Tuesday, January 21, 2014

ujungkelingking - Tips Berdagang bagi Pemula

Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel saya kemarin yang berjudul Darimana Datangnya Saran?

***

"Jual (sepatu) itu menjanjikan tah?"

Sebuah pertanyaan yang cukup membuat saya spechless. Harus saya akui, selama ini hasil dari usaha saya menjual sepatu masih belum bisa dikatakan bagus. Meski pada akhirnya modal bisa kembali, tapi pergerakannya tidak (atau belum) seperti yang saya harapkan.

Hal ini sebenarnya bagi saya lumrah, karena pertama, barang yang saya miliki kurang bervariasi. Ini adalah salah satu kendala dalam usaha yang saya ambil. Adakalanya orang sudah cocok dengan modelnya, namun ukuran yang dicari tidak ada. Atau ukurannya sudah pas, tapi modelnya masih kurang sreg.

Kedua, saya belum menemukan pola dan kunci dari usaha seperti ini. Disamping masih minimnya pengalaman, akses-koneksi dengan pedagang-pedagang atau tengkulak lain juga nol.

Namun, obrolan saya dengan bapak ini cukup membuka mata saya.

"Jual (sepatu) itu menjanjikan tah?" Pertanyaan tersebut diulanginya lagi karena saya masih terdiam.

Melihat peluang pasar, mutlak perlu!


Bapak ini kemudian menceritakan tentang salah seorang temannya yang juga seorang Profesor Pertanian. Meski salah satu tugasnya adalah memberi penyuluhan tentang pertanian, namun teman bapak ini juga cukup sukses dalam usaha ikan gurami. Bahkan setiap minggu, sang profesor ini biasa mengirim 4 kontainer ikan gurami ke luar pulau (Kalimantan). Jika ditanya, kenapa bisa begitu? Jawabannya adalah karena "tahu pasar".

Kunci dagang itu ada pada kemampuan melihat peluang pasar. Siapa yang jeli melihat peluang pasar, maka usahanya akan berkembang. Yang tidak tahu atau tidak mau tahu dengan hal ini, yang akan terjadi pada usahanya adalah hidup enggan, mati tak mau alias jalan di tempat atau tidak berkembang.

Bapak ini kemudian juga menambahkan dalam hal tujuan dagang, untuk saat ini, peluang yang paling bagus adalah daerah Kalimantan dan Irian. Namun bagi saya, setiap jenis usaha memiliki peluang pasarnya sendiri-sendiri. Bagi yang memang memiliki jiwa dagang, mereka bisa melihat peluang ini dengan cepat. Yang amatir dan belum terlatih macam saya tentu butuh waktu yang lebih lama lagi.

Tapi intinya, melihat peluang pasar itu, harus.

Pedagang vs pedagang, jangan pedagang vs pembeli


Selain itu, saran lain yang diberikan bapak ini adalah dalam berdagang ketika kita langsung bertemu pembeli skalanya ternyata lebih kecil daripada jika kita bertransaksi dengan sesama pedagang.

Ini masih cerita teman bapak tadi. Beliau, dulunya hanya berjualan *** (menyebut nama barang, tapi saya kurang dengar) seharga 15 ribu, dijajakan dari pasar ke pasar. Nah, beliau ini kemudian meneliti juga harga untuk barang yang sama di pasar tersebut, dan di pasar-pasar yang lain. Ternyata banyak pedagang yang menjualnya 17 ribu.

Maka daripada beliau menjual kepada pembeli seharga 17 ribu, lebih baik jika bisa menjual ke pedagang lain seharga 16 ribu. Keuntungan cuma seribu, namun perputarannya cepat. Dan jangan lupa, seribu per barang dikalikan berapa barang dikalikan juga berapa pedagang yang membeli dari beliau. Inilah yang disebut dengan mendapatkan skala yang lebih luas.

