Monday, December 5, 2011

ujungkelingking - Sejak dahulu kala, nenek moyang bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa pelaut yang handal. Keberanian mereka menaklukkan lautan sungguh tak dapat diragukan. Bahkan sebuah lagu anak-anak ciptaan Ibu Sud tahun 1940 menggambarkan tentang hal itu. Tapi darimana keberanian itu mereka dapatkan, padahal peta lautan saja belum banyak dibuat?

Jauh sebelum Al-Idrisi atau pun Copernicus mengemukankan pendapat mereka, bangsa Barat memiliki teori bahwa bumi itu berbentuk datar seperti meja. Sehingga bila kita berlayar terus-menerus ke suatu arah, maka pada suatu saat kita akan sampai di tepi “meja” tersebut lalu jatuh entah kemana. Karena memegang prinsip inilah kemudian bangsa Barat tidak berani melakukan pelayaran jauh.

Sedangkan nenek moyang kita -yang notabene tidak (pernah) kenal dengan teori tersebut- tentu saja tidak memiliki kekhawatiran apa pun, sehingga mereka berani melakukan pelayaran jauh.

Hmmm, terkadang ketidak-tahuan (bisa jadi) memang sebuah keberkahan.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, December 05, 2011

Wednesday, November 30, 2011

ujungkelingking - Sebuah petuah spiritual mengajarkan bahwa sebelum menjadi pembicara yang baik, jadilah pendengar yang baik. Dalam konteks tulis-menulis, barangkali ungkapan tersebut bisa sedikit “digeser” menjadi; sebelum menjadi penulis yang baik, jadilah pembaca yang baik. Karena tentu antara korelasi antara pendengar dengan pembaca yang baik.

Pendengar yang baik, bukanlah pendengar yang selalu meng-iyakan apa kata pembicara. Pendengar yang baik mampu menyaring inti dari apa yang disampaikan pembicara. Ia kemudian mengolahnya sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya. Jika buntu, pendengar yang baik akan mengajukan pertanyaan hingga tak menimbulkan salah tafsir. Jika dirasanya berbeda (baca: menyimpang) dari pemahaman dirinya, maka pendengar yang baik akan mengajak diskusi, bukan malah protes berlebihan.

Hal yang sama akan terjadi pada seorang pembaca yang baik. Pembaca yang baik bukan cuma bisa memberi vote aktual, menarik, dan sebagainya, tapi lebih kepada kemampuannya menangkap maksud tulisan, mengerti apa yang dimau-i penulis. Tapi tidak berhenti disitu, pembaca yang baik mampu memberi kritik inspiratif dengan bahasa yang sopan. Bukan meledak-ledak, apalagi meledek-ledek.

Barangkali terkait dengan hal itu Tuhan kemudian menganugerahi manusia dua buah telinga dan satu mulut, yang (mungkin) filosofinya adalah agar seorang manusia lebih banyak mendengar ketimbang bicara. Adalah suatu hal yang naif bila kita cuma pandai bicara tanpa tahu bagaimana mendengar.

Sementara dalam kasus penulis-pembaca, Tuhan menciptakan manusia dengan dua buah mata –untuk membaca- dan (satu) tangan untuk menulis, yang (mungkin) filosofinya tak berbeda dengan kasus pembicara-pendengar.

Jadi, jika anda merasa menjadi seorang penulis yang baik, sudahkah anda menjadi pembaca yang baik?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, November 30, 2011
ujungkelingking - Terjemahan bebasnya barangkali, jangan menilai apapun hanya dari yang tampak di luar saja. Sebab kita bisa tertipu. Dan mungkin akan menuai malu.

Sore kemarin saya mengajak istri dan putra saya berjalan-jalan di sekitar komplek rumah dengan mengendarai motor butut kesayangan dan satu-satunya punya saya.

Sedang enak-enaknya berkendara, sebuah sedan yang berjalan di belakang kami tiba-tiba saja menekan klaksonnya. Kontan istri saya terkejut. Apalagi saya.

“Ini orang gak tahu diri!” pikir saya, “Mentang-mentang bermobil, trus seenaknya saja menggunakan jalan.”

Saya pun berhenti dan bersiap-siap memaki-maki orang tersebut dengan sumpah-serapah yang sudah tersusun rapi di otak saya.

Saat saya berhenti itulah, si sopir sedan melongok ke jendela sambil bilang,

“Mas, sandal anaknya terjatuh.”

Saya melongo. Sandal anak saya memang terjatuh.

Oalaaaaahhh….
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, November 30, 2011

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!