangsa kamu sekalian. Dan seandainya aku tahu bahwa aku akan setia kepadanya, niscaya aku pasti akan senang bertemu dengannya. Dan seandainya aku berada di sisinya, niscaya aku akan membersihkan segala kotoran dari kedua kakinya serta pasti kekuasaannya akan mencapai tanah tempat berpijak kedua kakiku ini.”

Dia melanjutkan, kemudian Hiraklius memanggil untuk dibawakan surat Rasulullah shallallahu alaihi wa salaam lalu membacanya. Ternyata isinya adalah sebagai berikut:

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah, dari Muhammad, utusan Allah, untuk Hiraklius, Penguasa Romawi.

Salam sejahtera semoga selalu terlimpah kepada orang-orang yang mau mengikuti kebenaran. Sesungguhnya aku bermaksud mengajakmu memeluk Islam. Masuklah Islam, niscaya kamu akan selamat. Masuklah Islam niscaya Allah akan menganugerahimu dua pahala sekaligus. Jika kamu berpaling dari ajakan yang mulia ini, maka kamu akan menanggung dosa seluruh pengikutmu. (Wahai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat ketetapan yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain daripada Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah).

Selesai ia membaca surat tersebut, terdengarlah suara nyaring dan gaduh di sekitarnya. Lalu ia memerintahkan sehingga kami pun segera dikeluarkan. Lalu aku berkata kepada teman-temanku ketika kami sedang menuju keluar, “Benar-benar telah tersiar ajaran Ibnu Abu Kabasyah, dan sesungguhnya ia benar-benar ditakuti oleh Raja Romawi.”

Abu Sufyan berkata, “Aku masih terus merasa yakin dengan ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wa salaam bahwa ia akan tersiar luas sehingga Allah berkenan memasukkan ajaran Islam itu ke dalam hatiku.”

(Shahih Muslim No.3322)
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, July 08, 2011

Saturday, July 2, 2011

ujungkelingking - Ah, akhirnya ada kesempatan juga untuk menulis, setelah beberapa hari belakangan ini sempat absen. Selain karena pekerjaan yang cukup menyita waktu, juga karena akhir-akhir ini saya sering mencermati “perang agama” yang terjadi di situs jejaring sosial, facebook.

Perang agama, yang sebenarnya hanyalah contoh kecil dari “perang-perang” yang tengah terjadi di sekeliling kita.

Perang agama yang saya maksud di sini adalah perang komentar pada akun facebook dengan saling menghina dan mengolok-olok, saling menghujat, meremehkan dan saling melecehkan, antara anak-anak muslim dan anak-anak kristen. Saya sebut sebagai “anak-anak” karena hal ini adalah aplikasi dari ketidak-dewasaan cara berpikir kita. Tidak ada yang berpikir dingin, rasional, dan jernih. Setiap hinaan akan dibalas dengan olok-olok, setiap hujatan akan dibalas dengan pelecehan.

Ini juga menjadi bukti bahwa Islam mulai kehilangan ‘izzah-nya di mata kaum Kuffar.
 

***

 Bila kita mencoba untuk sedikit menggunakan nalar, tentu kita paham bahwa debat kusir yang semacam itu tidak akan menghasilkan apa-apa. Bila kebenaran yang dicari, maka masih sangat jauh dari tujuan. Kita –Muslim- tentu membuka diri untuk debat-debat atau diskusi, selama dilakukan dengan cara yang beretika.

“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu."
[Al-Nisa': 86]

Dan tujuan mereka –kaum di luar Islam- memang bukan untuk mencari kebenaran. Mereka sesungguhnya ingin memancing reaksi keras dari kaum Muslimin. Ketika komentar mereka dibalas, mereka akan membalas lebih keras lagi. Dan begitu seterusnya.

