Wednesday, May 22, 2013

ujungkelingking - Waoww! Apa benar? Bagaimana bisa aktifitas menulis seperti orang yang sedang bercinta?

Menulis, sejatinya bukanlah melulu aktifitas fisik. Ia lebih menitik-beratkan pada kinerja otak. Seseorang yang menulis, ia menggunakan segala pikirnya agar dapat menuangkan ide gagasannya.

Foreplay

Seseorang yang akan menulis, terlebih dahulu ia menentukan ide. Rancangan dari gagasan yang akan ia tulis. Bahkan pada orang-orang yang menulis secara spontan-pun, mereka sudah menyusun rancangan ini dengan tanpa sadar. Entah kalimat pembukanya, entah bahasa, atau teknik menulis yang dipakainya.

Kinerja 2 Otak

Seringkali bagi kita yang menulis menggunakan kinerja 2 otak secara bersamaan. Tak jarang dalam tulisan kita menciptakan logika otak kiri sekaligus fantasi otak kanan. Inilah yang menyenangkan sesungguhnya. Dengan menggunakan kedua otak secara simultan, menyebabkan keseimbangan keduanya terjaga. Otak menjadi lebih hidup dan lebih cerdas.

Tenaga fisik

Bagi kita yang lebih mengandalkan kualitas tulisan, bergadang atau bolak-balik ke perpus bukanlah hal yang bisa diabaikan. Sebab sekalinya ide muncul, bila tidak segera di-approve, bisa musnah tanpa bekas.

Klimaks!

Dan ketika semuanya sudah selesai, setelah kita mencurahkan segenap tenaga dan pikir kita, lalu publish!, ah, leganya...

Dan meskipun capek, besok pasti kita ingin menulis lagi... ^_^
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, May 22, 2013

Tuesday, May 21, 2013

ujungkelingking - Seringkali kita mendengar nasehat, entah itu ditujukan langsung kepada kita atau tidak, agar kita selalu menjadi diri sendiri, menjadi diri kita yang apa adanya. Be your self!

Namun agaknya nasehat semacam ini tidak bisa langsung diterima secara mentah. Menjadi diri sendiri bukanlah hal yang bagus ketika kita bukan orang baik. Hm? Maksudnya begini, menjadi diri sendiri bukan kemudian diartikan bahwa apa yang kita lakukan adalah benar lalu kita menutup diri dari kritikan.

Misalnya saja seseorang menasehati kita, "Jangan begitu. Itu tidak sopan.", apa lantas kita menjawab, "Ya memang beginilah aku."? Tentu tidak bisa begitu. Ketika kita melakukan hal yang salah lalu ada orang yang mengkritik, maka menjadi diri sendiri berarti melihat, menakar atau menyeleksi posisi kita. Lalu kemudian ada keberanian untuk mengakui jika hal tersebut memang tidak benar.

Maka menjadi diri sendiri pada hakikatnya adalah kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi yang seharusnya, atau -dengan kata lain- mengembalikan diri kepada posisi fitrah!

Manusia yang menjadi dirinya sendiri bukanlah menjadi manusia yang anti-kritik, pun juga bukan yang ikut-ikutan saja apa kata orang. Ada semacam kemampuan melihat ke-obyektifitas-an di sini. Apa yang benar, diterima. Yang salah, ditolak.

Benar menurut siapa, salah bagi siapa?

Bagi kita yang Muslim, maka Islam adalah tolok-ukurnya. Jika menurut Allah dan Rasul-Nya hal itu baik, maka berarti memang baik. Silahkan diterima, silahkan dilakukan. Begitu juga jika sebaliknya.

Inilah ke-obyektifitas-an itu.

Setiap hal -benar atau salah- harus berdasarkan Islam. Karena itulah cara kita menjadi diri sendiri (baca: fitrah).

Bukankah Islam adalah agama fitrah?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, May 21, 2013

Monday, May 20, 2013

ujungkelingking - Judul artikel ini saya ambil dari status pada sebuah akun fesbuk beberapa waktu yang lalu. Tentu saja kalimat di atas sudah sedikit saya perhalus, karena teks aslinya lumayan kasar kalau harus dituliskan di sini.

Tulisan ini tidak akan membahas "kata-kata Mario Teguh", namun secara umum, kata-kata atau nasehat dari orang lain.

Tentu saja semua nasehat itu baik. Hanya apakah tepat atau tidak ketika diterapkan dalam kondisi kita, itu lain soal. Ini yang harus dipahami lebih dulu. Permasalahan yang sama terkadang memang membutuhkan nasehat yang berbeda karena situasi dan kondisinya yang sudah tidak sama.

Analogi yang lebih sederhana mungkin begini. Anda sakit dan memutuskan untuk pergi ke dokter. Kemudian setelah dilakukan serangkaian tes dan pemeriksaan, oleh dokter Anda diberikan secarik kertas resep obat. Lalu Anda dengan marah membentak, "Penyakit saya tidak akan sembuh hanya dengan kertas resep, Dok!" Si dokter pasti bengong dan melongo.

Lha iya, kertas resep memang hanya kertas. Tidak berguna kalau hanya Anda baca. Anda harus membawanya ke apotik untuk ditukar dengan beberapa obat yang harus Anda beli. Lalu Anda tinggal minum dengan mengikuti aturan obat tersebut. Jika belum sembuh, mungkin Anda bisa mencoba dokter lain atau obat lain untuk Anda minum.

Intinya adalah action dari diri kita. Seorang motivator atau pemberi nasehat hanya memberikan arah. Perkara kita mau menjalaninya atau tidak, sepenuhnya tergantung kita sendiri. Inilah yang gagal dipahami oleh orang yang mengupdate status-status sejenis di atas.

Janganlah kita menjadi orang-orang yang sombong. Bukankah dalam Agama, orang yang sombong itu adalah orang yang menolak kebenaran (nasehat)?

Maka terimalah nasehat dari manapun ia datangnya. Masalah sesuai kondisi atau tidak, itu soal nanti.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, May 20, 2013

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!