Monday, December 23, 2013

ujungkelingking - Tujuan hidup seorang muslim adalah untuk beribadah kepada Allah, Rabb sekalian alam. Nah, dalam perjalanannya ternyata kita juga membutuhkan "modal" agar dapat bertahan hidup untuk menunjang ibadah kita tersebut. Modal inilah yang kemudian kita namakan rejeki. Kita -dalam konteksnya sebagai manusia- kemudian dipersilahkan mencari sebanyak-banyaknya rejeki yang Dia kucurkan.

Namun, dalam posisi sebagai seorang muslim, rejeki yang kita cari ini haruslah memenuhi beberapa kriteria ideal. Kriteria tersebut adalah halal, baik, banyak, dan berkah (halaalan-thayyiban-waasi'an-mubaarakah).

Kriteria Satu: Halal

Kriteria ini merupakan harga mati bagi seorang muslim. Rejeki yang dicarinya seharusnya terpenuhi unsur ini. Jangan sampai rejeki yang kita dapatkan -yang kemudian dimakan oleh anak-istri kita- tercampur dengan hal-hal yang haram karena pasti akan ada dampaknya terhadap kita. Dampak-dampak itu antara lain: tidak diterimanya amalan kita, menjadi sebab tidak terkabulnya do'a, merusak keimanan, mengeraskan hati dan tentu saja menjerumuskan kita kepada nerakanya Allah subhanahu wa ta'ala (soal dalilnya, googling aja ya? H-hee).

Kriteria Dua: Baik

"Baik" dalam pengertian saya adalah menyehatkan. Satu contoh soal makanan. Sekarang ini banyak sekali jenis makanan atau jajanan, yang secara "status" memang termasuk makanan yang boleh dikonsumsi (halal). Namun karena banyaknya kandungan kimia di dalamnya menyebabkan makanan tersebut justru mengundang penyakit. Di sini seorang muslim harus teliti. Rejeki yang halal saja tidak cukup, namun juga harus baik.

Kriteria Tiga: Banyak

Manusiawi memang. Allah sendiri sudah memberikan keleluasaan kepada kita untuk meminta kepada-Nya. Justru saya menganggap seseorang yang tidak pernah memohon sesuatu kepada Allah adalah seseorang yang sombong. Tapi, eh, bisa jadi dia orang yang sangat qana'ah juga sih, h-hii...

Kriteria Empat: Berkah

Saya pribadi mengartikan keberkahan ini sebagai kebermanfaatan. Bahwa rejeki yang kita terima lebih terasa manfaatnya. Atau istilahnya lebih 'tepat sasaran'. Barangkali kita sering mendapatkan rejeki (suatu barang, misalnya) lalu pada akhirnya barang tersebut hanya tergeletak saja di sudut rumah kita, tanpa pernah terjamah. Jadi terlihat kurang manfaatnya. Mungkin seperti itulah keberkahan itu (tapi sekali lagi, ini pendapat pribadi lho).

Lalu bagaimana agar kita bisa mendapatkan keempat kriteria di atas pada rejeki yang kita terima?

Ulama ahli tasawwuf, Abu Lais Samarqandi, merumuskan ada 2 hal yang harus dilakukan agar rejeki model ini bisa kita dapatkan:

  • Satu, jangan pernah menunda-nunda kewajiban kepada Allah

Klise, ya? Tapi seperti itulah. Ketika kita banyak memohon kepada Allah, maka sudah sepantasnyalah kita juga mengikuti aturan-aturan-Nya. Tapi tidak hanya itu, mendahulukan kepentingan-Nya di atas kepentingan kita sendiri menjadi sebuah keniscayaan.

Allah itu Maha Pemurah. Ketika Dia tahu (dan Dia memang Maha Tahu) bahwa kita senantiasa mendahulukan perintah-Nya dibandingkan dengan kebutuhan kita sendiri, maka berlakulah apa yang difirmankan-Nya, "Berdoalah, maka pasti akan Aku kabulkan!"

