Wednesday, January 18, 2012

Sumber: Dok. pribadi
ujungkelingking - Sabtu sore kemarin, istri saya mengeluhkan tentang tingginya suhu tubuh Zaki, putra kami. Istri saya kemudian memberikan obat penurun panas yang memang kami siapkan untuk jaga-jaga. Tapi hingga menginjak malam, suhu tubuh Zaki belum turun juga. Akhirnya saya minta istri saya untuk menyiapkan air panas buat mengkompresnya.

Semalaman kami mengkompres, tapi tidak menunjukkan gejala membaik. Sampai Minggu dini hari, panasnya justru semakin meninggi. Zaki kembali mengalami kejang!

Setelah melakukan pertolongan pertama sebisa mungkin, Zaki sudah "lepas" dari kejangnya, kami saat itu juga membawanya ke klinik dekat rumah. Pertimbangannya, bila suhunya bisa segera turun tentu tak perlu sampai rawat-inap segala.

Jam 02.30 Zaki masuk klinik. Suhu tubuh 39 derajat.

Bidan segera mengambil inisiatif memberi obat yang dimasukkan lewat dubur. Tapi panasnya tidak serta-merta hilang. Bahkan, ketika menunggu bidan meracik obat, Zaki kembali kejang. Bidan kemudian memasangkan oksigen lewat hidung. Dan saat akan memasangkan jarum infus, kami kembali mengalami kesulitan. Pada kasus seperti yang dialami Zaki pembuluh darah akan mengalami penyempitan, sehingga jarum suntik akan sulit untuk masuk. Pada percobaan keempat akhirnya jarum infus bisa masuk, itupun melalui pembuluh darah yang ada di kaki.

Ketika pagi hari dokternya tiba, istri saya bertanya apakah nanti siang Zaki sudah diperbolehkan pulang. Dokter itu memberikan saran untuk rawat inap, setidaknya satu malam, sebab kondisi suhu tubuh akibat demam kejang biasanya masih belum stabil. Dan benar saja, Minggu malamnya suhu tubuh Zaki meninggi kembali! Beruntung masih ada infus...

Ngomong-ngomong soal ngamar, di klinik tersebut meski kamarnya cuma sedikit, tapi cukup eksklusif juga. Satu pasien satu kamar. Sempat saya menimbang-nimbang, kalau di puskesmas yang satu ruangan bisa untuk 8 pasien dengan tarif Rp30.000,- per harinya, ini mungkin lebih mahal lagi. Perkiraan saya mungkin bisa 50-60ribuan. Belakangan saya baru tahu bila tarif per harinya seratus ribu! Dan total biaya yang sebelumnya kami perkirakan sekitar 200 ribuan, meleset. Senin siangnya kami sudah menerima rincian biaya yang harus dibayar. Total jumlahnya hampir 500 ribu! Padahal, uang yang ada di dompet saya cuma seratus ribu. Akhirnya kami pulang dengan membayar seratus ribu dulu dan berjanji akan melunasinya nanti sore dengan jaminan KTP (huft!) meski, saya sendiri ragu darimana harus mendapatkan uang untuk membayar sisa tagihan tersebut.

Sampai di rumah saya langsung berembug dengan istri saya. Dan istri saya harus rela menyerahkan antingnya - satu-satunya perhiasan istri saya selain cincin maskawin – demi melunasi tunggakan itu.

Ah, maafkan aku, istriku. Mudah-mudahan kita diberi kelebihan rejeki agar aku bisa mengganti anting itu kembali.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, January 18, 2012

Saturday, January 14, 2012

ujungkelingking - Setelah tadi salah seorang rekan Kompasianers memposting tulisannya yang berjudul Logika “Dibalik Kesulitan, Ada  Kemudahan”, saya pun akhirnya latah ikut-ikutan menulis tema yang sama.

Dalam KBBI V1.1 kesulitan (sulit) diartikan dengan sukar sekali; susah (diselesaikan, dikerjakan, dsb). Sedangkan kemudahan (mudah) terdefinisikan sebagai tidak memerlukan banyak tenaga atau pikiran dl mengerjakan; tidak sukar; tidak berat; gampang.

