Friday, December 14, 2012

ujungkelingking - Dalam masyarakat kita dewasa ini, istri berkarir (baca: bekerja) tak lagi menjadi hal yang tabu dan aneh. Tentunya ada banyak faktor yang mendorong terciptanya situasi tersebut. Yang paling sering saya dengar adalah faktor ekonomi, dimana kebutuhan hidup yang kian hari kian menanjak sehingga “memaksa” orang untuk menciptakan sumber pendapatan baru. Salah satunya, ya, dengan suami dan istri bekerja kedua-duanya.

Sebagai seorang suami yang notabene adalah kepala keluarga tentu memiliki alasan yang cukup benar sehingga harus mempersilahkan istrinya bekerja juga. Sang istri juga harus memiliki batasan-batasan tatkala ia meninggalkan rumahnya untuk mencari penghasilan dan tetap bisa melakukan kewajibannya ketika kembali ke rumah.

Sang suami, terlepas dari penghasilan mana yang lebih besar, tetaplah memegang fungsinya sebagai kepala keluarga. Tidak terlalu menjadi masalah jika gaji sang istri lebih kecil atau cuma sebagai tambahan saja, namun bagaimana jika gaji istri mendominasi? Inilah yang jika sang istri tidak pandai menempatkan diri akan bisa memicu titik-titik api dalam rumah tangga. Stigma bahwa laki-laki harus menghidupi keluarganya, pastilah akan menumbuhkan gengsinya. Di titik inilah sang istri harus bisa memberi pengertian kepada suami bahwa tetap dirinyalah (suami) yang menjadi penentu setiap keputusan yang harus dibuat.

Kemarin sore, secara tak sengaja saya mendengar obrolan dua rekan kerja saya. Intinya adalah bahwa suami masing-masing tidak pernah mereka beri tahu berapa pastinya gaji mereka. Dan suami-suami mereka toh juga tidak pernah protes.

Timbul pertanyaan menggelitik, apakah seorang suami (memang) tidak ingin tahu berapa gaji istrinya?

Hehe…, suami -dalam pandangan subyektif saya- sebenarnya yang dia tahu adalah dia harus membiayai kehidupan keluarganya. Jika istrinya memiliki penghasilan, berapa pun itu, maka terserah sang istri mau dipakai untuk apa uang itu. Gengsi laki-laki itu tinggi. Mungkin itu sebabnya dia kurang suka jika untuk melakukan kewajibannya harus dibantu dengan gaji sang istri.

Namun seperti yang ditulis diawal, jika ekonomi yang menjadi faktor penyebab bolehnya istri bekerja, maka mau atau tidak mau, gengsi atau tidak, sang suami harus sedikit bersusah-payah untuk menurunkan egonya agar permasalahan ekonomi keluarga bisa teratasi.

Toh, itu juga untuk kebaikan bersama.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, December 14, 2012

Monday, December 10, 2012

ujungkelingking - Kita sering mendengar ungkapan take and give. Biasa diartikan hak dan kewajiban atau menerima dan memberi.

Namun, ternyata ungkapan tersebut tidak terpakai di negara-negara lain. Di Amerika, misalnya, yang biasa dipakai adalah "give and take". Memberi dahulu, baru kemudian menerima. Melaksanakan kewajiban terlebih dulu, baru mendapatkan hak.

Secara kronologis hal tersebut tentu benar. Adalah salah besar jika kita bersikukuh menuntut hak, sementara terhadap kewajiban kita abai. Kita baru mau memberi ketika sudah menerima. Alangkah sempitnya hidup ini. Dan sudah barang tentu jika setiap kita mampu melaksanakan kewajiban dengan baik, maka secara otomatis dan tanpa perlu diminta pun, hak akan kita dapatkan. Jika kita sering memberi, maka sesering itu pula kita akan menerima.

Sebuah contoh klise, jika kita sebagai seorang pegawai maka kewajiban kita adalah bekerja dengan sebaik-baiknya dan membantu agar tujuan perusahaan tercapai. Sedang bagi sebuah perusahaan, maka kewajiban yang ada adalah menggaji pegawai dengan pantas. Jika dibalik, hak kita sebagai pegawai adalah mendapatkan upah, sedang hak bagi perusahaan adalah tercapainya tujuan mereka.

