Tuesday, February 18, 2014

ujungkelingking - Menakar Pentingnya Bilik Asmara Bagi Pengungsi


Agak mengerutkan dahi juga saya ketika membaca sebuah koran nasional hari ini.

Pada salah satu rubriknya ada gagasan yang cukup mencengangkan, yaitu perlunya dibangun bilik asmara di lokasi pengungsian.

Seperti yang kita tahu, bencana alam -apapun itu namanya- seringkali membuat warga harus meninggalkan rumah dan harta bendanya untuk waktu yang tidak bisa diprediksikan. Kehidupan di tempat pengungsian juga seringkali hanya "apa adanya". Jangankan untuk makan dan tidur, sekedar untuk pipis dan pub saja sudah repot bukan main. Kalau boleh saya sederhanakan, di sana hanya lahir dua kata saja: kalau tidak berebut, ya antri. Kondisi yang demikian ini, apalagi jika ditambah dengan informasi harta bendanya yang ludes tidak tersisa tentulah memicu tingkat stres yang tinggi.

Nah, menyikapi hal tersebut penulis di rubrik gagasan tersebut menyatakan pentingnya untuk dibangun bilik asmara untuk para pengungsi itu. Diharapkan setelah mereka dapat menyalurkan hasratnya tekanan yang timbul akibat musibah tersebut bisa jauh berkurang. Mereka bisa lebih rileks dan mampu untuk berpikir jernih.


Bilik asmara, relevankah?


Wacana tentang pengadaan bilik asmara ini agaknya mengingatkan kita pada kasus yang menimpa seorang koruptor. Dan kabarnya bilik asmara ini memang sudah ada di penjara-penjara atau lembaga pemasyarakatan tertentu.

Jika bilik asmara ini dikaitkan dengan para narapidana itu, tentu bagi saya amat sangat relevan. Kenapa?

Karena satu, Para napi itu tinggal di sana bukan untuk waktu yang sebentar. Bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.  Sementara kebutuhan "bawah perut" ini seringkali tidak bisa disuruh menunggu selama itu. Karena tidak mungkin mempersilahkan napi untuk pulang dan melepaskan hasratnya, maka bilik asmara ini menjadi salah satu solusi yang aman.

Kedua, para penghuni napi itu jelas seragam. Maksud saya, rentang usia dan jenis kelaminnya. Intinya karena sama-sama dewasa, jadi sama-sama ngertilah. Dan tidak mungkin bagi napi yang belum beristri lalu nyelonong masuk dengan istri orang lain. Tidak mungkin juga ada anak di bawah umur yang tiba-tiba nyasar dan ngintip ke dalam bilik.

Tapi pertanyaannya kemudian bagaimana dengan bilik asmara yang (jika jadi) dibangun di lokasi pengungsian?

Tentu masalahnya tidak sesederhana contoh perbandingan saya di atas. Selain mereka di sana juga tidak mungkin lama (tidak sampai berbulan-bulan), di lokasi pengungsian ini juga penghuninya sangat beragam. Laki-laki, perempuan, bujang, beristri, duda, janda, balita, bocah, dsb.

Tidak bisa rasanya kita membayangkan ada sepasang pasangan yang mempergunakan bilik ini, sementara ada anak-anak berkeliaran di sampingnya. Pertanyaan apa yang ada di benak mereka? Jangan bilang ini pendidikan seks sejak dini. Wow, bukan yang seperti ini.

Belum lagi mereka yang duda atau yang istrinya meninggal akibat musibah tersebut. Terus melihat pasangan yang lain bermesraan? Kalau bisa menahan diri saja itu sudah kasihan. Lah kalau tidak? Ngeri kalau diterus-teruskan.

Dan sampai saat ini saya masih belum dapat menemukan alasan pentingnya bilik tersebut diadakan di lokasi pengungsian.

Image: merdeka.com


Ah, jangan-jangan nanti ada yang di-cap sebagai mereguk nikmat di atas gondoknya orang lain???
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, February 18, 2014

ujungkelingking - Al-Qur'an Meramalkan Bencana, Mu'jizat Atau Kebetulan?


Semenjak Kelud meletus, beredar broadcast dan sms, entah darimana sumber awalnya yang mengatakan bahwa kejadian ini sudah diramalkan oleh Al-Qur'an.

