Saturday, November 26, 2011

ujungkelingking - Pagi ini, saya berangkat kerja pada jam yang sama seperti hari-hari biasanya. Tapi di tengah jalan saya terjebak macet tidak seperti biasanya. Saya tidak bisa melihat di depan ada apa pastinya, tapi kalau tidak salah mungkin ada acara karnaval anak-anak TK daerah situ.

Tetap disitu, saya akan tetap terjebak macet. Akhirnya saya memilih jalan yang lain, memutar, dengan harapan saya bisa lolos dari kemacetan tersebut. Tapi dasar apes, di rute kedua itu saya malah terjebak kemacetan yang lebih parah dari jalan yang pertama. Alhasil, saya terlambat tiba di kantor.

Apa pilihan saya salah?

Bila langsung melihat hasilnya, tentu anda akan mengatakan saya tolol. Lha wong di rute kedua lebih macet kenapa milih jalan tersebut? Lebih baik kan tetap di rute pertama?

Hehe, sayangnya dalam hidup kita tak pernah bisa langsung tahu hasilnya sebelum dilakukan. Diprediksi mungkin bisa, tapi tak menjamin keakuratannya. Dalam kasus saya di atas, saya tidak menyesal dengan pilihan saya untuk melalui rute kedua. Karena pilihan saya yang salah berdasar pemikiran saya yang benar. Saya berpikir seperti ini;

  • Bila saya tetap berada di jalan pertama, sudah pasti saya akan terjebak macet. Mungkin 10 menit, atau bisa jadi lebih.
  • Bila saya mencoba alternatif lain, yaitu rute kedua, saya mungkin akan terjebak lebih parah lagi, tapi tentu ada kemungkinan sebaliknya. Mungkin saya bisa lolos dari kemacetan.
Ini yang saya sebut dengan "berpikir benar". Dan bagi saya, lebih baik memilih salah karena berpikir benar daripada pilihan benar karena berpikir salah
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, November 26, 2011

Thursday, November 24, 2011

ujungkelingking - Seorang ulama besar di jaman setelah jaman Rasulullah -maaf, saya lupa nama beliau- pernah suatu hari mendapat kabar bahwa pasar tempat beliau berdagang terbakar. Semua toko dan kios yang ada disana ludes dilalap si jago merah. Namun anehnya, hanya toko beliau yang selamat dari amukan api. Oleh seseorang hal ini disampaikan kepada beliau,

“Ya Syeikh, pasar anu telah terbakar. Namun untungnya toko anda sama sekali tidak terbakar!” Begitu kira-kira pesan yang disampaikan orang tersebut.

Mendengar itu sontak ulama ini mengucap, “Alhamdulillah…”

Namun setelah itu beliau langsung beristighfar karena disadarinya kekeliruan ucapannya.

***

Mendapat kabar gembira, sudah sewajarnya kita bersyukur (baca: mengucap hamdalah), tapi tentu akan menjadi salah tempat jika kegembiraan kita itu berdiri di atas kesusahan orang lain. Kesusahan dan kesulitan mungkin adalah sebuah ujian, tapi kegembiraan dan kekayaan belum tentu menjadi imbalan atas kebaikan yang pernah kita lakukan. Bisa jadi hal itu merupakan sebuah ujian juga.

Jadi, kegembiraan yang kita terima jangan menjadikan kita lupa diri dan menjadi manusia congkak. Maka penting untuk belajar dari do’a Nabi Sulaiman, “Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku…”

Note:

buat Mas Ibas, selamat atas pernikahan Mas dengan Mbak Aliya, mudah-mudahan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah,
buat Bpk. Presiden Indonesia, mudah-mudahan gempita acara tidak mampu mengalihkan perhatian bapak kepada masalah krusial bangsa ini, dan
buat rekan-rekan Kompasianers, selamat pagi.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, November 24, 2011

Tuesday, November 22, 2011

ujungkelingking - Melihat laga final Indonesia kontra Malaysia tadi malam, terus terang emosi saya naik-turun, campur aduk nggak karuan. Bagaimana tidak, ketika pertandingan belum dimulai, sebagian dari kita mungkin cemas, akankah kita bisa menaklukkan tim lawan? Dan kita sontak girang ketika pada menit-menit awal tim Garuda Muda sudah berhasil menjebol gawang Harimau Malaya. Tapi kemudian kita terpaksa khawatir ketika timnas Malaysia bisa membalas gol, sehingga kedudukan menjadi seimbang. Skor yang imbang –bahkan- hingga babak perpanjangan waktu berakhir, memaksa kita “gambling” melalui adu pinalti. Dan pada akhirnya kita terpaksa mengakui keunggulan timnas lawan dengan skor 5-4. 

What’s the point?

Bahwa timnas Indonesia masih kalah skill dan mental dari tim lawan? Mungkin.

Bahwa timnas Indonesia terlalu berambisi untuk merebut medali, sehingga memecahkan konsentrasi? Bisa jadi.

Bahwa timnas Indonesia terlalu terbebani dengan harapan-harapan publik bola di seantero nusantara? Bisa juga.

Tapi menurut saya yang pasti adalah karena kita melihat laga tadi malam adalah “nyawa” dari keseluruhan ajang ini. Maka ketika kita kalah tadi malam, itu berarti kita kalah dalam semua hal. Padahal penting untuk dicetak tebal, bahwa ajang Sea Games bukanlah ajang pertandingan bola semata. Banyak cabang-cabang lain yang dilombakan pada even dwi-tahunan ini. Kenapa kita harus terkonsentrasi “hanya” pada bola?

Kita semua tahu bahwa Indonesia menjadi juara umum dengan perolehan medali emas terbanyak. Kita patut bersyukur atas hal itu. Kita juga wajib berterima kasih kepada para atlet yang turut berjibaku mempersembahkan emas untuk Indonesia. Kita berterima kasih bukan karena “emas”nya, tapi karena peluh-keringat dan kerja-keras mereka. Sama seperti kepada timnas Garuda Muda, atau atlet-atlet lain yang gagal merebut medali, tak pantas kita mencerca mereka. Mereka sudah berjuang, itu sudah lebih dari cukup. Tuhan saja menilai kita karena usaha yang kita lakukan dan bukan hasil yang kita berikan.

Kita hanya kalah, bukan menyerah!
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, November 22, 2011

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!