Monday, February 17, 2014

ujungkelingking - Ketika Niat Baik Tidak Berujung Baik


Hari Minggu kemarin merupakan hari yang menjadi catatan bersejarah bagi kami. Sebuah musibah yang tak pernah ada di benak sebelumnya, menyentuh kami. Ketika saya menuliskan ini hati saya sungguh sedang mulai cooling down. Banyak istighfar mengiringi tulisan ini.

***

Pagi itu saya memutuskan libur dari berjualan. Ada beberapa rencana yang sudah kami agendakan, termasuk mengunjungi kedua orangtua saya.

Setelah sarapan dan persiapan anak-anak sudah beres, saya menyempatkan untuk mengerjakan shalat Dhuha. H-hee, sebenarnya saya jarang banget mengerjakan sunnah yang satu ini. Biasanya kalau libur ngantor, prei juga Dhuha-nya. Mumpung ada kesempatan, kali aja dengan ini saya bisa dapat rejeki, h-hii... *ngarep.com

Akhirnya kami pun berangkat. Tidak lupa saya minta juga ke Zaki, ibunya sekaligus Daffa agar berdoa bersama-sama untuk keselamatan di dalam perjalanan nanti. Dengan iringan bismillah, kamipun berangkat.

Sekitar pukul 10.00, beberapa agenda sudah terselesaikan. Agenda yang lain terpaksa kami pending karena hari sudah cukup siang. Kami langsung saja menuju ke rumah orangtua saya di daerah Ngaban, Tanggulangin.

Dan musibahpun dimulai dari sini...

Di tengah-tengah perjalanan tersebut, sebuah motor yang ditumpangi 2 orang ibu-ibu mendadak oleng dan kemudian terjatuh. Motor itu tepat di depan kami. Subhanallah, saya tidak bisa membayangkan bila kami yang berada di titik tersebut karena jarak kami memang tidak terlalu jauh. Dua detik saja saya lebih cepat, mungkin kamilah yang sedang terjatuh itu. Namun meski tepat di depan kami, kami tidak sempat melihat kronologisnya karena kejadiannya yang cukup tiba-tiba. Tertabrak atau terserempet oleh siapa, kami tidak tahu.

Saya kemudian bermaksud menolong kedua ibu itu dengan menghentikan motor saya di depan titik jatuhnya motor itu. Namun, karena sudah ada dua orang yang menolong (seorang jukir dan seorang tukang becak), dan saya perkirakan lukanya tidak terlalu parah, saya mengurungkan niat dan bermaksud kembali melanjutkan perjalanan.

Namun di sinilah letak kesalahan saya.

Ketika ibu-ibu tersebut sadar dari kecelakaannya, motor yang pertama kali dilihatnya adalah motor saya. Dan lalu dengan serta-merta saya dianggap sebagai orang yang menyebabkannya jatuh. Ibu-ibu itu menunjuk-nunjuk saya dengan penuh amarah. Saya yang tidak merasa berbuat apa-apa tentu tidak paham dengan maksud ibu itu.

Subhanallah, mungkin sudah garis Allah. Tidak jauh dari lokasi kejadian ada seorang petugas polisi yang sedang melakukan razia. Asumsi saya, orang yang menyerempet ibu tersebut kemungkinan grogi melihat petugas sehingga terjadilah hal ini. Namun si pelaku sudah keburu kabur.

Petugas itu mendekati saya, "Ada apa, Pak?"

Saya yang bingung hanya bilang, "Ibu itu jatuh tepat di depan saya, tapi saya tidak tahu siapa yang menyerempet."

"Baiklah, diomongkan baik-baik saja sama ibu itu." Sahut si petugas.

Maka kamipun dipertemukan dengan ibu itu. Ibu-ibu itu dengan penuh amarah mengatakan kamilah yang menyerempet mereka. Sedangkan saya otomatis membantah hal itu, bahkan ketika ibu itu jatuh posisi saya masih beberapa meter di belakangnya. Saya sudah coba menjelaskan kronologi yang saya ingat, saya juga sudah meminta petugas polisi untuk mengecek apakah sepeda saya baret atau tidak (kalau saya yang menyerempet, setidaknya ada goresan atau patahan baru pada motor saya). Namun si ibu tidak mau tahu tetap menyalahkan saya dan menuntut biaya perbaikan motor dan pengobatan anaknya (ibu yang satunya) yang terluka di bagian kaki.

Petugas polisi yang ternyata tidak melihat kejadian sebenarnya tidak bisa membantu banyak. Jika masalah tidak bisa diselesaikan di tempat (saat itu juga) maka akan dilimpahkan ke polsek. Saya berpikir untuk meminta bantuan juru parkir dan tukang becak yang menolong pertama kali, namun secara ajaib keduanya sudah pergi tak tahu kemana. Dan subhanallah, tak ada seorangpun di lokasi kejadian yang bisa dimintai keterangan sebagai penguat alibi saya. Saya benar-benar sendirian. Kalau kata orang jawa, apes.

