Wednesday, July 25, 2012

ujungkelingking - Barangkali Anda sudah bosan dengan tampilan atau penataan icon-icon pada desktop yang itu-itu saja, kemarin saya baru “nemu” (soalnya gaptek sih, hehe…) suatu aplikasi gratis untuk menata ikon-ikon pada desktop Anda. Namanya fences.

Langsung saja, ya!

Pertama kali Anda harus mendownload aplikasinya. Lebih mudahnya googling saja dengan kata kunci: download fences free.

Setelah selesai, Anda tidak bisa langsung menjalankannya, tetapi Anda akan diarahkan untuk mendownload dua komponennya.
13431853851040453752
Ketiganya harus ada (dok. pribadi)

Setelah Anda selesai mendownload kedua komponen itu dan meng-install-nya, Anda baru dapat menjalankan aplikasi fences tersebut.

Anda sekarang sudah dapat mengatur ikon-ikon pada desktop Anda. Tinggal letakkan mouse pada desktop, lalu klik kanan dan drag ikon-ikon yang ingin Anda kelompokkan.

Lebih jelasnya seperti yang telah saya lakukan pada desktop saya… :)

Tampilan desktop saya yang sekarang (dok. pribadi)

Semoga bermanfaat!

Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, July 25, 2012

Wednesday, July 18, 2012

ujungkelingking - Awas, menjelang Ramadlan seperti ini atau nanti menjelang hari raya 'Idul Fitri siap-siap saja hape Anda kebanjiran SMS Minta Maaf. Hal tersebut sepertinya sudah mendarah-daging dalam budaya orang-orang Islam di Indonesia, khususnya.

Lho, apa salahnya meminta maaf? Tentu saja tidak salah. Dan hal itu malah diwajibkan oleh Islam.

"Orang yang pernah menzalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari ini ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari dimana tidak ada ada dinar dan dirham. Karena jika orang tersebut memiliki amal shalih, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezhalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal shalih, maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zhalimi
(HR. Bukhari no.2449)

Nah, yang saya anggap tidak benar di sini adalah bila meminta maaf tersebut dikhususkan (atau menunggu) menjelang Ramadlan atau menjelang hari raya. Meminta maaf seharusnya adalah dilakukan secepatnya saat kita menyadari kesalahan yang kita lakukan. Karena itu tidak ada anjuran untuk meminta maaf menjelang Ramadlan, pun hari raya.

Umumnya, tradisi yang tengah berkembang di dalam masyarakat Muslim ini didasarkan pada hadits di bawah ini,

Ketika Rasullullah sedang berkhutbah pada Shalat Jum’at (dalam bulan Sya’ban), beliau mengatakan Amin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasullullah mengatakan Amin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan Amin. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Amin sampai tiga kali. Ketika selesai shalat Jum’at, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan: “Ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasullullah Amin-kan do’a ku ini,” Jawab Rasullullah.

Do’a Malaikat Jibril itu adalah, “Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadlan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:

1) Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
2) Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri;
3) Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.

Namun menurut muslim.or.id, hadits tersebut adalah hadits palsu dan tidak jelas asal-muasalnya. Dan -masih menurut sumber yang sama- ada hadits yang memiliki kemiripan redaksi dengan hadits di atas, dan inilah yang lebih shahih:

Dari Abu Hurairah: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam naik mimbar lalu bersabda: "Amin, Amin, Amin". Para sahabat bertanya: “Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?” Kemudian beliau bersabda, “Baru saja Jibril berkata kepadaku: "Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadlan tanpa mendapatkan ampunan", maka kukatakan, "Amin", kemudian Jibril berkata lagi, "Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak membuatnya masuk surga (karena tidak berbakti kepada mereka berdua)", maka aku berkata: "Amin". Kemudian Jibril berkata lagi, "Allah melaknat seorang hamba yang tidak bershalawat ketika disebut namamu", maka kukatakan, "Amin”.

Karena itulah, meski postingan ini di-publish menjelang Ramdlan, tidak ada niatan dari saya untuk mengkhususkan meminta maaf pada hari ini. Ibarat pepatah, tak ada tembok perumahan yang tak retak, sebagai manusia pastilah terselip tulisan, pandangan atau komentar saya yang menyinggung Anda.