Tapi ada definisi yang lebih mudah. Yaitu bahwa 'kesulitan' pada hakikatnya adalah kemudahan -yang kita belum menemukan penyelesaiannya. Sementara 'kemudahan' adalah sebenarnya hal yang sulit, hanya saja kita sudah tahu ilmunya. Satu masalah yang sama bisa berarti sulit bagi sebagian orang, tapi bisa juga hal yang sepele bagi sebagian yang lain. Contoh,

Bagi anak kelas 1 Sekolah Dasar hasil perkalian dari 5 x 5 tentu merupakan suatu persoalan yang pelik. Tapi tidak bagi Anda. Bagi anak saya, penjelasan bagaimana hujan bisa turun mungkin tak terjangkau oleh nalarnya, tapi saya bisa dengan mudah menjelaskan bagaimana hujan turun.

Karena itu kunci pembeda dari dua hal ini hanyalah pada deskripsi dari kata 'ilmu'. Dengannya, hal yang sulit bisa menjadi mudah. Tanpanya, hal yang mudah menjadi begitu sulit.

Jadi ungkapan bahwa "setelah kesulitan itu ada kemudahan", saya pikir tidaklah tepat. Karena sebenarnya, "bersama kesulitan itu ada kemudahan". Tinggal dari sisi mana posisi kita melihatnya, dari posisi orang yang berilmu atau sebaliknya.

Salam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, January 14, 2012
Ilustrasi: shutterstock
ujungkelingking - Dulu, waktu anak kami masih berusia enam bulanan, istri saya sering menyanyikan untuknya lagu Bintang Kecil. Kemudian lama setelah itu, karena kesibukan yang semakin bertambah (halaah, sibuk opo?) dan karena kami lebih sibuk mengajari anak kami hal-hal yang lain, istri saya tak pernah menyanyikan Bintang Kecil lagi.

Nah, beberapa hari yang lalu, iseng-iseng istri saya coba menyanyikan kembali lagu tersebut. Hasilnya menarik, anak saya yang sudah hampir dua tahun itu masih ingat betul lirik lagunya! Saat istri saya melafalkan "Bintang kecil dilangit...", anak saya langsung menyahut "...tinggi,". Begitu juga saat istri saya menyanyikan "Amat banyak...", anak saya langsung bilang, "...angkasa," -tentu dengan bahasanya yang kurang begitu jelas. Tapi ini membuktikan satu hal bahwa daya rekam otak anak-anak sungguh luar biasanya.

Maka berhati-hatilah berbicara dan mengajarkan sesuatu kepada anak kita, karena dampaknya mungkin  bukan hari itu tapi bertahun-tahun kemudian saat dia dewasa dan pengajaran kita (telah) membentuk  karakternya. Termasuk dalam memperkenalkan lirik lagu, sekalipun itu lagu anak-anak. Coba perhatikan ini,

"Si Kancil anak nakal / Suka mencuri ketimun / Ayo lekas dikurung / Jangan diberi ampun..."

Sungguh tak elok rasanya bila semenjak kecil anak-anak dididik untuk anti-memaafkan. Suatu kesalahan besar bila anak-anak yang masih polos itu dipoles untuk lebih senang membalas daripada memaafkan.

Atau yang ini,

"Dua mata saya / Yang kiri dan kanan / Satu mulut saya / Tidak berhenti makan..."

Mungkin pengarang lagu ini beranggapan bahwa anak kecil yang masih dalam tahap pertumbuhan  membutuhkan asupan yang banyak. Tapi saya lebih melihatnya sebagai pengajaran untuk bersikap konsumtif. Masih banyak lagu anak-anak yang lebih bagus (baca: mendidik) liriknya. Kalaupun terpaksa harus  menggunakan lagu ini, akan lebih baik bila liriknya sedikit diganti seperti yang dilakukan oleh TK/Playgroup kebanyakan.

"Satu mulut saya / Bicara yang sopan..."

Anak -disadari atau tidak- adalah anugerah terbesar dalam hidup kita. Jaga dia. Dan lebih penting dari itu,  cetak dia untuk menjadi pribadi-pribadi yang bermanfaat bagi dunia.

Salam,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, January 14, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!