  • Dua, selalu ingat bahwa rejeki yang kita dapatkan tidak sepenuhnya milik kita

Senantiasa membuka mata dan telingan terhadap kondisi di sekeliling kita. Memperbanyak sedekah. Bukankah janji Allah bahwa balasan dari suatu sedekah itu akan dikalikan 10, 70, atau 700 kali?

Namun ada satu catatan di sini, bahwa di dalam kita bersedekah hendaknya cerdas dalam menentukan "target". Tidak membabi-buta dalam memberikan sedekah, sebab bisa jadi sedekah kita yang salah alamat itu merupakan proyek dari orang-orang non-Muslim yang bertujuan untuk menyerang kaum muslimin di bagian lain di dunia ini.

Kalau rekan-rekan pernah membaca tulisan saya yang berjudul Ini Tentang Pengemis yang (Tak) Layak Diberi, maka di sini rekan-rekan bisa mengambil jalan tengahnya. Ketika kita mendapati pada target sedekah kita ada tanda-tanda ketidaklayakan untuk diberi sedekah, maka kita bisa memilih untuk mengalihkan sedekah tersebut ke target yang lain. Namun bila tanda-tanda itu tidak nampak jelas, saya kira tidak perlu kita menduga-duga demi menghindari sikap su'udhan. Nah, "tanda-tanda" itu saya serahkan kepada masing-masing individu saja untuk menentukan kriteria-kriterianya.

(+) Berarti sampeyan ini plin-plan, mas.

(-) Plin-plan bagaimana?

(+) Katanya kalau sedekah ke pengemis gak usah pilih-pilih. Langsung kasih aja. Tapi sekarang kok bilangnya harus cerdas kalau bersedekah?

(-) Lho, dalam tulisan saya terdahulu kan mbahasnya tentang kalau kita bersedekah kepada pengemis. Bayangkan saja kakek/nenek yang sudah renta berdiri di pinggir jalan dengan pakaian lusuh. Nah, kalau tulisan yang ini membahas target secara umum. Kita bersedekah tidak hanya kepada pengemis saja kan? Bisa jadi ke kotak infaq masjid, panti asuhan, dsb. Atau ke orang-orang yang pakai mobil trus sambil baca shalawat, atau ada yang datang door to door sambil mengajukan map. Lahhh, yang model begini inilah yang menurut saya (menurut Khatib, ding!) kita harus cerdas peruntukannya benar atau tidak.

(+) Ooo, begitu...

(-) Ho'oh, begitu aja.

Mudah-mudahan kita semua dijauhkan dari segala macam sifat kikir ini, dan sifat-sifat buruk lainnya.
Dan mudah-mudahan semua sedekah kita bisa bermanfaat bagi si penerima dan sekaligus menjadi amalan jaariyah bagi kita sendiri.
Dan semoga limpahan rejeki yang halal, baik, banyak dan berkah senantiasa mengucur kepada kita dan keluarga kita semua.

Aamiin, ya Rabba 'l-'aalamiin.


*Dari sebuah khutbah Jum'at, 20 Desember 2013
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, December 23, 2013

Thursday, December 19, 2013

ujungkelingking - Ada sebuah ungkapan bahwa sombong itu pakaiannya Tuhan. Maka seorang manusia -apapun statusnya- tidaklah pantas memakai pakaian Tuhan ini. Dan saya kira, agama apapun dan kultur budaya manapun pasti menolak sifat sombong ini.

Rekan-rekan mungkin masih ingat ketika saya menulis tentang saya yang terjebak hujan di toko buku, lalu saya pergi mencari-cari buku yang tidak bersegel. Nah, saat saya sedang berkeliling itulah, saya mendapati sebuah buku berjudul "Taurat" (penulisnya lupa).

Di dalam buku tersebut, sang penulis mencoba memecahkan misteri (salah satunya) tentang banjir maha-dashyat yang pernah terjadi di zaman Nabi Nuh alaihissalaam berdasarkan literatur-literatur dari Kitab Taurat (Torah). Menurut penulis, Kitab Taurat yang pernah ditemukan, masih memiliki nilai ke-otentik-an yang tinggi. Salah satu bahasan dalam buku tersebut yang menarik minat saya adalah pertanyaan kemana air itu menghilang ketika surut? Seperti kita tahu bahwa banjir pada kejadian itu menggenang hingga menenggelamkan gunung.

