Thursday, April 25, 2013

ujungkelingking - Kemarin, salah seorang teman perempuan di kantor menangis terisak-isak. Usut punya usut, ternyata dirinya baru saja mendapati kabar bahwa ibundanya yang di desa, meninggal dunia.

Sedih karena ditinggal pergi orang yang paling berpengaruh dalam hidup kita, itu sudah pasti. Namun yang paling membuatnya menyesal adalah karena sehari sebelumnya dirinya sudah diminta menjenguk ibunya di desa. Akan tetapi karena suatu hal (saya tidak mau berprasangka buruk disini), permintaan tersebut ditundanya. Dan kemarin, berita itu datang ketika dia sedang berkutat dengan pekerjaan kantornya...

Hanya penyesalan yang tersisa. Waktu tak pernah bisa diundur kembali.

***

Seringkali kita mendengar ungkapan "kita tak pernah tahu kapan ajal kita". Ungkapan ini biasanya digunakan sebagai pengingat agar kita senantiasa mempersiapkan diri, membawa sebanyak-banyaknya ibadah untuk bekal kita ketika nanti dipanggil oleh-Nya.

Namun, kita sering lupa bahwa ungkapan yang sama bisa saja terjadi pada orang-orang di sekeliling kita dan orang-orang terkasih kita. Orang-orang terkasih itu bisa saja sosok ibu atau ayah, pasangan kita, buah hati kita, atau siapapun yang dekat dengan kita.

Betapa banyak orang yang menyesal karena tak sempat mengungkapkan rasa sayangnya kepada orang-orang terkasih mereka. Jika Anda berada bukan pada posisi teman saya tersebut, mungkin Anda akan menyayangkan sikap teman saya tersebut. Namun, apapun komentar kita tidak akan mengubah apapun. Nasi sudah menjadi bubur.

Yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini adalah, cerita tentang teman saya itu biarlah tetap menjadi cerita bagi kita, yang akan selalu mengingatkan kita akan perlunya mengungkapkan perasaan kita terhadap orang-orang terkasih di sekeliling kita.

Bukti berupa perbuatan memang lebih baik, namun ungkapan berupa kata-kata seringkali memberi makna lebih dari apa yang telah kita lakukan.

I lop yu pul.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, April 25, 2013

Tuesday, April 23, 2013

ujungkelingking - Dalam keseharian kita, kerap kita jumpai orang-orang menggunakan ungkapan "peace", yang dalam bahasa Indonesia berarti "damai", atau seringkali diartikan sebagai ungkapan yang menyatakan pertemanan atau keakraban.

Di sisi lain kita juga sering menjumpai orang-orang menggunakan ungkapan yang agak berbeda, yaitu "piss", yang dianggap merupakan bentuk pendek dari kata "peace".

Nah, bagi Anda yang sering menggunakan ungkapan "piss" untuk menggantikan ungkapan "peace", sebaiknya mulai sekarang Anda menghentikan kebiasaan Anda tersebut. Karena menurut kamus an English-Indonesian and Indonesian-English versi 2.04, arti kata "piss" adalah:


Beruntung jika yang diajak omong tidak mengerti bahasa Inggris, kalau tahu? Alih-alih dimaknai sebagai simbol pertemanan, ungkapan ini justru berarti penghinaan atau pelecehan.

Dari sini, ketika kita menggunakan bahasa asing -terutama ungkapan slang- ada baiknya jika kita mengerti terlebih dahulu maksud dari ungkapan tersebut.


*ditulis dalam rangka Hari Buku Sedunia, 23 April 2013
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, April 23, 2013

Monday, April 22, 2013

ujungkelingking - Bicara tentang 21 April dan Kartini tentu tak bisa lepas dari pembicaraan tentang emansipasi. Sebuah kata yang pada masa ini banyak menuai polemiknya. Ada yang setuju dan ada pula yang kontra. Dan –tentu saja- hal tersebut berakar dari pemahaman masing-masing ‘kubu’.

Emansipasi, dalam benak Kartini sesungguhnya bukanlah penyetaraan derajat. Ini yang gagal dimengerti orang-orang kebanyakan. Emansipasi bagi dirinya lebih kepada peningkatan harkat-martabatnya. Kartini menolak peng-kotak-an manusia berdasarkan status sosialnya. Perempuan di masanya tidak lebih dianggap hanya sebagai perabot saja. Lingkup hidup mereka hanyalah dapur-sumur-kasur. Para perempuan itu bahkan tidak memiliki hak pilih dan hak jawab untuk menentukan masa depan mereka. Inilah yang hendak diberontak oleh Kartini. Inilah yang ingin diangkat oleh Kartini.

