ujungkelingking - Tujuan hidup seorang muslim adalah untuk beribadah kepada Allah, Rabb sekalian alam. Nah, dalam perjalanannya ternyata kita juga membutuhkan "modal" agar dapat bertahan hidup untuk menunjang ibadah kita tersebut. Modal inilah yang kemudian kita namakan rejeki. Kita -dalam konteksnya sebagai manusia- kemudian dipersilahkan mencari sebanyak-banyaknya rejeki yang Dia kucurkan.
Namun, dalam posisi sebagai seorang muslim, rejeki yang kita cari ini haruslah memenuhi beberapa kriteria ideal. Kriteria tersebut adalah halal, baik, banyak, dan berkah (halaalan-thayyiban-waasi'an-mubaarakah).
Kriteria Satu: Halal
Kriteria ini merupakan harga mati bagi seorang muslim. Rejeki yang dicarinya seharusnya terpenuhi unsur ini. Jangan sampai rejeki yang kita dapatkan -yang kemudian dimakan oleh anak-istri kita- tercampur dengan hal-hal yang haram karena pasti akan ada dampaknya terhadap kita. Dampak-dampak itu antara lain: tidak diterimanya amalan kita, menjadi sebab tidak terkabulnya do'a, merusak keimanan, mengeraskan hati dan tentu saja menjerumuskan kita kepada nerakanya Allah subhanahu wa ta'ala (soal dalilnya, googling aja ya? H-hee).
Kriteria Dua: Baik
"Baik" dalam pengertian saya adalah menyehatkan. Satu contoh soal makanan. Sekarang ini banyak sekali jenis makanan atau jajanan, yang secara "status" memang termasuk makanan yang boleh dikonsumsi (halal). Namun karena banyaknya kandungan kimia di dalamnya menyebabkan makanan tersebut justru mengundang penyakit. Di sini seorang muslim harus teliti. Rejeki yang halal saja tidak cukup, namun juga harus baik.
Kriteria Tiga: Banyak
Manusiawi memang. Allah sendiri sudah memberikan keleluasaan kepada kita untuk meminta kepada-Nya. Justru saya menganggap seseorang yang tidak pernah memohon sesuatu kepada Allah adalah seseorang yang sombong. Tapi, eh, bisa jadi dia orang yang sangat qana'ah juga sih, h-hii...
Kriteria Empat: Berkah
Saya pribadi mengartikan keberkahan ini sebagai kebermanfaatan. Bahwa rejeki yang kita terima lebih terasa manfaatnya. Atau istilahnya lebih 'tepat sasaran'. Barangkali kita sering mendapatkan rejeki (suatu barang, misalnya) lalu pada akhirnya barang tersebut hanya tergeletak saja di sudut rumah kita, tanpa pernah terjamah. Jadi terlihat kurang manfaatnya. Mungkin seperti itulah keberkahan itu (tapi sekali lagi, ini pendapat pribadi lho).
Lalu bagaimana agar kita bisa mendapatkan keempat kriteria di atas pada rejeki yang kita terima?
Ulama ahli tasawwuf, Abu Lais Samarqandi, merumuskan ada 2 hal yang harus dilakukan agar rejeki model ini bisa kita dapatkan:
- Satu, jangan pernah menunda-nunda kewajiban kepada Allah
Klise, ya? Tapi seperti itulah. Ketika kita banyak memohon kepada Allah, maka sudah sepantasnyalah kita juga mengikuti aturan-aturan-Nya. Tapi tidak hanya itu, mendahulukan kepentingan-Nya di atas kepentingan kita sendiri menjadi sebuah keniscayaan.
Allah itu Maha Pemurah. Ketika Dia tahu (dan Dia memang Maha Tahu) bahwa kita senantiasa mendahulukan perintah-Nya dibandingkan dengan kebutuhan kita sendiri, maka berlakulah apa yang difirmankan-Nya, "Berdoalah, maka pasti akan Aku kabulkan!"
- Dua, selalu ingat bahwa rejeki yang kita dapatkan tidak sepenuhnya milik kita
Senantiasa membuka mata dan telingan terhadap kondisi di sekeliling kita. Memperbanyak sedekah. Bukankah janji Allah bahwa balasan dari suatu sedekah itu akan dikalikan 10, 70, atau 700 kali?
Namun ada satu catatan di sini, bahwa di dalam kita bersedekah hendaknya cerdas dalam menentukan "target". Tidak membabi-buta dalam memberikan sedekah, sebab bisa jadi sedekah kita yang
salah alamat itu merupakan proyek dari orang-orang non-Muslim yang bertujuan untuk menyerang kaum muslimin di bagian lain di dunia ini.
Kalau rekan-rekan pernah membaca tulisan saya yang berjudul
Ini Tentang Pengemis yang (Tak) Layak Diberi, maka di sini rekan-rekan bisa mengambil jalan tengahnya. Ketika kita mendapati pada target sedekah kita ada tanda-tanda ketidaklayakan untuk diberi sedekah, maka kita bisa memilih untuk mengalihkan sedekah tersebut ke target yang lain. Namun bila tanda-tanda itu tidak nampak jelas, saya kira tidak perlu kita menduga-duga demi menghindari sikap su'udhan. Nah, "tanda-tanda" itu saya serahkan kepada masing-masing individu saja untuk menentukan kriteria-kriterianya.
(+) Berarti sampeyan ini plin-plan, mas.
(-) Plin-plan bagaimana?
(+) Katanya kalau sedekah ke pengemis gak usah pilih-pilih. Langsung kasih aja. Tapi sekarang kok bilangnya harus cerdas kalau bersedekah?
(-) Lho, dalam tulisan saya terdahulu kan mbahasnya tentang kalau kita bersedekah kepada pengemis. Bayangkan saja kakek/nenek yang sudah renta berdiri di pinggir jalan dengan pakaian lusuh. Nah, kalau tulisan yang ini membahas target secara umum. Kita bersedekah tidak hanya kepada pengemis saja kan? Bisa jadi ke kotak infaq masjid, panti asuhan, dsb. Atau ke orang-orang yang pakai mobil trus sambil baca shalawat, atau ada yang datang door to door sambil mengajukan map. Lahhh, yang model begini inilah yang menurut saya (menurut Khatib, ding!) kita harus cerdas peruntukannya benar atau tidak.
(+) Ooo, begitu...
(-) Ho'oh, begitu aja.
Mudah-mudahan kita semua dijauhkan dari segala macam sifat kikir ini, dan sifat-sifat buruk lainnya.
Dan mudah-mudahan semua sedekah kita bisa bermanfaat bagi si penerima dan sekaligus menjadi amalan jaariyah bagi kita sendiri.
Dan semoga limpahan rejeki yang halal, baik, banyak dan berkah senantiasa mengucur kepada kita dan keluarga kita semua.
Aamiin, ya Rabba 'l-'aalamiin.
*Dari sebuah khutbah Jum'at, 20 Desember 2013
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at
Monday, December 23, 2013