ujungkelingking - Setelah kemarin membaca postingan mas Wong Crewchild tentang Semeru dan postingan mbak Khusna tentang ikan Gabus, saya jadi teringat kenangan saya ketika dulu mendaki ke puncak Hargo Dumilah, Lawu.
Namun kalau sudah ngomongin soal gunung, tidak afdol rasanya kalau saya tidak menceritakan tentang ustadz saya yang satu ini. Ust. Wildan, namanya. Beliau termasuk orang yang -bisa dibilang- unik alias eksentrik. Salah satu contoh ke-eksentrik-an beliau adalah tentang hobi. Kalau para ustadz yang lain hobinya seputar main bola, bulutangkis atau bersepeda, beliau memiliki hobi yang cukup berbeda, yaitu mendaki gunung dan berburu.
Keakurasian tembakan beliau tidak perlu ditanyakan lagi. Pernah, beliau membidik sebuah cangkir kecil yang diletakkan di atas genteng pada bangunan berlantai dua. Sekali tembak, jatuhlah cangkir itu, entah kemana. Ya, mungkin bagi pemburu profesional hal-hal semacam ini sudah menjadi makanan sehari-hari. Namun bagi kami yang pegang senapan aja baru kali itu, tentu sangat mengagumkan.
Pada suatu kesempatan yang lain, beliau pernah memanggil saya selaku ketua di kelas, menyuruh saya agar mengajak anak-anak makan bersama. Rupanya beliau baru saja mendapatkan beberapa ikan gabus. Beberapa ikan gabus itupun kemudian diserahkan kepada saya untuk dimasak bersama-sama. Dan setelah saya coba mengamati ikan-ikan itu, saya baru menyadari kalau bidikan yang mengenai ikan-ikan itu berada di posisi yang persis sama. H-hee, niat banget.
Hal lain tentang Ust. Wildan ini adalah beliau tidak pernah mau difoto, baik itu dalam acara formal ataupun tidak. Saya jadi ingat tokoh utama dalam film God of Gambler, h-hiii. Bahkan saya menduga foto beliau yang ada di buku biodata para asatidz adalah satu-satunya foto beliau di dunia ini. Atau jangan-jangan di buku itu foto beliau juga tidak ada?
Pernah, salah seorang teman saya berhasil memotret beliau pada sebuah kesempatan. Mengetahui itu, beliau segera mengejar teman saya tersebut sampai dapat. Lalu mengeluarkan negatif-nya dari kamera. Hanguslah foto itu. :'(
Nah, kembali ke ide awal artikel ini. Setelah membaca artikel mas Wong Crewchild tersebut, saya kemudian mencoba mencari-cari buku diary saya yang sudah terkubur sejak zaman pra-sejarah. Di dalam buku itu saya sempat menuliskan beberapa detil tentang perjalanan kami ke puncak Lawu. Namun detil-detil yang lain sudah kabur dimakan waktu.
Alkisah pun bermula...
***
Sabtu, 29 Juni 2002. Kami berangkat dari pesantren. Kami semua satu kelas (ada sekitar 30-an personil, 4 orang teman kami memutuskan tidak ikut karena beberapa hal).
Pendakian ini memang dalam rangka perpisahan kelas. Kami naik dari kelas 5 (setara kelas XI) ke kelas 6. Ust. Wildan memang selalu menjadi provokator dalam setiap pendakian kami. Beliau selalu mengiming-imingi kami tentang sebuah kepuasan di dalam pendakian, keindahan alamnya, dsb. Saya ingat beliau pernah mengatakan di kelas pada tahun pertama kami di pesantren, "Kalau kalian tidak berani mendaki, betina kalian". H-hee, sangar ya? Tapi dari situlah kami mulai termotivasi untuk melakukan hal-hal semacam ini. Bahkan pernah juga, saya ke Penanggungan sendirian, tanpa seorang teman.
Ada lagi kalimat beliau yang masih saya ingat, "Lebih baik meminta tapi tidak diberi daripada memberi tapi tidak diterima". Tapi yang ini sih ndak ada hubungannya sama cerita saya.
Nah, karena Ust. Wildan yang mem-provokasi kami, jadilah beliau dilibatkan dalam pendakian kali ini. Namun nanti, ada hal yang dilakukan oleh beliau yang bikin kami semua #tepokjidat.
Pukul 11.50 kami naik kereta api dari Bangil menuju Madiun. Perjalanan memakan waktu sekitar empat jam. Sesampainya di sana, karena hari sudah hampir malam, kami menuju desa Plaosan. Rupanya di desa ini sebuah panti asuhan yang kenal dengan Ust. Wildan. Di sanalah kami bermalam (dan numpang makan).
Pagi-pagi sekali Ust. Wildan menyuruh dua orang teman saya untuk menemani beliau. Dipikir kemana, ternyata ke pinggir jalan raya. Begitu ada angkutan umum yang lewat, beliau stop. Beliau langsung naik sambil bilang, "Sudah ya, saya balik dulu". Dong! Bengonglah teman saya. Piye iki jal, diajak ke Lawu, begitu sampai malah balik pulang. Ndak tanggung jawab ini mah.
Namun bukan kami namanya kalau surut mundur. Berbekal kekompakan, kami tetap berangkat menuju gerbang masuk pendakian. Namun ternyata jalan yang kami lewati cukup jauh juga. Beberapa teman yang berpikir cepat langsung nggandol pick up yang kebetulan lewat. Sementara sebagian yang lain -termasuk saya- akhirnya terpaksa urunan buat nebeng mobil. Perjalanan ke atas sekitar 15 atau 20 menit hingga kami tiba di pintu gerbang pendakian. Saya ingat di sana ada sebuah jembatan yang merupakan perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jadi bila kita menyeberang ke sana kita sudah berada di Jawa Tengah.
Setelah seluruh personil berkumpul, kami pun memulai pendakian. Rute yang kami pilih adalah melalui jalur Cemorosewu. Bila tidak familiar dengan nama ini, rekan-rekan mungkin lebih kenal nama Telaga Sarangan. Katanya sih, lewat jalur Cemorosewu ini lebih susah, namun bisa sampai ke puncak lebih cepat.
Dari jalur ini kami harus melewati 5 pos. Sungguh sebuah perjalanan panjang yang amat-sangat menguras tenaga. Kami sampai harus berhemat air minum. Sehingga untuk minum seseorang hanya dijatah satu tutup botol air mineral. Menyedihkan, hiks...
Namun semua kelelahan itu terbayar sudah ketika kami sampai di puncaknya yang tertinggi. Di bawah kami adalah kumpulan awan yang menyerupai gumpalan kapas. Sejauh mata memandang, kami bisa melihat puncak-puncak dari gunung-gunung lain. Kami sempat berpose pada sebuah tugu di sana.
Kami pun turun dan memulai perjalanan pulang.
Kami sampai di pesantren pada tanggal 2 Juli 2002. Berarti semuanya memakan waktu 4 hari. Dan jangan membayangkan bagaimana keadaan kami yang tidak mandi dan tidak ganti celana dalam selama itu.
#Ngethel, bos.
|
Akhirnya, nemu juga satu poto. |