Saturday, June 1, 2013

ujungkelingking - Beberapa waktu yang lalu saya diingatkan oleh seorang Kompasianer tentang pleonasme.


Pada intinya, pleonasme adalah cara untuk me-mubadzir-kan kata dalam suatu tulisan atau artikel. Penggunaan kata yang berlebihan, kata yang tidak efektif, kata yang sinonimi yang jika salah satu katanya dihilangkan tidak akan mengurangi makna kalimat sebagaimana asalnya. Penulis-penulis amatir -seperti saya- seringkali terjebak pada pleonasme ini. Mungkin agar kalimat atau artikel terlihat lebih panjang, atau memang karena ketidak-tahuan si penulis tentang hal ini.

Salah satu contoh pleonasme yang sering terjadi, misalnya,
Segenap para tamu undangan
Semua anak-anak silahkan maju ke depan
Saya pun juga tidak tahu
Kita harus dan wajib melaporkan
Mulai dari halaman rumah hingga...
Ada beberapa poin-poin yang bisa digunakan
dan lain sebagainya.

Penggunaan majas ini bukanlah sebuah larangan, terutama untuk kalimat-kalimat yang memang membutuhkan penegasan. Namun saya pribadi berpendapat ("saya pribadi", nah ini mungkin juga masuk pleonasme), dibutuhkan "kebijaksanaan" di dalam menggunakannya. Bagi yang sudah lama berkecimpung di dalam dunia tulis-menulis, pleonasme ini pada akhirnya akan terasa mengganggu sekali. Sebuah pemborosan. Dan bila kita tidak belajar "mengendalikannya" dari sekarang, akan menjadi kebiasaan yang susah dihilangkan.

Mari, kita mulai memperbaiki cara menulis kita. Meski tulisan kita santai dan apa adanya, tentu menjadi lebih baik jika kita menulis dengan menggunakan kaidah-kaidah yang benar. Padat namun jelas dengan membuang kata-kata yang tidak perlu. Disamping tulisan tidak menjadi bertele-tele dan mudah dipahami, juga melatih efisiensi dan konsentrasi kita sebagai penulis.

Salam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, June 01, 2013

Tuesday, May 28, 2013

ujungkelingking - Tanggal 25 Mei 2013 kemarin (seharusnya) menjadi hari yang agung bagi pemeluk Budha di Indonesia. Namun sayang, ke-khidmat-an Waisak yang sakral tersebut rusak karena ulah orang-orang yang tidak mengerti makna 'menghormati'. Beritanya bisa diintip di sini.

Bagi kita yang Muslim, menghormati (baca: toleransi) terhadap agama lain tetaplah mengacu pada konsep "lakum dinukum wa liyadiin". Maksudnya adalah, silahkan Anda dengan kepercayaan Anda, biarkan kami dengan keyakinan kami. Silahkan beribadah menurut agama Anda, kamipun akan beribadah menurut agama kami. Kita saling menghormati, tidak akan saling merusuhi. Kami tidak akan mengganggu ritual ibadah Anda, pun begitu sebaliknya.

Jadi bukan dalam ritual ibadah-nya, akan tetapi di luar konteks ibadah. Itulah lingkup toleransi sebenarnya. Yang namanya keyakinan tidak boleh dicampur-adukkan, sebab jika sudah campur-aduk itu bukanlah keyakinan, tetapi sikap plin-plan.

Konsep inilah yang semenjak kedatangan Islam dipraktekkan oleh Rasulullah. Hasilnya, banyak dari kalangan di luar Islam yang menjadi tertarik dengan ad-Diin ini.

Dan bagaimana cara kita menghormati agama/kepercayaan orang lain, hingga saat ini, penulis hanya menemukan hanya dua cara saja untuk mengungkapkan sikap toleransi kita terhadap agama/kepercayaan lain, yaitu: [1] menjaga ketenangan dan tidak membuat gangguan/kerusuhan ketika orang lain sedang menjalankan ritual ibadah mereka, dan; [2] tidak menciptakan tekanan dan bertindak arogan terhadap orang lain ketika kita tengah merayakan hari besar/acara keagamaan Islam.

Salam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, May 28, 2013
ujungkelingking - Rabu tanggal 22 Mei kemarin, Play Group tempat Zaki bersekolah mengadakan acara perpisahan. Tujuannya ke Jatim Park II aka Batu Secret Zoo. Sebenarnya, peserta perpisahan ini hanyalah murid yang bersangkutan dengan didampingi oleh satu orang wali murid. Karena istri saya bakal kerepotan karena harus mengajak juga si bungsu yang baru berusia 1 tahun, maka saya terpaksa "diseret" ikut acara tersebut.