Di sana disebutkan bahwa kejadian erupsi itu terjadi pada tanggal 13 Pebruari 2014, pukul 20.49 atau 20.50. Ini sesuai dengan apa yang tertulis di Al-Qur'an yang "menunjukkan" peristiwa tersebut. Ayat yang dimaksud adalah surah 13: 2 dan 22: 49-50, serta 20: 14.

Banyak orang yang percaya dengan "kebenaran" berita ini. Namun tidak sedikit pula yang meragukannya, termasuk mas Is di dalam salah satu postingannya.

Hal-hal seperti sudah berkali-kali muncul. Yang paling saya ingat adalah runtuhnya gedung kembar WTC yang dihubungkan dengan At-Taubah ayat 109-110 (9: 109-110, sebagian masuk dalam juz ke-11) hanya karena peristiwa ini terjadi pada 11 September 2001, dan tinggi gedung tersebut adalah 110 lantai (namun, karena lantai 13 tidak ada jadi sebenarnya gedung ini ada 109 lantai). Sedang angka 2001 dikatakan merujuk kepada jumlah huruf yang ada pada surah ini.


Menunjukkan keagungan Al-Qur'an atau hanya kebetulan yang dibuat-buat?


Sesungguhnya Al-Qur'an diturunkan oleh Allah untuk ditadabburi dan mengambil pelajaran dari sana. Sungguh amat dangkal isi kitab ini jika hanya membahas persoalan-persoalan sependek ini.

Inilah yang oleh orang Jawa dinamakan sebagai ilmu gathuk. Ilmu cocok-cocokan. Namanya mencocokkan, jelas hanya bisa dilakukan setelah peristiwa terjadi. Tidak mungkin sebelum kejadian kita sudah memiliki pemikiran tentang kejadian tersebut.

Kalau Anda ingat apa yang dilakukan Deddy Corbuzier yang katanya bisa memprediksi siapa pemenang dalam turnamen piala dunia kemarin, ini sama saja dengan hal itu. Deddy mengatakan bisa meramalkan siapa pemenangnya dengan cara menuliskannya pada kertas kosong dan disimpan dengan penjagaan ketat. Orang paling bodoh pun bisa bilang itu hanya akal-akalan sang master ilusi ini saja. Seharusnya, jika memang bisa memprediksikan, sebut saja nama tim-nya, lalu sama-sama kita buktikan tim tersebut akan menjadi pemenang atau tidak.

Lihat saja cara analisisnya. Kalau bukan nama dan ayat surah, ya jumlah huruf atau juz yang jadi "sasarannya". Tidak ada standar ukur yang pasti alias sak karepe atau sak cocoke. Disamping itu ayat yang dimaksud tidak menunjuk kejadian secara langsung alias hanya bersifat umum. Dan satu lagi, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara serampangan seperti itu, bukan saja tidak ada dalam syar'i, juga menuai ancaman yang amat besar.

Ibnu Katsir rahimahumullah mengatakan, "Menafsirkan Al-Qur'an dengan logika semata, hukumnya HARAM."

"Barangsiapa berkata tentang Al-Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka."
(Tirmidzi: 2951, beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan)


Bagaimana cara menafsirkan ayat Al-Qur'an yang benar?


Ibnu Katsir menjelaskan beberapa metode cara penafsiran yang terbaik yang dibenarkan oleh syar'i.

1. Al-Qur'an ditafsirkan dengan ayat Al-Qur'an yang lain.

Biasanya, ada ayat-ayat dari Kitabullah yang bersifat global atau umum. Jika ada ayat lain di dalam Al-Qur'an yang menjelaskannya, maka menafsirkannya dengan cara seperti ini dibenarkan.

Misalnya saja, ayat dari surah Al-Baqaraah ayat 155 yang potongan akhirnya berbunyi,

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

"... dan gembirakanlah orang-orang yang sabar."

Penafsiran tentang siapa orang yang sabar ini ada dijelaskan pada ayat selanjutnya,

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

"(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun."

2. Al-Qur'an ditafsirkan dengan hadits.

Jika tidak didapati ayat lain yang menjelaskan hal tersebut, maka Al-Qur'an ditafsirkan dengan hadits Nabi.

Contoh mengenai hal ini adalah -misalnya- perintah tentang mendirikan shalat. Nah, apa dan bagaimana serta kapan waktu-waktu untuk shalat ini, hadits Nabi yang menjelaskannya secara rinci.