Jalan kehidupan gadis Jawa (baca: Indonesia) itu sudah dibatasi dan diatur menurut pola tertentu. Kami tidak boleh mempunyai cita-cita. Satu-satunya impian yang boleh kami kandung ialah, hari ini atau besok dijadikan istri yang kesekian dari seorang pria. Saya tantang siapa yang dapat membantah ini. Dalam masyarakat Jawa persetujuan pihak wanita tidak perlu. Ia juga tidak perlu hadir pada upacara akad nikah.
(Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 6 Nopember 1899)

Keterlibatan perempuan dalam hidup ini adalah sesuatu yang tak terelakkan. Manusia dan kehidupan tidak bisa berlepas diri dari peran perempuan. Begitu pula bagi Kartini, perempuan dapat memberi pengaruh yang amat besar bagi keberlangsungan "peradaban" sebuah masyarakat.

Namun yang disayangkan, semakin kesini definisi emansipasi ini mengalami penggerusan makna. Emansipasi cenderung didefinisikan sebagai 'pembebasan' dari laki-laki. Emansipasi lebih diartikan sebagai penuntutan kesetaraan hak namun abai terhadap pemenuhan kewajiban. Emansipasi adalah kebebasan mutlak. Parahnya hal ini dilakukan seolah-olah karena ini adalah hasil buah pikir Kartini.

Ini yang salah!

Perempuan bisa saja mendapat pendidikan yang tinggi. Pun perempuan boleh bekerja dan berkarir dalam bidang apa saja. Namun yang tetap harus diingat adalah bahwa perempuan itu memiliki kewajiban dalam kodratnya. Ia tetap berkewajiban menjaga kehormatan dirinya, mendidik dan mengasuh anak-anak serta melayani dan mendampingi suaminya. Ini tidak boleh terabaikan -bahkan- atas nama emansipasi.

Binalah mereka (putri-putri bangsawan) menjadi ibu-ibu yang pandai, cakap dan sopan. Mereka akan giat menyebarkan kebudayaan di kalangan rakyat. Sadar akan panggilan moral dalam masyarakat mereka akan menjadi ibu-ibu yang penuh kasih sayang, pendidik yang baik dan berguna bagi masyarakat yang memerlukan bantuan dalam segala bidang.
(Berikanlah Pendidikan Kepada Bangsa Jawa, nota Kartini tahun 1903 yang dipublikasikan melalui berbagai surat kabar)

Bukankah di situ dengan jelas Kartini tetap menyebut-nyebut kata "Ibu", "pendidik", "panggilan moral"? Lalu bagaimana mungkin mereka yang menggaung-gaungkan emansipasi justru menolak kodratnya? Mereka lebih suka berkiblat ke Barat, padahal nyata-nyata Kartini menolaknya.

Kami sekali-kali tidak ingin membuat murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang Jawa yang kebarat-baratan. Dengan pendidikan bebas kami bermaksud pertama-tama membuat orang Jawa menjadi orang Jawa sejati, yang menyala-nyala dengan cinta dan semangat terhadap nusa bangsanya, terbuka dengan mata dan hati terhadap keindahan serta kebutuhannya.
(Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 10 Juni 1902)

Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?
(Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902)

Ah, andai Kartini masih hidup, tentu kita bisa meminta klarifikasi sebenarnya tentang konsep emansipasi yang digagasnya, yang dengan begitu kita berharap agar perempuan-perempuan masa sekarang tak lagi dihinakan oleh prinsip-prinsip emansipasi yang salah dimengertinya.

"...
Semoga melalui banyak sekali penderitaan dan kesedihan, kami berhasil menciptakan sesuatu.
Bagi rakyat kami. Terutama yang bermanfaat bagi kaum wanita kami - bagaimanapun kecilnya.
Andaikata ini pun tidak terlaksana, semoga penderitaan dan perjuangan kami berhasil menarik perhatian khalayak ramai terhadap keadaan-keadaan yang perlu diperbaiki.
Dan andaikata itu pun tidak dapat kami capai, wahai, setidaknya kami telah berusaha berbuat baik, dan kami yakin benar bahwa air mata kami, yang kini nampaknya mengalir sia-sia itu, akan ikut menumbuhkan benih yang kelak akan mekar menjadi bunga-bunga yang akan menyehatkan generasi-generasi mendatang.”
(Surat Kartini kepada Ny. Abendanon 15 Juli 1902)


Catatan tambahan:
Dalam beberapa kali interaksinya dengan Kiai Sholeh Darat, Kartini amat tergugah dengan kalimat mina 'd-dzulumatin ila 'n-nuur -dari kegelapan menuju cahaya- (Al-Baqarah: 257). Karena itulah Kartini kemudian sering mengulang-ulang kalimat "Dari Gelap Kepada Cahaya" dalam surat-suratnya. Istilah ini yang dalam Bahasa Belanda adalah "Door Duisternis Tot Licht", yang kemudian menjadi kurang tepat ketika diterjemahkan menjadi "Habis Gelap Terbitlah Terang".


Dari berbagai sumber
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, April 22, 2013

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!