Jadi, maafkanlah...

***

nb: kalau tidak mau maafin, maka T.E.R.L.A.L.U.

Mengenai derajat hadits bisa dilihat di SUMBER

Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, July 18, 2012

Saturday, July 14, 2012

ujungkelingking - Lagi, kita disuguhi berita tentang penangkapan pegawai pajak atas kasus suap (kompas.com). Hal ini tentu menambah panjang rangkaian gerbong kasus di tubuh DJP, yang mau tidak mau berimbas kepada masyarakat (baca: Wajib Pajak). Akhirnya tidak sedikit dari kalangan masyarakat luas yang menjadi berat untuk membayar kewajiban pajaknya. Kebanyakan mereka berpikir begini, “Buat apa kita repot-repot membayar pajak, bila uangnya kemudian dimakan oleh pegawai pajak dan bukan untuk kepentingan negara?” atau “Apa sih untungnya membayar pajak, toh kita tidak merasakan manfa’atnya?”

Maka ini kemudian menjadi kewenangan DJP untuk menjelaskan kepada masyarakat luas. Memang, dalam definisinya pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam kalimat yang dicetak tebal di atas jelas bahwa hasil dari pembayaran pajak kita adalah bukan diperuntukkan untuk kita -secara personal. Akan tetapi hasil tersebut bisa dinikmati secara bersama-sama. Seperti misalnya pembangunan gedung pelayanan publik, jalan raya, dsb. Jadi bila ada pertanyaan, “apa untungnya membayar pajak?” Jawabannya, kita hanya akan dianggap sebagai Wajib Pajak Patuh (hak hak hak…)

Kalau pertanyaannya adalah tentang uang negara yang dimakan oleh pegawai pajak, tentu ungkapan ini kurang tepat. Karena sebenarnya yang dimakan oleh pegawai pajak tersebut bukanlah “uang negara”, melainkan “uang yang seharusnya milik negara”. Lah sami mawon!

Melihat kejadiannya secara kronologis mungkin benar anggapan umum bahwa adanya praktek suap ini adalah tidak lepas dari polah tingkah-tingkah laku Wajib Pajak sendiri. Misalnya saja, karena tidak pernah membayar pajak, lalu setelah dilakukan penghitungan, pokok yang seharusnya dibayar ditambah dengan sanksi -dan sebagainya- maka diperolehlah angka yang luar biasa fantastis. Logikanya, kalau membayar yang menjadi kewajibannya saja tidak mau, apalagi ini: membayar kewajiban plus denda?

Maka ditempuhlah “jalan tengah”. Diminta-lah kepada pegawai pajak tersebut untuk “merevisi” laporan pajak Wajib Pajak tersebut. Sehingga, yang seharusnya dibayar 100%, cukup dibayar 30% saja. Dan sebagai ucapan terima-kasih dikirimlah sebuah “kardus indomie” ke rumah…

Lalu kenapa praktek yang sesungguhnya sudah berlangsung sejak tahun Gajah ini baru terendus (sebagian) sekarang? Jawabannya karena mereka (pegawai pajak) ternyata punya “kewenangan” merahasiakan hubungan mereka dengan Wajib Pajak.

Dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007 pasal 34 ayat (1) tertulis setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam penjelasan ayat disebutkan setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain:

  1. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;

  2. data yang diperoleh dalam rangka petaksanaan pemeriksaan;

  3. dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;

  4. dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan.
Nah, sebenarnya aturan dalam pasal ini diperuntukkan kepada Wajib Pajak untuk melindungi data-data mereka dari kebocoran yang takutnya disalah-gunakan oleh pihak lain. Namun bagaimana bila justru aturan ini dipakai oleh pegawai pajak sendiri untuk menutupi kecurangan yang dilakukannya?
Agaknya DJP perlu mereview kembali pasal per-pasalnya. 

# Berdo'a untuk Indonesia yang lebih bersih, bismillah...
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, July 14, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!