Dalam hati saya terus melafadhkan laa haula wa laa quwwata illa billah berkali-kali. Saya tahu Allah Maha Melihat. Dia yang mengatur skenario kejadian ini, tidak mungkin kebenaran tidak terungkap. Saya memang tidak punya saksi penguat tapi cukuplah Ia sebagai penolong. Hasbunallah wa ni'mal wakiil.

Akhirnya saya mencoba mengambil "jalan tengah" bagi diri saya. Saya rela menanggung biaya pengobatan dan perbaikan motor itu, tapi dengan syarat, ibu itu mengakui bahwa bukan saya yang menyerempet motornya. Saya pikir ini yang terbaik. Ibu itu mendapat ganti rugi dari saya, saya pun tidak menjadi seorang tertuduh.

Namun dengan tawaran saya ini, amarah ibu-ibu itu kembali meledak. Mereka tetep keukeuh bahwa sayalah yang menyerempet motornya, meski kemudian ibu-ibu itu juga tidak bisa menjelaskan kepada petugas roda bagian mana yang terserempet motor saya. ^_^

Karena kemudian petugas di lapangan angkat tangan untuk urusan ini, kami kemudian dibawa ke polsek terdekat. Sebenarnya bukan kantor Polseknya sih, tapi cuma pos pantau yang berada di pertigaan jalan raya.

Sesampainya di sana, petugas jaga segera memerintahkan salah satu ibu yang terluka untuk dibawa ke rumah sakit umum daerah, karena minta di rontgen. Saya dan ibu yang satunya lagi menunggu di pos pantau tersebut.

Alamat pengeluaran bisa lebih banyak nih. Saya memperbanyak bacaan tahlil, istighfar dan ayat-ayat dari surah Al-Waqi'ah yang saya ingat.

Di pos itupun petugas masih kesulitan mencari titik temu. Mereka bersikeras bahwa sayalah yang menyerempet motornya, saya pun tetap pada sanggahan saya. Karena memang saya tidak menyerempet ataupun menabrak sehingga ibu-ibu tersebut jatuh dari motornya. Saya juga sempat mengulangi tawaran saya tadi. Saya siap menanggung pengobatan dan perbaikan, asalkan jangan tuduh saya sebagai orang yang menyerempet itu. Alhamdulillah... amarahnya kembali membuncah.

Satu-dua anggota keluarga korban datang ke pos tersebut, menemani si ibu. Suaminya, yang katanya adalah seorang polisi yang dinas di Satreskrim Sidoarjo, langsung meluncur ke rumah sakit.

Petugas yang kehabisan kata-kata akhirnya memutus bahwa jika masalah ini masih tidak ada kesepakatan, maka akan dilimpahkan ke polres. Sebenarnya, tak masalah bagi saya urusan ini semakin naik. Kebenaran ada di pihak saya. Hanya kemudian petugas itu bilang jika sudah di polres, tidak akan bisa langsung selesai karena harus antri dengan kasus-kasus yang lain. Selain itu -ini yang bikin saya nyesek- motor dari kedua belah pihak akan dibawa ke polres sebagai barang bukti. Ini yang akhirnya membuat saya mengurungkan niat untuk memproses lebih lanjut. Bagaimana tidak motor itu sarana transportasi yang paling penting buat keluarga kami.

Akhirnya... (kebanyakan akhirnya, ya) kesepakatanpun dibuat. Saya menanggung biaya pengobatan di rumah sakit, dengan kebenaran tetap tersimpan rapat-rapat di dalam dada blog. Biarlah, Allah maunya begini, kok. Pihak mereka tahu atau pura-pura tidak tahu tidak ada bedanya lagi bagi kami sekarang.

Masalah perbaikan motor, awalnya si ibu bilang bahwa biayanya tidak perlu ditanggung, hanya ongkos untuk pijat saja sebagai gantinya. Namun keesokan harinya (hari ini) mereka berubah pikiran dan minta saya untuk sekaligus menanggung perbaikan motornya. Sudahlah, saya iyakan saja agar masalah ini cepat selesai dan tidak menjadi beban pikiran saya lagi.

Sudah hampir jam 3 sore ketika kami berpisah dengan pihak keluarga korban saat itu.