3. Al-Qur'an ditafsirkan dengan pendapat shahabat.

Jika pada hadits-hadits Rasulullah tidak didapati penjelasannya, maka ayat Al-Qur'an ditafsirkan dengan perkataan/pendapat para shahabat. Karena mereka lebih paham maksud ayat karena mereka mengalaminya.

4. Al-Qur'an ditafsirkan dengan perkataan para tabi'in.

Jika pada pendapat shahabat juga tidak ditemukan, maka penafsiran dialihkan kepada perkataan para tabi'in seperti yang disebut Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur'anu 'l-'Adhim 1: 5-16.


Maka jelas, penafsiran Al-Qur'an selain dari cara-cara tersebut di atas adalah bathil. Semoga kita semua dapat menghindarkan diri dari menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur'an secara serampangan. Jika harus menjelaskan suatu ayat, lebih aman bila kita merujuk kepada pendapat para ulama' besar tentang ayat tersebut.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, February 18, 2014

Monday, February 17, 2014

ujungkelingking - Ketika Niat Baik Tidak Berujung Baik


Hari Minggu kemarin merupakan hari yang menjadi catatan bersejarah bagi kami. Sebuah musibah yang tak pernah ada di benak sebelumnya, menyentuh kami. Ketika saya menuliskan ini hati saya sungguh sedang mulai cooling down. Banyak istighfar mengiringi tulisan ini.

***

Pagi itu saya memutuskan libur dari berjualan. Ada beberapa rencana yang sudah kami agendakan, termasuk mengunjungi kedua orangtua saya.

Setelah sarapan dan persiapan anak-anak sudah beres, saya menyempatkan untuk mengerjakan shalat Dhuha. H-hee, sebenarnya saya jarang banget mengerjakan sunnah yang satu ini. Biasanya kalau libur ngantor, prei juga Dhuha-nya. Mumpung ada kesempatan, kali aja dengan ini saya bisa dapat rejeki, h-hii... *ngarep.com

Akhirnya kami pun berangkat. Tidak lupa saya minta juga ke Zaki, ibunya sekaligus Daffa agar berdoa bersama-sama untuk keselamatan di dalam perjalanan nanti. Dengan iringan bismillah, kamipun berangkat.

Sekitar pukul 10.00, beberapa agenda sudah terselesaikan. Agenda yang lain terpaksa kami pending karena hari sudah cukup siang. Kami langsung saja menuju ke rumah orangtua saya di daerah Ngaban, Tanggulangin.

Dan musibahpun dimulai dari sini...

Di tengah-tengah perjalanan tersebut, sebuah motor yang ditumpangi 2 orang ibu-ibu mendadak oleng dan kemudian terjatuh. Motor itu tepat di depan kami. Subhanallah, saya tidak bisa membayangkan bila kami yang berada di titik tersebut karena jarak kami memang tidak terlalu jauh. Dua detik saja saya lebih cepat, mungkin kamilah yang sedang terjatuh itu. Namun meski tepat di depan kami, kami tidak sempat melihat kronologisnya karena kejadiannya yang cukup tiba-tiba. Tertabrak atau terserempet oleh siapa, kami tidak tahu.

Saya kemudian bermaksud menolong kedua ibu itu dengan menghentikan motor saya di depan titik jatuhnya motor itu. Namun, karena sudah ada dua orang yang menolong (seorang jukir dan seorang tukang becak), dan saya perkirakan lukanya tidak terlalu parah, saya mengurungkan niat dan bermaksud kembali melanjutkan perjalanan.

Namun di sinilah letak kesalahan saya.

Ketika ibu-ibu tersebut sadar dari kecelakaannya, motor yang pertama kali dilihatnya adalah motor saya. Dan lalu dengan serta-merta saya dianggap sebagai orang yang menyebabkannya jatuh. Ibu-ibu itu menunjuk-nunjuk saya dengan penuh amarah. Saya yang tidak merasa berbuat apa-apa tentu tidak paham dengan maksud ibu itu.

Subhanallah, mungkin sudah garis Allah. Tidak jauh dari lokasi kejadian ada seorang petugas polisi yang sedang melakukan razia. Asumsi saya, orang yang menyerempet ibu tersebut kemungkinan grogi melihat petugas sehingga terjadilah hal ini. Namun si pelaku sudah keburu kabur.

