Friday, January 27, 2012

ujungkelingking - Dalam sebuah acara komedi yang ditayangkan sebuah TV swasta semalam, ada satu segmen dimana penonton bisa menuliskan masalahnya -utamanya masalah percintaan- untuk kemudian diberikan solusi oleh si host.

Kemudian sebuah surat dibacakan. Isinya kurang lebih sebagai berikut,
"Saya (gadis, pen.) sudah berpacaran selama setahun. Kemudian mantan saya minta balikan. Apa yang harus saya lakukan?"

Maka dengan cepat si host tadi langsung menukas, "Daripada kamu menjalani hubungan yang sekarang nggak enjoy, ya balikan aja!"

***

Apa yang ingin saya sampaikan? Bahwa mengetahui akar masalah adalah setengah dari solusi, itu benar. Tapi memberikan solusi dengan pengetahuan minim tentang akar permasalahan, adalah fatal!

Sebelum kita memutuskan akan memberikan solusi apa, sebaiknya kita tahu benar-benar situasi yang sedang terjadi. Dalam kasus di atas, akan lebih membantu bila kita tahu bagaimana background si gadis, latar belakang sang mantan, atau setidaknya apa yang menyebabkan mereka putus. Apakah sang mantan yang memutuskannya, atau jangan-jangan si gadis sendiri yang minta putus? Lalu dengan sang pacar yang sekarang apakah dia menjalin hubungan itu karena memang mencintainya atau hanya sekedar pelarian? Kalaupun -memang- sekedar pelarian, tentu tak semudah itu minta putus. Dulu waktu diputus sang mantan, tentu si gadis sakit hati atau minimal kecewa. Lalu bagaimana bila hal yang sama terjadi pada pacarnya yang sekarang -yang notabene- gak salah apa-apa?

Pendeknya, ada banyak faktor yang akan mempengaruhi keputusan atau solusi kita. Semakin banyak faktor pendukung, semakin objektif keputusan kita. Dan saya yakin si host tak berpikir sejauh itu. Darimana dia tahu kalau si gadis tidak enjoy dengan hubungannya yang sekarang? Surat dari si gadis itu singkat banget, lho. Dan  waktu setahun untuk berpacaran itu juga waktu yang cukup lama.

Ah, saya sadar apa yang ada di acara semalam tak lebih hanyalah sekedar untuk hiburan semata. Tapi bagaimana bila pola berpikir instan seperti ini diterapkan dalam keseharian kita?

(Mudah-mudahan tidak)
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, January 27, 2012

Saturday, January 21, 2012

ujungkelingking - Dengan judul lain, Siapkah Anda Menjadi Seorang Atasan?

Hari ini kabarnya salah seorang rekan karyawan di tempat kerja saya akan resign. Dia mengundurkan diri dan lebih memilih bekerja di tempat lain. Apakah dia memilih gaji yang lebih besar? Mungkin saja. Tapi menurut saya faktor internal di departemen dia yang dominan. Entah itu hubungan dengan atasannya yang kurang harmonis, pekerjaan yang semuanya dibebankan kepada dia, atau faktor-faktor lain yang dia tak mau membeberkannya.

Tapi dari situ saya bisa menarik kesimpulan bahwa menjadi seorang atasan tidak sesimpel yang dibayangkan. Ada banyak hal yang harus dilakukan dan lebih banyak lagi yang tidak boleh dilakukan.

Misalnya, jangan selalu menyalahkan anak buah karena kesalahan yang dilakukannya. Anda (baca: atasan) sebagai controller bertanggung jawab atas itu. Jika anda intens dalam me-monitoring pekerjaannya, tentu kesalahan tidak akan terjadi, bukan?

Kemudian seandainya anda harus menyalahkan anak buah anda, jangan sekali-kali membentaknya -apalagi- di tempat umum. Ini akan fatal. Karena sebaik apapun kebenaran nasehat anda jika cara penyampaiannya salah tempat, akan mental juga. Bisa-bisa masuk telinga kanan keluar dari telinga kanan juga. :D

Masalah pekerjaan juga harus anda timbang-timbang. Beri pekerjaan sesuai dengan kapasitasnya, meski anda juga harus mengupayakan untuk memaksimalkan kinerjanya. Jangan sampai anak SMA mengerjakan soal anak SD atau anak SD mengerjakan soal anak kuliahan. Ya itu tadi, sesuai kapasitas.

Dan dengan meningkatkan kemampuan anak buah anda, sejatinya anda akan lebih diuntungkan. Itu kata atasan saya. Dan itu betul, pekerjaan anda sebagai atasan akan lebih ringan lagi. Malah kalau versi atasan saya lebih sederhana lagi. Jadi kalau bawahan melakukan kesalahan cukup dibina saja. Kalau berkali-kali salah dan tak mungkin lagi dibina... ya, dibina-sakan saja. Hehehe...

Dan karena saya hanyalah seorang karyawan grass root -yang tidak mungkin saya mengajari atasan saya- maka, tulisan ini hanya sekedar curhatan saya saja.

Terinspirasi dari kejadian rekan kerja saya pagi ini.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, January 21, 2012

Wednesday, January 18, 2012

ujungkelingking - Tulisan ini adalah mencoba mengkritisi tulisan salah seorang Kompasianers yang bertajuk Apapun agamanya, beragama merupakan tindakan yang benar. Namun dikarenakan ada kemungkinan memicu terjadinya perdebatan agama, -yang akan menyalahi peraturan di Kompasiana- maka saya tulis artikel ini di blog pribadi saja.

Dalam tulisan tersebut penulis berpendapat tersebut bahwa,

"... meskipun sebuah informasi itu keliru dan tidak sesuai dengan fakta dan data sebenarnya, tetapi perbuatan atau tindakan mempercayai bahwa “informasi tersebut benar” adalah tindakan yang benar."

Dalam konteks pemikiran tersebut, maka dengan kata lain penulis beranggapan bahwa "yang tidak beragama" adalah salah, sedangkan "yang beragama" -apapun- agamanya adalah benar. Tentu ini sejalan dengan dasar pemikiran kelompok Islam Liberal, yang tentu juga bertentangan dengan semangat "innaddiina 'indallahi Islam". Sungguh, agama yang paling benar disisi Allah adalah Islam. Dan jelas, pemikiran bahwa "semua agama benar" adalah, salah.

Penulis juga telah menyandarkan pemikirannya terhadap surah dalam Al-Qur'an,

"...Jadi, secara akal sehat mungkin informasi yang keliru bisa tidak dipercaya, atau informasi yang benar justru diabaikan. Akan tetapi secara keyakinan informasi apapun yang masuk ke dalam bathin manusia, tidak bisa diganggu-gugat oleh siapapun. Maka disinilah, kebenaran beragama, apapun agamanya, dijamin oleh ajaran Islam (Al Kafiruun)."

Sekali lagi, Islam tidak pernah menjamin kebenaran agama lain. Menghormati, iya. Bahwa dalam Al-Kaafiiruun disebut "lakum diinukum, waliyaddiin" bukan berarti Islam melegitimasi ke-liberal-an tersebut. Dalam asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya ayat tersebut) diceritakan bahwa kaum kafir pada waktu itu meminta compromise dengan Rasulullah. Yaitu dengan cara, hari ini mereka mau menyembah Allah, tetapi besok umat Muslim harus mau menyembah berhala mereka. Maka turunlah ayat tersebut dengan tegas menyatakan,

"Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku."

Artinya, kita berbeda.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, January 18, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!