***

Yang paling terekam dalam memori saya dari kejadian ini adalah bahwa ini untuk pertama kalinya saya melihat istri saya mbrebes mili, nangis. Nangis, karena hari itu kami merasa menjadi orang yang terhinakan dan terdhalimi, dimaki-maki di depan sekian banyak pengunjung rumah sakit. Nangis, karena kami harus merelakan uang belanja terakhir yang kami punya. Makan pakai lauk apa besok, kami tak tahu. Semoga saja dengan apa yang tersisa di dapur bisa untuk bertahan hingga gajian bulan depan.

Masya Allah, meski luka yang diderita si ibu tidak seberapa, biaya rumah sakit tetaplah biaya rumah sakit. Uang terakhir itupun ternyata tidak cukup. Masih kurang beberapa ratus ribu lagi, termasuk untuk "biaya administrasi" buat petugas jaga: seratus ribu. Kalau tidak diberi, STNK dan SIM saya masih akan tertahan di sana. Padahal sudah saya bilang kalau uang saya sudah habis, eh, malah disuruh pulang dulu ambil uang. Dan karena inilah untuk pertama kalinya juga -dari yang saya ingat- saya harus ngutang ke emak (ibu) saya. Saya juga harus pinjam ke kantor (lagi).

***

Selepas Maghrib, seperti biasa saya dan istri mengaji Al-Qur'an bersama-sama. Dan subhanallah, kami melewati ayat dari surah Al-Baqaraah: 155-156, yang berbunyi,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, [155]

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun." [156]

Kejadian ini telah memberi pelajaran bagi kami. Pelajaran yang tidak bisa didapatkan jika seandainya saya dimenangkan Allah dalam kasus ini. Sebuah pelajaran yang hanya bisa didapatkan oleh mereka-mereka yang jatuh dan kalah. Yaitu pelajaran tentang memaafkan dan mengikhlaskan.

Tulisan ini, setiap kata dan hurufnya, setiap pageviews-nya, +1 dan setiap komentar dan balasan komentar dari teman-teman, mudah-mudahan semakin membuat luntur sakit hati dan rasa kecewa kami. Mudah-mudahan dengan kejadian ini kami bisa lebih mudah untuk memaafkan dan mengikhlaskan.

Doakan saya agar kebaikan yang kami inginkan menjadi cepat diijabah oleh Allah dari sebab kesabaran ini. Doa saya juga buat semua teman-teman semua senantiasa dijauhkan dari hal-hal buruk berbentuk apapun.

Aamiin, allhumma aamiin...

Tambahan: Sepulang dari kantor tadi, menyempatkan diri shalat Maghrib di langgar. Imamnya kebetulan baca surah At-Tiin, yang akhir ayatnya berbunyi "Alaisallahu biahkamil haakimiin". Tambah terharu saya.

Bukankah Allah Hakim yang paling adil?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, February 17, 2014

Thursday, February 13, 2014

ujungkelingking - Ketika Mobil "Menabrak" Shalat


Tentu ada-ada saja cara seseorang untuk meraih simpati orang lain. Sebanyak cara untuk membuat berita kontroversial.

Dalam rangka program "Bengkuluku Religius", Pemerintah Bengkulu menggelar sayembara berupa shalat berjama'ah berhadiah mobil, umrah dan haji.

"Semua agama akan mendapatkan perlakuan yang sama tidak saja Islam. Shalat berhadiah umrah, haji dan bonus mobil itu sebagai pilot project saja sebagai langkah permulaan," kata Wali Kota Bengkulu, Helmi Hasan saat ditemui di Masjid At Taqwa, Rabu (Tribunnews.com, 12/2/2014).

"Ini ide baru dan kreatif untuk memancing orang mau berjamaah di masjid. Saya kira ini bagus untuk memotivasi orang dalam beribadah," kata Sekretaris Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) Nadjib Hamid, saat berbincang dengan wartawan, Kamis (Sindonews.com, 13/2/2014).

Pada laman yang sama disebutkan juga bahwa untuk mendapat hadiah tersebut, warga harus melakukan salat Dhuhur di masjid-masjid yang telah ditentukan, yakni sebanyak 42-52 kali berturut-turut. 

Shalat berhadiah mobil?


Adalah hal yang sangat menyesakkan dada ketika beribadah -bahkan itu ibadah yang paling penting- namun karena iming-iming materi.

Jelas bukan kapasitas saya untuk menilai hati dan niat masing-masing peserta jama'ah. Namun secara kasat mata kita bisa melihat bahwa pemberian hadiah yang seperti ini sudah menyimpang dari syari'at. Meski sempat dikatakan hanya sebagai "pemancing" saja, namun yang semacam ini cukup bisa mengotori niat seseorang. Niat shalat yang awalnya demi Allah, menjadi demi mobil.

Riya' atau (justru) syirik?


Riya' adalah beribadah dengan tujuan agar dilihat orang lain. Biasanya pelaku riya' tidak punya motif apa-apa selain "pengakuan" orang lain.