Petugas itu mendekati saya, "Ada apa, Pak?"

Saya yang bingung hanya bilang, "Ibu itu jatuh tepat di depan saya, tapi saya tidak tahu siapa yang menyerempet."

"Baiklah, diomongkan baik-baik saja sama ibu itu." Sahut si petugas.

Maka kamipun dipertemukan dengan ibu itu. Ibu-ibu itu dengan penuh amarah mengatakan kamilah yang menyerempet mereka. Sedangkan saya otomatis membantah hal itu, bahkan ketika ibu itu jatuh posisi saya masih beberapa meter di belakangnya. Saya sudah coba menjelaskan kronologi yang saya ingat, saya juga sudah meminta petugas polisi untuk mengecek apakah sepeda saya baret atau tidak (kalau saya yang menyerempet, setidaknya ada goresan atau patahan baru pada motor saya). Namun si ibu tidak mau tahu tetap menyalahkan saya dan menuntut biaya perbaikan motor dan pengobatan anaknya (ibu yang satunya) yang terluka di bagian kaki.

Petugas polisi yang ternyata tidak melihat kejadian sebenarnya tidak bisa membantu banyak. Jika masalah tidak bisa diselesaikan di tempat (saat itu juga) maka akan dilimpahkan ke polsek. Saya berpikir untuk meminta bantuan juru parkir dan tukang becak yang menolong pertama kali, namun secara ajaib keduanya sudah pergi tak tahu kemana. Dan subhanallah, tak ada seorangpun di lokasi kejadian yang bisa dimintai keterangan sebagai penguat alibi saya. Saya benar-benar sendirian. Kalau kata orang jawa, apes.

Dalam hati saya terus melafadhkan laa haula wa laa quwwata illa billah berkali-kali. Saya tahu Allah Maha Melihat. Dia yang mengatur skenario kejadian ini, tidak mungkin kebenaran tidak terungkap. Saya memang tidak punya saksi penguat tapi cukuplah Ia sebagai penolong. Hasbunallah wa ni'mal wakiil.

Akhirnya saya mencoba mengambil "jalan tengah" bagi diri saya. Saya rela menanggung biaya pengobatan dan perbaikan motor itu, tapi dengan syarat, ibu itu mengakui bahwa bukan saya yang menyerempet motornya. Saya pikir ini yang terbaik. Ibu itu mendapat ganti rugi dari saya, saya pun tidak menjadi seorang tertuduh.

Namun dengan tawaran saya ini, amarah ibu-ibu itu kembali meledak. Mereka tetep keukeuh bahwa sayalah yang menyerempet motornya, meski kemudian ibu-ibu itu juga tidak bisa menjelaskan kepada petugas roda bagian mana yang terserempet motor saya. ^_^

Karena kemudian petugas di lapangan angkat tangan untuk urusan ini, kami kemudian dibawa ke polsek terdekat. Sebenarnya bukan kantor Polseknya sih, tapi cuma pos pantau yang berada di pertigaan jalan raya.

Sesampainya di sana, petugas jaga segera memerintahkan salah satu ibu yang terluka untuk dibawa ke rumah sakit umum daerah, karena minta di rontgen. Saya dan ibu yang satunya lagi menunggu di pos pantau tersebut.

Alamat pengeluaran bisa lebih banyak nih. Saya memperbanyak bacaan tahlil, istighfar dan ayat-ayat dari surah Al-Waqi'ah yang saya ingat.

Di pos itupun petugas masih kesulitan mencari titik temu. Mereka bersikeras bahwa sayalah yang menyerempet motornya, saya pun tetap pada sanggahan saya. Karena memang saya tidak menyerempet ataupun menabrak sehingga ibu-ibu tersebut jatuh dari motornya. Saya juga sempat mengulangi tawaran saya tadi. Saya siap menanggung pengobatan dan perbaikan, asalkan jangan tuduh saya sebagai orang yang menyerempet itu. Alhamdulillah... amarahnya kembali membuncah.

Satu-dua anggota keluarga korban datang ke pos tersebut, menemani si ibu. Suaminya, yang katanya adalah seorang polisi yang dinas di Satreskrim Sidoarjo, langsung meluncur ke rumah sakit.

