Thursday, December 19, 2013

ujungkelingking - Ada sebuah ungkapan bahwa sombong itu pakaiannya Tuhan. Maka seorang manusia -apapun statusnya- tidaklah pantas memakai pakaian Tuhan ini. Dan saya kira, agama apapun dan kultur budaya manapun pasti menolak sifat sombong ini.

Rekan-rekan mungkin masih ingat ketika saya menulis tentang saya yang terjebak hujan di toko buku, lalu saya pergi mencari-cari buku yang tidak bersegel. Nah, saat saya sedang berkeliling itulah, saya mendapati sebuah buku berjudul "Taurat" (penulisnya lupa).

Di dalam buku tersebut, sang penulis mencoba memecahkan misteri (salah satunya) tentang banjir maha-dashyat yang pernah terjadi di zaman Nabi Nuh alaihissalaam berdasarkan literatur-literatur dari Kitab Taurat (Torah). Menurut penulis, Kitab Taurat yang pernah ditemukan, masih memiliki nilai ke-otentik-an yang tinggi. Salah satu bahasan dalam buku tersebut yang menarik minat saya adalah pertanyaan kemana air itu menghilang ketika surut? Seperti kita tahu bahwa banjir pada kejadian itu menggenang hingga menenggelamkan gunung.

Oleh sang penulis, pembaca disodori foto-foto tentang bumi yang dari itu kita akan tahu bagaimana mudahnya Dia, Yang Maha Besar melenyapkan atau mengadakan sesuatu yang menurut kita mustahil. Dari foto-foto ini pula kita akan menyadari betapa mungilnya diri kita dan dari situ mudah-mudahan kita bisa mengikis sifat sombong dari hati kita.

Foto-foto yang sama, saya unduh dari google.

Bumi, kelihatan lebih besar dibandingkan Mars, Mercurius dan Pluto
Bumi, menjadi tampak kecil bila dibandingkan Jupiter dan Saturnus
Bumi menjadi seperti debu dibandingkan dengan Matahari

Lanjut...

Matahari malah jauh lebih kecil dibanding Arcturus
Arcturus malah se-upil-nya Antares dan Betelgeuse
Antares-pun masih kalah besar dibandingkan VY Canis Majoris

Lalu pertanyaannya sekarang, di mana kita (bumi)?



Sumber gambar:
prisiliamondigir.blogspot.com | wwwmutiarabangsa1.blogspot.com | majalah-blog.blogspot.com
b371ny03.blogspot.com | thoha.wordpress.com | lintasfacebook.blogspot.com
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, December 19, 2013

Wednesday, December 18, 2013

ujungkelingking - Dari seorang teman di lingkaran G+...

Ibn Al-Jauizy dalam kitabnya Al-Munthadham meriwayatkan dari Imam Ibrahim An-Nakha'i rahimahullah dan muridnya, Sulaiman bin Mihran:

Suatu hari keduanya sedang melewati salah satu jalan di kota Kuffah, Irak menuju ke Masjid Jami'. Tatkala mereka berdua sedang berjalan, Imam Ibrahim memanggil muridnya dan berkata, "Wahai Sulaiman! Aku akan mengambil jalan ini dan engkau ambil jalan yang lainnya. Sesungguhnya aku khawatir kalau kita melewati orang-orang bodoh, mereka akan mengatakan orang juling menuntun orang yang lemah penglihatannya, sehingga mereka jatuh pada perbuatan dosa gara-gara menghibahi kita."

Note: Imam Ibrahim adalah seorang yang -maaf- matanya juling. Sedangkan muridnya juga lemah penglihatannya.

Maka muridnya menimpali, "Wahai Imam, biarkan saja mereka meng-ghibahi kita, toh mereka akan mendapat dosa dan sebaliknya kita akan mendapat pahala!"

Imam Ibrahim An-Nakha’i langsung menjawab, "Subhanallah! Lebih baik kita selamat dan mereka juga selamat daripada mereka mendapat dosa dan kita mendapat pahala."

***

Apa yang telah diucapkan oleh sang murid sepertinya memang merefleksikan cara berpikir kita.

Kita, ketika merasa benar dengan apa yang kita lakukan kerap menjadi tak peduli dengan apa yang dilakukan oleh orang lain. Kalau itu salah, toh kesalahan itu biar mereka yang menanggungnya. Sebuah sikap mementingkan diri sendiri yang tak pernah diajarkan oleh agama yang sempurna ini. Seolah-olah kita senang jika kita masuk surga dan mereka masuk neraka. Padahal Adam saja tidak betah di surga gara-gara tidak memiliki teman.

Kisah di atas telah memberikan pengajaran kepada kita bahwa sikap 'pembiaran' terhadap suatu kesalahan adalah tidak dibenarkan. Bukankah lebih baik selamat bersama-sama?

Bukankah ketika amar ma'ruf (mengajak kepada kebaikan) itu bernilai ibadah, maka nahi mungkar (mencegah orang lain berbuat dosa) juga akan dihitung sebagai pahala?

Salam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, December 18, 2013

Monday, December 16, 2013

ujungkelingking - Sabtu kemarin, selepas kerja saya mampir ke toko buku Togamas. Ini adalah karena permintaan istri saya yang ingin memberikan kado buku dalam sebuah acara pernikahan.

Rencana awalnya sih, saya hanya mencari buku yang cocok, lalu langsung pulang. Akan tetapi hujan kemudian turun dengan lebatnya. Daripada nganggur gak jelas, mending baca komik-komik yang kebetulan tidak bersegel.

Saya kemudian jadi teringat kejadian tahun lalu, di toko yang sama, saya diajak oleh bos saya untuk mencari buku. Saat itu saya masih pakai seragam yang modelnya kayak tukang parkir, atau pekerja bengkel (yang seragamnya mirip, mohon maaf ya...). Nah, gara-gara seragam itulah saya sampai beberapa kali dikira sebagai karyawan toko tersebut. Tidak kurang dari 5 orang yang bertanya kepada saya buku ini di mana, buku itu di mana. Saya jawab saja dengan senyum. Mereka yang menyadari kesalahannya, langsung ngacir sambil minta maaf.

H-hee, agak lucu juga mengingat hal itu.

Tapi sejak beberapa bulan yang lalu aturan tentang seragam tersebut tidak diberlakukan lagi terhadap saya dan teman-teman se-ruangan saya. Hal ini karena kami selalu bertemu dengan pihak luar (supplier/customer), jadi dianggap kurang pantas bila memakai seragam seperti itu. Sekarang kami memakai seragam berupa kemeja lengan panjang dan celana kain untuk bekerja. Jadi kejadian seperti tahun yang lalu itu tidak mungkin terjadi lagi.

***

Di saat saya lagi menyelesaikan bacaan komik saya, tiba-tiba seorang bocah laki-laki berusia 6 atau 7 tahun menepuk pundak saya sambil bertanya, "Pak, ada komik Blitz?"

#Rrruagh!
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, December 16, 2013

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!