Tuesday, December 4, 2012

ujungkelingking - Putra pertama kami, Zaki, sekarang punya kesenangan baru. Dia suka sekali merekam dengan hape punya ibunya. Dengan fasilitas voice recorder ia merekam apapun, entah itu nyanyinya, tertawanya, atau celotehannya yang ndak ada di kamus manapun.

Namun ada satu kejadian yang membuat saya tergelak ketika istri saya menceritakannya kepada saya. Kejadiannya terjadi beberapa hari yang lalu...

Saat itu istri saya hendak sholat Dhuhur. Si bungsu sedang terlelap, sedangkan kakaknya masih sibuk bermain-main sendiri. Sebelum sholat istri saya berpesan kepadanya untuk tidak naik ke atas kursi. Memang kami ada kursi kecil yang biasanya dinaiki anak kami untuk mengambil sesuatu di atas bufet. Kami memang jarang sekali melarang anak kami untuk -istilah saya- mengeksplorasi segala yang ada di ruangan. Hanya saja selalu dalam pengawasan saya atau ibunya.

Setelah berpesan begitu dan memastikan bahwa si sulung paham perintahnya, maka mulailah istri saya sholat.

Rakaat pertama..., rakaat kedua..., aman-aman saja. Namun menginjak rakaat ketiga terdengar bunyi kursi jatuh disusul kemudian tangisan anak kami. Ya, anak kami jatuh dari kursi! Istri saya mulai pecah konsentrasinya. Membatalkan sholat, atau teruskan saja? Tangisan anak kami semakin keras terdengar.

"Sakiitt, sakiitt... tolong, tolong..."

Istri saya semakin bingung. Akhirnya sholat dipercepat, sambil berdo'a mudah-mudahan tidak ada luka serius.

Selesai sholat, istri saya langsung menghampiri anak kami. Anda tahu apa yang dilihat istri saya?

Anak kami dalam posisi telungkup di lantai, masih menangis sesenggukan, sambil hape dengan kondisi "recording ON" berada tepat di depan bibirnya. Lalu dengan tampang innocent-nya, dimatikan perekamnya, kemudian diputar lagi. Sambil tersenyum mendengar suara tangisannya sendiri.

*Gubrakkk!
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, December 04, 2012

Saturday, December 1, 2012

ujungkelingking - Dalam Al-Qur'an, surah Al-Anfaal ayat 65, Allah subhanahu wa ta'alaa berfirman:


يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَفْقَهُونَ

 "Hai, Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada duapuluh orang yang sabar diantara kami, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti." (Al-Anfaal: 65)

Ini menarik.

Secara ringkas, ayat di atas menyebut bahwa 20 orang yang sabar dapat mengalahkan 200 orang kafir, dan 100 orang yang sabar mampu mengalahkan 1.000 orang kafir. Secara matematis bisa kita katakan perbandingan untuk keduanya adalah 1:10.

Nah, pertanyaannya adalah, kenapa Al-Qur'an tidak langsung saja menyebut "satu orang yang sabar bisa mengalahkan sepuluh orang kafir"?

***

Jawabannya tentu rasional. Karena memang cukup mustahil bila satu orang melawan sepuluh orang sekaligus. Akan tetapi -ini yang tadi saya katakan menarik- menjadi bukan mustahil jika 20 orang bisa mengalahkan 200 orang. Kuncinya ada pada, team-work.

Satu orang bisa saja kewalahan melawan sepuluh orang. Namun dengan kerja-sama yang solid, strategi yang apik dari hanya beberapa orang akan mampu mengalahkan jumlah yang jauh lebih besar. Sejarah banyak berbicara tentang ini.

Dengan kerja-sama banyak hal yang tidak mungkin dilakukan menjadi mungkin saja terjadi. Sama seperti filosofi sapu lidi, dengan bekerja dalam tim, kelemahan bisa menjadi kekuatan yang diperhitungkan.

Dalam konteks makro, kerja-sama ini bisa diartikan dengan banyak hal. Dalam kehidupan bernegara misalnya, kerja-sama bisa dimaknai sebagai hubungan yang terintegrasi antara pemimpin, pemegang kekuasaan, penasehat (ulama), dan rakyat biasa. Dalam hal pekerjaan, bekerja-sama berarti saling melengkapi antara atasan, operator dan sesama rekan kerja.

