Wednesday, February 1, 2012

ujungkelingking - Terkait dengan kejadian "Xenia Maut" (metro.vivanews.com) yang menewaskan 9 orang pejalan kaki di Tugu Tani, Jakarta Pusat, dalam sebuah acara diskusi yang ditayangkan di sebuah televisi swasta, Sudjiwo Tedjo, salah seorang pembicara dalam diskusi tersebut sempat mengatakan begini; "Kalau kita memberantas narkoba karena kebencian, maka kalau bukan anaknya pasti cucunya kena (narkoba, pen.). Karena karma itu ada.".

Tentu saja pendapat ini langsung disanggah oleh Ust. Guntur Bumi yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut. Dalam Islam, kita tidak mengenal karma. Allah subhanahu wa ta'ala menfirmankan bahwa Dia tidak akan mengubah nasib keadaan seseorang, jika orang tersebut tidak mau (berusaha) mengubah keadaan dirinya. Dalam hal ini, bagaimana mungkin jika kita melaksanakan nahi munkar -memberantas kejahatan lalu kemudian anak atau cucu kita bakal terkena kejahatan tersebut?

Dan jika karma itu memang ada, lalu dimana letak rahman rahiimnya Allah?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, February 01, 2012

Tuesday, January 31, 2012

ujungkelingking - Saat kita menolak ajakan seseorang untuk melakukan sesuatu atau pergi ke suatu tempat, biasanya kita memberikan alasan untuk itu. Sebenarnya tak ada masalah dengan hal itu selama hal itu memang benar-benar terjadi dan bukan sebagai "tameng" untuk menghindari ajakan tersebut. Tapi bagaimana bila alasan tersebut hanyalah alasan mengada-ada untuk menolak suatu ajakan? Mungkin, kita tidak enjoy bila jalan dengan orang itu, atau mungkin kita malas keluar karena malas mengeluarkan motor yang sudah dicuci, atau alasan-alasan lain yang tidak mungkin kita menyampaikannya secara terang-terangan. Akhirnya kita pun menciptakan alasan-alasan yang tidak sebenarnya agar kita "selamat" dari ajakan tersebut.

Bila hal itu yang terjadi pada kita, saya sarankan untuk menolak tanpa memberikan alasan apapun!

Kenapa?

Karena alasan tersebut kita gunakan sebagai tembok, tameng, perisai (atau apalah penyebutannya) dari orang yang mengajak kita, maka logika yang muncul adalah bila alasan tersebut bisa dipatahkan, atau diatasi oleh orang tersebut berarti mau-tak mau kita harus ikut dengannya.

Contoh 1,

"Ikut ke kampus, yuk!" (Ajakan)
"Gak ah, lagi gak punya uang." (Alasan)
"Gak apa-apa, nanti aku yang bayarin." (Alasan terpatahkan)

Contoh 2,

"Ikut jalan-jalan ke mall, yuk!" (Ajakan)
"Males ah cin, panas gini." (Alasan)
"Lha di mall kan dingin?" (Alasan terpatahkan)
"Berangkatnya kan panas, cin..." (Alasan, lagi)
"Pake mobil gue" (Alasan terpatahkan, lagi)

Resiko bila alasan sudah terpatahkan adalah: kita harus mau untuk diajak. (Kecuali bila kita masih punya segudang alasan-alasan lain).

Kesimpulan: Untuk menolak, jangan pakai alasan!

Salam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, January 31, 2012
Ilustrasi: Google
ujungkelingking - Bedanya (terlihat) tipis.

Tapi coba perhatikan ini, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia v1.1, motivasi diartikan sebagai n 1 dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu; 2 Psi usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya. Sedang provokasi disebut sebagai n perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; penghasutan; pancingan.

Definisi yang lebih sederhana saya dapatkan dari Kamus Ilmiah Populer, yang disusun oleh Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry. Disana dikatakan bahwa motivasi adalah dorongan (dengan sokongan moril); alasan; dorongan;tujuan tindakan. Sementara provokasi adalah istilah untuk menyebutkan tindakan propokasi; tantangan; usikan; pencingan; gertakan serius; penghasutan.

Kedua istilah tersebut digunakan untuk menyebut sesuatu tindakan yang sama sekali berbeda. Tapi tidak dalam kehidupan nyata. Dalam kehidupan sehari-hari penggunaan kedua istilah tersebut seringkali masih bias. Kita sulit mengatakan bahwa apakah seseorang itu sebagai motivator saat dia tengah berkoar-koar di tengah-tengah jalan raya. Kita juga gamang menyebut bahwa seseorang itu menjadi provokator hanya karena dia berapi-api di belakang mimbar khutbah. Atau podium. Dalam kehidupan riil, keduanya ternyata berbeda tipis.

Maka kemudian hanya ada satu tolok-ukur untuk "memvonis" seseorang itu sebagai motivator atau provokator, meskipun dalam beberapa kasus, hal ini berlaku subjektif. Yaitu, dari impact  yang ditimbulkannya!

Secara umum, motivasi akan berdampak baik, membangun dan memberi harapan baru. Berbeda dengan provokasi akan menciptakan sesuatu yang buruk, kehancuran dan kerusakan.

Mana yang lebih baik? Motivator, tentu. Maka, jadilah kita motivator-motivator yang baik, setidaknya untuk diri sendiri. Jika tidak bisa, setidaknya kita menjadi orang-orang yang bisa membedakan mana yang motivasi dan mana yang provokasi. Semoga kita selamat dengan itu.

Salam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, January 31, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!