Tambahan saran dari seseorang juga:
  • Imbangi bahasa pembeli. Jika pembeli menggunakan bahasa lokal, maka sebaiknya kita juga menjawab dengan bahasa lokal. Begitu juga jika pembeli memakai bahasa Indonesia, kita juga harus memakai bahasa Indonesia.
  • Panggil dengan sebutan yang lebih muda. Jika pembeli kita seorang perempuan yang belum terlalu tua, hindari memanggil dengan sebutan "Bu". Lebih baik kita memanggilnya dengan "Mbak", karena -katanya- perempuan itu lebih senang jika dianggap lebih muda dari usia yang sebenarnya. #Bener gak ya?

***

Kembali ke cerita saya tadi, ketika saya beranjak mengakhiri pertemuan kami, saya sempat melihat bapak ini mengeluarkan uang dari sakunya untuk membayar mie ayam. Setumpuk uang seratus ribuan yang diikat per satu juta. Jika saya tidak salah lihat, mungkin uang yang ada di tangan bapak tersebut sekitar 6 atau 7 juta.

#Beuh!
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, January 21, 2014

Monday, January 20, 2014

ujungkelingking - Darimana Datangnya Saran?


Sebuah saran yang baik bisa datang dari siapa saja dan di mana saja. Seringkali tak direncanakan, sehingga dia menjadi sebuah cerita yang menarik.

Cerita berikut ini adalah cerita bagaimana akhirnya saya dapat memperoleh saran yang sangat bagus dalam berdagang dari seseorang yang sama sekali tidak saya kenal.

***

Selepas shalat Dhuhur di sebuah masjid, tiba-tiba saja saya kepingin makan mie ayam. Ah, kalau di depan masjid ini ada, beli di situ saja, pikir saya. Sayangnya, selain penjual baju dan sepatu, tidak tampak ada penjual mie ayam di situ. Akhirnya saya pun memutuskan untuk langsung pulang saja.

Setelah memacu motor beberapa lama, tiba-tiba mendadak mesin motor saya mati. Waduh, ada apa pula ini? Saya langsung bergerak ke pinggir dan berhenti untuk memeriksanya. Belakangan saya baru ingat, ketika parkir untuk shalat di masjid tadi saya menutup kran bensin biar tidak menetes (maklum motor tua). Dan saya lupa untuk membukanya kembali ketika menghidupkan motor.

Yang menarik, saya kemudian menyadari bahwa tempat saya menghentikan motor tadi tepat di sebelah penjual mie ayam. H-hee... Jadilah akhirnya saya memesan satu porsi mie ayam untuk dimakan di tempat.

Namun sebenarnya bukan itu hal menariknya


Ketika saya sudah menyelesaikan makan, sebuah mobil berhenti di tempat penjual mie ayam itu. Lalu turun seorang bapak yang masih sangat gagah (usianya saya taksir masih kurang dari 50 tahun) dan seorang perempuan yang masih cukup muda. Belakangan saya baru tahu kalau perempuan ini adalah istri ketiganya, wow!. Rupanya mereka ingin makan mie ayam di tempat itu juga. 

Sambil basa-basi terjadilah percakapan antara saya dan bapak tersebut. Bapak tersebut sudah memiliki 2 orang putra. Yang pertama sudah lulus sarjana informasi, sedang yang kedua sekarang bekerja di sebuah bank. Ketika saya tanya kerja di mana, bapak tersebut hanya mengatakan "di pelabuhan". Saat saya tebak apakah bekerja di EMKL, bapak tersebut menggeleng. Sambil tersenyum bapak tersebut hanya menjawab, ada-lah, mas. Namun, dari percakapan kami selanjutnya saya yakin orang yang sedang saya ajak bicara ini punya posisi penting di pelabuhan, karena bapak ini tahu semua "pergerakan" kapal-kapal ekspedisi yang ke luar pulau.

"Baru pulang kerja, mas?" Tanya bapak tersebut kepada saya. Saya mengiyakan.