“Dan tidaklah sekali-kali akan ridlo orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani terhadap kalian, hingga kalian mengikuti ajaran mereka.”
[Al-Baqarah: 120]

Mereka senang menciptakan permusuhan. Ini yang menggelikan, padahal ajaran Isa yang sebenarnya adalah ajaran kasih-sayang. Lalu darimana sikap permusuhan seperti itu?


Bagaimana seharusnya kita bersikap?

Seorang Muslim kita dilarang keras menghina ajaran agama lain, tuhan agama lain, atau kitab agama lain.

Injil, misalnya. Pada Injil yang sekarang beredar di kalangan ahlul-kitab masih terdapat ajaran tauhid di sana. Sebagian isinya adalah dari Allah subhanahu wa ta’ala, meskipun sisanya adalah hasil karya tangan-tangan kotor manusia. Karena itu kaum Muslimin menerima sebagian dari Injil dan menolak sisanya. Standarnya adalah Al-Qur’anul Kariim. Sebab pada Al-Qur’an-lah ajaran-ajaran lain itu disempurnakan.

Begitu juga dengan penglecehan terhadap sosok Yesus. Itu sama artinya dengan penghujatan terhadap Isa alaihisalam. Bukankah Yesus adalah Isa dalam perspektif Al-Qur'an? Hanya saja, kita menerima Isa yang sebagai utusan Allah dan menolaknya sebagai tuhan.

Rasulullah juga melarang kita menghina agama kita sendiri. Yaitu ketika kita menghina agama orang lain, lalu orang lain itu balas menghina agama kita.

"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan".
[Al-An'am: 108]


Lalu apakah sebagai seorang Muslim kita harus berdiam diri saja menerima hinaan dan pelecehan seperti itu?

“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam.”
[An Nisa':140]

Agaknya, prinsip "lakum dinukum waliyadiin" menjadi penting untuk diterapkan pada kasus semacam ini.

Kita hendaknya menahan diri dari terjebak pada “perang gak penting” yang sesungguhnya akan mengotori cara berpikir seorang Mu’min.


Tapi bagaimana bila kebencian kaum kafir itu diaplikasikan pada perbuatan yang melecehkan umat Muslim?

Dalam cuplikan fatwa yang dimuat dalam Kitab Al-Bahru Ar-Ro’iq disebutkan;
“Jika ada seorang Muslimah di bagian timur ditawan musuh maka wajib bagi kaum Muslimin yang berada di bagian barat bumi untuk membebaskannya.”

Seorang Muslimah di jaman Rasulullah pergi ke pasar Yahudi bani Qainuqa. Ia mendatangi seorang tukang-sepuh untuk menyepuhkan perhiasannya. Muslimah itu bermaksud menunggu sampai selesai tiba-tiba beberapa orang Yahudi datang mengerumuninya. Dengan nada mengejek mereka meminta kepada si wanita utk membuka purdahnya. Permintaan itu ia tolak mentah-mentah. Namun secara diam-diam si tukang sepuh menyangkutkan ujung pakaian yang menutupi seluruh tubuh itu pada bagian punggungnya. Ketika si wanita berdiri terbukalah aurat bagian belakangnya. Melihat pemandangan itu orang-orang Yahudi bersorak riang. Si wanita pun menjerit meminta tolong.

Kegaduhan segera terjadi. Seorang mukmin yang kebetulan berada di tempat itu segera bereaksi. Secepat kilat ia menyerang tukang sepuh dan membunuhya. Orang-orang Yahudi menjadi murka karenanya. Mereka balas mengeroyok si mukmin hingga terbunuh.

“Barang siapa terbunuh karena membela hartanya maka dia syahid; dan barang siapa yg terbunuh karena membela darahnya maka dia syahid; dan barang siapa terbunuh karena membela agamanya maka dia syahid; dan barang siapa terbunuh membela keluarganya maka dia syahid.”
 

***

 "Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar."
[An-Nahl: 126]

"Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan."
[Al-Imran: 178]


Hasbunallah wa ni’mal wakiil.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, July 02, 2011

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!