Sebenarnya saya enggan mengikuti acara ini, karena selain sopir dan keneknya, saya lah satu-satunya laki-laki dalam rombongan tersebut. Tapi harus bagaimana lagi, jika saya tidak ikut maka istri saya pasti akan kesulitan untuk mengawasi kedua putra kami sekaligus, apalagi ini di tempat ramai.

Huft!

Rabu pagi itu rombongan akhirnya berangkat. Dari jadwal awal kumpul di sekolah jam 6, lalu diubah menjadi jam 7, lalu molor hingga menjadi jam 7.30.

Perjalanan berangkat -alhamdulillah- lancar. Sampai di tempat tujuan sekitar jam 10.30. Tapi antrian di pintu masuk sudah mengular. Beuh! Saya tidak ingat berapa lama kami berdiri berdesakan seperti itu, saya hanya fokus untuk berdiri tepat di belakang istri yang sedang menggendong Daffa, menjaga jangan sampai mereka tergencet dari belakang.

Sumber gambar: Google

Ketika masuk, rombongan sudah langsung terpencar sendiri-sendiri. Hawa dingin begitu menyeruak, maklum cuaca saat itu sedang mendung. Setelah beberapa lama berjalan, saya baru menyadari bahwa di sana berlaku -sebut saja- sistem satu arah. Maksudnya, dari satu tempat ke tempat berikutnya kami diarahkan melalui hanya satu rute hingga ke tempat terakhir yaitu wahana permainan dan kemudian pintu keluar. Bagi saya cara ini lebih baik daripada harus berjalan sendiri-sendiri sesuai kemauan kita, karena dengan cara ini kita bisa melihat semua satwa secara keseluruhan tanpa harus berputar-putar atau "bertabrakan" dengan rombongan-rombongan lain.

Secara umum saya menyukai cara penempatan sangkar-sangkarnya. Pun satwa-satwa yang ada di sana terlihat lebih terawat (mungkin karena wahana ini masih tergolong baru, ya?). Dan, kalau ingin melihat apa saja yang ada di dalam, tentunya Anda harus datang untuk menyaksikan dengan mata-kepala sendiri, hehe...

Di akhir rute, sebelum pintu keluar, kami sampai pada wahana permainan dan pemandian. Permainan yang ada cukup beragam, mulai dari yang untuk anak-anak sampai yang cukup menguji adrenalin untuk orang dewasa. Sebenarnya dari tiket yang kami beli sudah termasuk free permainan. Artinya, kami boleh menjajal semua permainan yang ada, dan itu gratis! Namun, sebagian besar permainan tersebut dibatasi untuk anak-anak dengan tinggi 85 cm ke atas. Bagaimana dengan Zaki? Tinggi Zaki masih 80 cm... (hihi, cuma bisa bengong dia).

Tidak lama kami di sana sebab sesuai instruksi Ibu Kepala Sekolah, rombongan harus berkumpul di pintu keluar pukul 2. Disaat kami melanjutkan rute menuju pintu keluar, tak disangka, hujan langsung turun dengan lebatnya. Kebingungan, kami memutuskan untuk mengikuti orang-orang berteduh di sebuah cafe. Kebetulan, cafe itu adalah satu-satunya tempat yang bisa dipakai berteduh di jalur tersebut, maka bisa dibayangkan berjejalnya para pengunjung di sana.

Tidak mungkin kami berlama-lama di sana. Selain karena anak-anak kami yang semakin terjepit, juga karena waktu yang sudah lewat dari jam 2. Karena itu setelah hujan terasa agak mereda, saya meminta kardus bekas mi instan kepada penjual ice cream di cafe tersebut. Istri menggendong Daffa dan saya menggendong Zaki, jadilah kami berlari-lari kecil menerobos rintik-rintik hujan. Siapa sangka, inilah momen terbaik versi Zaki. Bahkan sampai beberapa hari, seperti hanya hal ini saja yang diingatnya. Wah, wah...

Akhirnya, kami menjadi orang pertama yang sampai di bus, padahal sudah hampir pukul 3. Keluarga yang lain mulai berdatangan kemudian. Sudah terlambat untuk ke tempat tujuan berikutnya (rencananya ke Songgoriti), apalagi kami harus mencari satu keluarga lagi yang sempat "tersesat", haduhhh, begini ini kalau pergi sama emak-emak.

Sampai kemudian bus baru bisa meninggalkan tempat parkir menjelang adzan Maghrib. Sempat berhenti untuk membeli oleh-oleh lalu langsung melanjutkan perjalanan pulang. Sampai di rumah sekitar pukul 8 dengan rasa lelah yang luar biasa. Mandi air hangat dan secangkir teh panas sukses mengantar kami ke dalam lelapnya tidur.

Sumber gambar: dok. pribadi


Selesai.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, May 28, 2013

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!