Namun, yang tetap penting untuk digaris bawahi sebagaimana judul tulisan ini bahwa kerja-sama itu haruslah dalam hal yang bersifat kebaikan.

"... Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya." (Al-Maaidah: 2)
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, December 01, 2012

Thursday, November 29, 2012

ujungkelingking - Awalnya tidak banyak yang tahu tentang novel "The Da Vinci Code" yang ditulis oleh Dan Brown -yang kemudian diadaptasi ke layar lebar dengan judul yang sama. Setelah Paus Vatikan mengecam dan melarang beredarnya novel dan film tersebut, segera saja novel tersebut menjadi best seller!

"Innocence Of Mosleem", tiba-tiba saja menjadi film paling banyak dilihat setelah muncul gugatan dan reaksi keras dari banyak kalangan Muslim dunia.

Dan tentu masih banyak lagi contoh dari sesuatu yang pada awalnya orang tidak tertarik untuk tahu, namun ketika muncul larangan atau gugatan justru kemudian menyebabkan ketertarikan terhadap hal tersebut meninggi.

Asal mula istilah "streisand effect"

Adalah Barbara Joan Streisand (Barbara Streisand), seorang selebriti asal New York yang melayangkan gugatan terhadap Kenneth Adelman, fotografer yang dituduh telah memotret rumahnya dari udara, lalu mengunggahnya ke situs internet tanpa seijin dirinya. Barbara Streisand menganggap apa yang dilakukan Kenneth Adelman adalah melanggar privasinya. Tidak tanggung-tanggung, ia menuntut sekitar 52 juta dolar!

Meski pada akhirnya pihak pengadilan tidak mengabulkan tuntutannya, namun publik sudah kadung penasaran dengan foto yang digugat tersebut. Padahal sebelumnya tidak banyak orang yang tertarik untuk melihat seperti apa rumah Barbara Streisand, namun setelah kasus gugatannya masuk pemberitaan di media, dalam sekejab ribuan orang mengunduh gambarnya.

Sumber gambar: Google

Dari sinilah kemudian istilah "streisand effect" berkembang. Istilah untuk menyebut tentang rasa penasaran dan keingin-tahuan atas sesuatu yang dilarang.

Semakin dilarang, semakin dicari

Jika kita diberi lima buah kado yang boleh dibuka sekarang dan satu kado yang baru boleh dibuka 2 hari lagi, tentu pikiran kita akan terpusat pada satu kado yang tidak boleh langsung dibuka itu.


Rasa keingin-tahuan kita menjadi besar justru karena ada larangan tersebut.

Streisand Effect inilah yang dahulu menimpa Adam alaihissalaam sehingga harus diusir dari surga dan diturunkan ke bumi.

Sifat dasar manusia: ingin tahu

Ini adalah sifat alamiah dan manusiawi sehingga tidak mungkin bisa dihilangkan. Pada dasarnya, setiap kita memiliki sifat ini, hanya berbeda kadarnya pada masing-masing person: (1) ada yang sangat kuat sehingga dirasa perlu melakukan pelanggaran, dan; (2) ada pula yang masih dalam taraf biasa saja sehingga "kalau tidak diberi tahu ya sudah".

Dalam kisah Adam alaihissalaam, sebenarnya Adam masih masuk golongan yang kedua. Namun Syaithan berhasil menipu dan membujuknya sehingga ia berani melanggar larangan Allah (lihat Al-Baqaraah: 36).

Lalu bagaimana sikap kita ketika sifat ini menimpa kita?

Jawabannya tentu kembali kepada penilaian kita masing-masing. Apakah sifatnya agama (baca: tauqifiyah) atau hanya keduniaan saja? Apakah hal tersebut memang sangat penting sehingga kita harus tahu meski itu harus menabrak hak-hak orang lain dan etika dalam agama? Atau apakah jika kita tidak tahu maka akan menimbulkan kemudharatan yang lebih besar? Allah menganugerahkan kepada kita -manusia- akal, yang ketika semakin dewasa maka seharusnya semakin berpikir, semakin menimbang dan (mungkin) semakin bisa mengukur resikonya.


*dari beberapa sumber
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, November 29, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!