Jika kita hubungkan dengan aturan-aturan prinsip dalam Islam, maka inilah yang disebut dengan prinsip tawakkal. Lakukan yang menjadi bagian kita setelah itu serahkan hasilnya hanya kepada Allah.
"Dan memberinya rejeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusannya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (Ath-Thalaaq: 3)

Maka, usaha keras dan doa yang sungguh-sungguh bagi seorang Muslim adalah keharusan. Dan mengenai hasilnya -baik atau buruk- Allah-lah yang Maha Mengetahui apa-apa yang menjadi hak kita.

nb. Ditulis sebagai catatan pribadi
sebagai pengingat bagi penulis.
Bismillah,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, December 10, 2012

Saturday, December 8, 2012

ujungkelingking - Bila kita mendengar istilah "salah pakai" atau "salah tempat", maka yang menjadi asumsi kita bahwa hal tersebut adalah hal yang salah, tidak benar, bisa juga memalukan dan membahayakan. Jadi, meskipun pada dasarnya hal tersebut adalah hal yang baik, namun jika salah kita dalam memakai dan menempatkannya maka hal tersebut bisa menjadi buruk.

Begitu juga dalam menerima dalil-dalil agama.

Islam adalah agama universal. Artinya penganut-penganutnya dari semua strata. Bisa orang-orang miskin atau orang kaya dan berpangkat, bisa rakyat biasa atau pemerintah, bisa laki-laki dan perempuan. Nah, ketika salah kita menempatkan dalilnya, akan menjadi salah pula dalam pentafsirannya. Ini yang kemudian mengkhawatirkan.

Ambil contoh sederhana, misalnya hadits yang menyebutkan bahwa senyum itu bisa menjadi sedekah,

"Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu." (Riwayat Tirmidzi) 

Menilik asbabu 'l-wurudh-nya (sebab-sebab turunnya hadits), hadits ini adalah untuk menjawab keluhan-keluhan shahabat yang gelisah ketika ingin bersedekah namun tidak memiliki kecukupan harta. Karena itu jika hadits ini diterapkan dan dijadikan pegangan oleh orang-orang yang memiliki kelebihan harta tentu tidak akan bisa menghasilkan impact yang diinginkan. Daripada menyedekahkan sebagian hartanya, tentu akan lebih "murah" menyedekahkan senyumannya. Padahal tidak demikian maksudnya.

Contoh lain, misalnya dalil tentang birru 'l-walidain (berbuat baik kepada kedua orangtua). Dalil-dalil yang seperti ini tentu lebih tepat bila dibaca oleh sang anak. Bila orangtua yang memakainya, bisa jadi dalil tersebut digunakan secara tidak bertanggung jawab. Eksploitasi, misalnya.

Dan tentu banyak lagi contohnya. Lalu bagaimana cara kita untuk menerima dalil-dalil semacam itu?


Berlaku adil adalah keharusan setiap Muslim

"...berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa..." (Al-Maaidah: 8)

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan..." (An-Nahl: 90)

Bahwa semua perintah dan larangan dalam Islam adalah baik, itu benar. Namun jangan lupa, agama ini juga mengajarkan untuk senantiasa berlaku adil. Adil adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, dan merupakan antonim dari dlolim. Dengan ini, seorang Muslim memiliki kecakapan untuk menempatkan diri dan beribadah sesuai dengan kapasitasnya.

Adil juga didefinisikan sebagai sikap pertengahan. Yaitu dalam menerima dalil (baca: hukum agama), kita tidak terjebak diantara dua kesalahan sikap ini: sikap meremehkan, dan; sikap melebih-lebihkan.

Meremehkan berarti menganggap biasa dan mengurangi antusiasme dalam melaksanakan ibadah, sehingga pada dalil yang menunjukkan hukum sunnah, diamalkan sebagai hal yang "seolah-olah" mubah saja. Sedang sikap melebih-lebihkan adalah bersikap terlalu ekstrim, sehingga yang seharusnya bisa dihukumi sunnah, dianggap sebagai amalan wajib yang karenanya jika tidak dilakukan menjadi berdosa.

Seorang Muslim harusnya seorang yang cerdas. Dikarunikan akal kepadanya agar dia bisa berhukum dengan akalnya (dalil aqli), namun tetap harus selaras dengan nash-nash Al-Qur'an dan hadits (dalil naqli).

Wallahu a'laam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, December 08, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!