Akan tetapi syirik adalah perbuatan mempersekutukan Allah. Dia menciptakan kiblat (baca: tujuan) lain, selain Allah. Maka, jika kita beribadah BUKAN karena sebab Allah, maka hati-hati, jangan-jangan kita sudah terjerumus kepada dosa yang tidak berampun ini. Naudzubillahi min dzalik!

Syarat diterimanya ibadah


Merujuk pada Tafsir Ibnu Katsir, di antara syarat diterima sebuah amal ibadah ada 2 saja, yaitu: [1] Niat ikhlas karena Allah, dan; [2] Sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa salaam.

Dari definisi ini saja kita bisa menarik kesimpulan bahwa ibadah -segala ibadah- yang dilakukan dengan niat karena iming-iming materi tidak akan ada manfaatnya, selain neraka-Nya.

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ

أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. [15]

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." [16]
[Huud: 15-16]

Ayat yang senada dengan ini bisa dibaca di dalam surah Al-Israa' ayat 18.

Iming-iming Tuhan vs iming-iming manusia


Ada sebuah pertanyaan menggelitik, "Kenapa kita dilarang beribadah karena suatu iming-iming, bukankah Tuhan juga mengiming-imingi kita dengan surga?"

Dalam Islam, keberadaan surga hanyalah anugerah dari Allah, sebab TIDAK ADA seorang muslim-pun yang karena ketekunannya dalam beribadah sehingga otomatis memasukkan dirinya ke dalam surga.

Dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa salaam bersabda: "Tidak seorang pun di antara kalian yang akan diselamatkan oleh amal perbuatannya." Seorang lelaki bertanya: "Engkau pun tidak, wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab: "Aku juga tidak, hanya saja Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku. Akan tetapi tetaplah kalian berusaha berbuat dan berkata yang benar."

Maka seperti yang juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah bahwa ibadah dibangun di atas 2 hal; [1] Cinta dan, [2] Pengagungan.

Karena kedua hal inilah Allah subhanahu wa ta'ala menurunkan rahmatnya. Bukan karena banyaknya ibadah kita, akan tetapi karena cinta dan pengagungan kita kepada-Nya. Bukan karena terus-menerusnya ibadah yang menyebabkan ibadah kita diterima, akan tetapi karena niat dan kesungguhan mengharap keridhaannya.

Lalu, apakah ini berarti kita tidak boleh beribadah dengan mengharap surga?

Bagi sebagian orang, beribadah model seperti ini menunjukkan ketidak ikhlasan. Akan tetapi -sebenarnya- ini juga salah satu bentuk iman (baca: percaya). Kita percaya dengan janji-janji Allah, lalu dengan keyakinan itu kita kemudian berupaya untuk mendapatkannya dengan jalan melaksanakan ibadah yang diperintahkan-Nya.

Jadi, ingin beribadah karena janji Tuhan, atau iming-iming manusia masih terlalu menggiurkan?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, February 13, 2014

ujungkelingking - Antara 'Mendengar' dan 'Mendengarkan'


Sepotong kata bijak menyebutkan, mendengarkan itu seni.

Ada beda yang besar antara 'mendengar' dan 'mendengarkan'. Banyak orang yang bisa mendengar. Tapi berapa banyak yang bisa mendengarkan?

Sumber: digitalforreallife.com

'Mendengar', sudah jelas melibatkan telinga secara fisik. Akan tetapi 'mendengarkan' lebih kepada aktivitas hati.

'Mendengar', bisa dianggap sebagai perbuatan pasif. Karena selama sumber suara itu dekat, kita bisa mendengarnya meski tanpa usaha apa-apa. Namun untuk 'mendengarkan', dibutuhkan usaha dan kemauan dari hati. Karena itulah ia dikategorikan jenis perbuatan aktif. 

Seseorang yang tidak bisa 'mendengar', kemungkinan ada gangguan pada telinganya. Namun mereka yang tidak bisa 'mendengarkan', jelas memiliki gangguan pada hatinya.

Untuk 'mendengar' tidak diperlukan training atau latihan khusus. Namun untuk 'mendengarkan' butuh banyak dilatih dan hati yang lapang.

Seorang pemimpin yang salah 'mendengar', dampaknya mungkin bawahannya yang dirugikan. Seorang pemimpin yang tidak mau 'mendengarkan', pada akhirnya dia sendiri yang rugi.

Ketika kecil, agar dapat berkata-kata, kita harus dapat 'mendengar' terlebih dahulu.

Sekarang, sebelum dapat mengambil keputusan yang adil, kita perlu 'mendengarkan' segala hal.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, February 13, 2014

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!