"Lho, hari minggu begini masih kerja?" Tanyanya lagi.

Saya pun akhirnya harus menjelaskan bahwa saya sedang mencoba berdagang sepatu. Sepatu anak-anak dan ber-merk, tambah saya.

Namun alih-alih mendapat apresiasi, saya justru "ditembak" dengan pertanyaan yang cukup menohok,

"Jual (sepatu) itu menjanjikan tah?"

Saya melongo.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, January 20, 2014

Friday, January 17, 2014

ujungkelingking - Jangan Menjadi Kelompok Kelima


Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa salaam pernah bersabda tentang 5 kelompok manusia yang kita diharapkan menjadi salah satu dari kelompok pertama, kedua, ketiga atau keempat. Namun jangan sampai kita menjadi bagian dari kelompok yang kelima.

Sabda Nabi, "Jadilah kalian [1] 'aaliman; [2] atau muta'alliman; [3] atau mustami'an; [4] atau muhibban; [5] dan jangan kalian menjadi (kelompok) yang kelima..." 
(Perawi tidak disebutkan)

Siapa sajakah kelompok-kelompok ini?

Kelompok pertama: 'Aaliman


'Aalimaan berarti orang yang berilmu, atau orang yang memiliki pemahaman. Ini tentu sejalan dengan ayat pertama yang diturunkan kepada umat muslimin yang merefleksikan bahwa seorang muslim haruslah menjadi seseorang yang terpelajar dan luas pemahamannya. Iqra'!

Namun, jika hal tersebut tidak dapat tercapai oleh kita, maka oleh Nabi kita diharapkan termasuk ke dalam kelompok kedua,

Kelompok kedua: Muta'alliman


Kelompok ini berarti mereka yang (mau) belajar. Mereka yang bersungguh-sungguh dalam usahanya menuntut ilmu. Jadi, jika kita tidak bisa menjadi orang yang berilmu, setidaknya kita menjadi orang yang serius dalam menuntut ilmu.

Kelompok ketiga: Mustami'an


Kalaupun kita gagal menjadi kelompok kedua, Nabi masih mengharapkan kita menjadi kelompok yang ketiga. Yaitu mereka yang mau mendengarkan nasehat kebaikan. Jangan pernah menolak nasehat dalam kebaikan, dari manapun datangnya, dari siapapun yang mengatakan.  Dengan itu mudah-mudahan kita semua tidak mendapat stempel sombong dari Allah subhanahu wa ta'ala.

Kelompok keempat: Muhibban


Bila ternyata kita tidak bisa menjadi salah satu dari kelompok di atas, Nabi masih menyediakan satu tempat lagi. Muhibban adalah kelompok orang yang benar-benar mencintai kebaikan. Bila ada nasehat yang ditujukan kepada dirinya, meski belum bisa melaksanakannya, dia merasa senang dengan itu. Bila dia mendengar ada pengajian-pengajian atau majelis ilmu, meski mungkin tidak bisa datang, dia sudah merasa bersyukur. Bila ada orang yang melakukan kebaikan, meski dia belum mampu menirunya, dia senang melihatnya.

Jadi, jika ternyata kita tidak termasuk ke dalam ketiga kelompok yang disebut di awal, seenggak-enggaknya kita tidak menjadi orang yang antipati terhadap hal-hal yang baik.

Kelompok kelima


Kelompok terakhir inilah yang disebut Nabi sebagai kelompok yang celaka. Mereka adalah orang-orang yang tidak memilki pemahaman, namun tidak suka mencari ilmu, tidak suka pula mendengarkan nasehat, dan tidak senang dengan sesuatu yang baik. Jika bukan celaka namanya, apalagi?

Maka, sudah sepatutnya kita menata dan memperbaiki diri agar kita tidak termasuk ke dalam kelompok yang disebut terakhir ini. Na'udzubillahi min dzalik.


*diambil dari khutbah Jum'at, siang ini.  
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, January 17, 2014

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!