Oleh sang penulis, pembaca disodori foto-foto tentang bumi yang dari itu kita akan tahu bagaimana mudahnya Dia, Yang Maha Besar melenyapkan atau mengadakan sesuatu yang menurut kita mustahil. Dari foto-foto ini pula kita akan menyadari betapa mungilnya diri kita dan dari situ mudah-mudahan kita bisa mengikis sifat sombong dari hati kita.

Foto-foto yang sama, saya unduh dari google.

Bumi, kelihatan lebih besar dibandingkan Mars, Mercurius dan Pluto
Bumi, menjadi tampak kecil bila dibandingkan Jupiter dan Saturnus
Bumi menjadi seperti debu dibandingkan dengan Matahari

Lanjut...

Matahari malah jauh lebih kecil dibanding Arcturus
Arcturus malah se-upil-nya Antares dan Betelgeuse
Antares-pun masih kalah besar dibandingkan VY Canis Majoris

Lalu pertanyaannya sekarang, di mana kita (bumi)?



Sumber gambar:
prisiliamondigir.blogspot.com | wwwmutiarabangsa1.blogspot.com | majalah-blog.blogspot.com
b371ny03.blogspot.com | thoha.wordpress.com | lintasfacebook.blogspot.com
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, December 19, 2013

Wednesday, December 18, 2013

ujungkelingking - Dari seorang teman di lingkaran G+...

Ibn Al-Jauizy dalam kitabnya Al-Munthadham meriwayatkan dari Imam Ibrahim An-Nakha'i rahimahullah dan muridnya, Sulaiman bin Mihran:

Suatu hari keduanya sedang melewati salah satu jalan di kota Kuffah, Irak menuju ke Masjid Jami'. Tatkala mereka berdua sedang berjalan, Imam Ibrahim memanggil muridnya dan berkata, "Wahai Sulaiman! Aku akan mengambil jalan ini dan engkau ambil jalan yang lainnya. Sesungguhnya aku khawatir kalau kita melewati orang-orang bodoh, mereka akan mengatakan orang juling menuntun orang yang lemah penglihatannya, sehingga mereka jatuh pada perbuatan dosa gara-gara menghibahi kita."

Note: Imam Ibrahim adalah seorang yang -maaf- matanya juling. Sedangkan muridnya juga lemah penglihatannya.

Maka muridnya menimpali, "Wahai Imam, biarkan saja mereka meng-ghibahi kita, toh mereka akan mendapat dosa dan sebaliknya kita akan mendapat pahala!"

Imam Ibrahim An-Nakha’i langsung menjawab, "Subhanallah! Lebih baik kita selamat dan mereka juga selamat daripada mereka mendapat dosa dan kita mendapat pahala."

***

Apa yang telah diucapkan oleh sang murid sepertinya memang merefleksikan cara berpikir kita.

Kita, ketika merasa benar dengan apa yang kita lakukan kerap menjadi tak peduli dengan apa yang dilakukan oleh orang lain. Kalau itu salah, toh kesalahan itu biar mereka yang menanggungnya. Sebuah sikap mementingkan diri sendiri yang tak pernah diajarkan oleh agama yang sempurna ini. Seolah-olah kita senang jika kita masuk surga dan mereka masuk neraka. Padahal Adam saja tidak betah di surga gara-gara tidak memiliki teman.

Kisah di atas telah memberikan pengajaran kepada kita bahwa sikap 'pembiaran' terhadap suatu kesalahan adalah tidak dibenarkan. Bukankah lebih baik selamat bersama-sama?

Bukankah ketika amar ma'ruf (mengajak kepada kebaikan) itu bernilai ibadah, maka nahi mungkar (mencegah orang lain berbuat dosa) juga akan dihitung sebagai pahala?

Salam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, December 18, 2013

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!