Petugas yang kehabisan kata-kata akhirnya memutus bahwa jika masalah ini masih tidak ada kesepakatan, maka akan dilimpahkan ke polres. Sebenarnya, tak masalah bagi saya urusan ini semakin naik. Kebenaran ada di pihak saya. Hanya kemudian petugas itu bilang jika sudah di polres, tidak akan bisa langsung selesai karena harus antri dengan kasus-kasus yang lain. Selain itu -ini yang bikin saya nyesek- motor dari kedua belah pihak akan dibawa ke polres sebagai barang bukti. Ini yang akhirnya membuat saya mengurungkan niat untuk memproses lebih lanjut. Bagaimana tidak motor itu sarana transportasi yang paling penting buat keluarga kami.

Akhirnya... (kebanyakan akhirnya, ya) kesepakatanpun dibuat. Saya menanggung biaya pengobatan di rumah sakit, dengan kebenaran tetap tersimpan rapat-rapat di dalam dada blog. Biarlah, Allah maunya begini, kok. Pihak mereka tahu atau pura-pura tidak tahu tidak ada bedanya lagi bagi kami sekarang.

Masalah perbaikan motor, awalnya si ibu bilang bahwa biayanya tidak perlu ditanggung, hanya ongkos untuk pijat saja sebagai gantinya. Namun keesokan harinya (hari ini) mereka berubah pikiran dan minta saya untuk sekaligus menanggung perbaikan motornya. Sudahlah, saya iyakan saja agar masalah ini cepat selesai dan tidak menjadi beban pikiran saya lagi.

Sudah hampir jam 3 sore ketika kami berpisah dengan pihak keluarga korban saat itu.

***

Yang paling terekam dalam memori saya dari kejadian ini adalah bahwa ini untuk pertama kalinya saya melihat istri saya mbrebes mili, nangis. Nangis, karena hari itu kami merasa menjadi orang yang terhinakan dan terdhalimi, dimaki-maki di depan sekian banyak pengunjung rumah sakit. Nangis, karena kami harus merelakan uang belanja terakhir yang kami punya. Makan pakai lauk apa besok, kami tak tahu. Semoga saja dengan apa yang tersisa di dapur bisa untuk bertahan hingga gajian bulan depan.

Masya Allah, meski luka yang diderita si ibu tidak seberapa, biaya rumah sakit tetaplah biaya rumah sakit. Uang terakhir itupun ternyata tidak cukup. Masih kurang beberapa ratus ribu lagi, termasuk untuk "biaya administrasi" buat petugas jaga: seratus ribu. Kalau tidak diberi, STNK dan SIM saya masih akan tertahan di sana. Padahal sudah saya bilang kalau uang saya sudah habis, eh, malah disuruh pulang dulu ambil uang. Dan karena inilah untuk pertama kalinya juga -dari yang saya ingat- saya harus ngutang ke emak (ibu) saya. Saya juga harus pinjam ke kantor (lagi).

***

Selepas Maghrib, seperti biasa saya dan istri mengaji Al-Qur'an bersama-sama. Dan subhanallah, kami melewati ayat dari surah Al-Baqaraah: 155-156, yang berbunyi,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, [155]

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun." [156]

Kejadian ini telah memberi pelajaran bagi kami. Pelajaran yang tidak bisa didapatkan jika seandainya saya dimenangkan Allah dalam kasus ini. Sebuah pelajaran yang hanya bisa didapatkan oleh mereka-mereka yang jatuh dan kalah. Yaitu pelajaran tentang memaafkan dan mengikhlaskan.

Tulisan ini, setiap kata dan hurufnya, setiap pageviews-nya, +1 dan setiap komentar dan balasan komentar dari teman-teman, mudah-mudahan semakin membuat luntur sakit hati dan rasa kecewa kami. Mudah-mudahan dengan kejadian ini kami bisa lebih mudah untuk memaafkan dan mengikhlaskan.

Doakan saya agar kebaikan yang kami inginkan menjadi cepat diijabah oleh Allah dari sebab kesabaran ini. Doa saya juga buat semua teman-teman semua senantiasa dijauhkan dari hal-hal buruk berbentuk apapun.

Aamiin, allhumma aamiin...

Tambahan: Sepulang dari kantor tadi, menyempatkan diri shalat Maghrib di langgar. Imamnya kebetulan baca surah At-Tiin, yang akhir ayatnya berbunyi "Alaisallahu biahkamil haakimiin". Tambah terharu saya.

Bukankah Allah Hakim yang paling adil?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, February 17, 2014

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!