Friday, April 11, 2014

ujungkelingking - Berkemampuan Berbeda


Dalam sebuah siaran berita pagi, beberapa hari yang lalu, diberitakan tentang Pak Kliwon, seorang penyandang cacat (tidak memiliki sebelah kaki) yang kini menjadi pengrajin pembuat kaki palsu.

Yang menjadi perhatian saya justru pembawa berita yang menyebut orang-orang seperti Pak Kliwon ini sebagai penyandang disabilitas.

Seperti yang kita tahu bahwa dulu, kita menyebut untuk orang-orang seperti Pak Kliwon ini dengan sebutan "tuna". Ada tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, dsb. Penyebutan ini tentu dirasakan masih cukup kasar meski sudah memakai istilah yang dihaluskan.

Maka kemudian muncul istilah disabel-disabilitas (disable, dis-ability) yang berarti tidak mampu atau berkemampuan terbatas. Istilah ini dianggap lebih baik daripada penyebutan sebelumnya. Namun jika melihat kepada arti yang dimaksud, sebenarnya istilah ini sama saja dengan penggunaan "tuna" itu.

Akhirnya istilah disabel ini kembali direvisi. Dikabarkan bahwa seorang aktivis penyandang cacat (sekitar 1998) yang pertama kali menggunakan istilah difabel untuk menggantikan penyebutan disabel. Dari sisi arti, istilah difabel (difable, different-ability atau berarti memiliki kemampuan yang berbeda) jelas jauh lebih manusiawi dibandingkan dengan sebutan yang lain. Karena kita tahu, orang-orang seperti Pak Kliwon bukan tidak memiliki kemampuan, akan tetapi mereka dianugerahi kemampuan yang berbeda dengan kebanyakan dari kita.

Ini bukan soal siapa yang lebih baik. Bukan juga soal istilah mana yang sebaiknya dipakai. Semuanya sama-sempurna dihadapan Tuhan. Justru kalau mau jujur, kita akan iri kepada mereka yang seringkali memiliki mental tempur yang jauh lebih kuat daripada kita yang menganggap diri normal ini.

Kalau mau jujur lagi, berapa banyak prestasi yang berhasil ditorehkan oleh para penyandang difabel itu, yang kita sendiri ternyata tidak mampu melakukannya?


Aaron Fotheringham, sukses melakukan backflip ganda
dari kursi rodanya di usia 18th
(Image: cahndeso.blogspot)

Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, April 11, 2014

Tuesday, April 8, 2014

ujungkelingking - Imajinasi, Dimanakah Engkau?


Seorang teman blogger, mbak Elsawati Dewi, pernah mempertanyakan di salah satu statusnya kenapa sekarang ini dirinya susah sekali menulis fiksi.

Pertanyaan yang sama barangkali pernah hinggap di benak teman-teman yang lain. Termasuk saya.

Ketika saya masih kelas 3 SD, saya senang sekali menulis cerpen. Setiap pagi sebelum bel masuk berbunyi, dalam sekali duduk saya bisa menulis cerpen dalam satu atau dua lembar buku tulis. Selanjutnya cerpen tersebut akan dibaca bergantian oleh teman-teman saya. H-haa...

Tapi itu dulu...

Pernah juga bapak membawakan untuk saya satu bendel semacam buku cek list yang sudah tidak terpakai. Namun bagian belakangnya yang masih kosong menarik minat saya untuk berkreasi di sana. Jadilah saya kemudian seorang komikus. H-hee...

Saya membuat gambar-gambar yang membentuk sebuah cerita. Ya, karena saya dulu terobsesi dengan tokoh jagoan Satria Baja Hitam dan Kapten Mentari, gambar komiknya pun gak jauh-jauh dari situ.

Tapi -sekali lagi- itu dulu...

Dulu... banget.


Kenapa sekarang susah berimajinasi?


Jika pertanyaan tersebut ditujukan kepada saya, maka jawaban yang paling mudah adalah karena saya tidak pernah mengasahnya kembali.

Namun ada hal lainnya yang perlu dicermati. Ini berkaitan dengan fungsi otak kanan dan otak kiri kita.

Kecenderungan manusia terhadap kedua bagian otak ini tentu berbeda-beda. Ada yang dominan otak kirinya, ada pula yang lebih banyak pada otak kanannya. Jika ditanya mana yang lebih hebat, tentu keduanya sama hebat, meski memiliki "bahasa" yang berbeda. Atau lebih tepatnya, keduanya ada untuk saling melengkapi.

Nah, ketika kita kecil bisa dikatakan kita lebih dominan otak kanannya. Itulah mengapa anak kecil mudah sekali berimajinasi.

Otak Kiri - Otak Kanan
Image: observasipsikologi.blogspot

Akan tetapi, ketika kita memasuki sekolah formal, kita diajari dengan pelajaran-pelajaran formal, yang hampir semuanya mengasah bagian otak kiri kita. Akibatnya jelas, otak kiri kita yang dominan.

Barangkali inilah yang terjadi pada saya, mbak Elsawati atau teman-teman yang lain. Padahal untuk menulis cerpen dibutuhkan kerja otak kanan. Bukan berarti otak kiri tidak diperlukan. Keduanya diperlukan hanya persentasenya saja yang berbeda.


Cara menulis dengan menggunakan otak kanan


Pemikiran ini muncul setelah saya blogwalking ke tempat teman-teman yang membahas tentang otak kiri dan kanan.

Salah satu perbedaan antara otak kiri dengan otak kanan adalah, jika otak kiri bersifat terstruktur dan rapi, maka otak kanan sifatnya spontanitas.

Jadi ini yang bisa kita manfaatkan. Ketika kita menulis sebuah cerpen, buatlah ia spontan dan mengalir begitu saja. Bahkan mungkin tanpa kita tahu nanti endingnya seperti apa.

Ujung-ujungnya kita akan bilang, eh, cerpen saya sudah selesai... ^_^

__________________________

nb: Saran ini belum pernah saya publikasikan, sekaligus dilaksanakan... ^_^
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, April 08, 2014

Monday, April 7, 2014

ujungkelingking - Seni Meluruskan Kesalahan


Suatu ketika, ada seorang bapak-bapak sedang berwudlu karena hendak melaksanakan shalat.

Tidak jauh dari tempat bapak itu berwudlu, dua orang bocah kakak-beradik sedang memperhatikannya. Keduanya tahu bahwa cara berwudlu bapak tersebut salah. Namun mereka ragu untuk menegurnya. Khawatir bapak tersebut salah paham dan marah.


Maka mereka mengatur suatu rencana. Mereka kemudian pura-pura bertengkar mempertentangkan cara berwudlu siapa yang paling benar.

Si kakak mengatakan cara berwudlunya-lah yang paling benar. Sementara sang adik tidak mau kalah dengan mengatakan justru cara berwudlunya yang paling benar.

Pertengkaran keduanya menarik perhatian si bapak. Si bapak mendekati keduanya dan bertanya apa yang sedang mereka pertengkarkan. Maka salah seorang dari keduanya menjelaskan bahwa mereka sedang mempertengkarkan cara berwudlu mereka dan kemudian mereka mengajukan saran agar si bapak saja yang menilai cara berwudlu mana yang paling benar.

Si bapak setuju. Maka bergantianlah keduanya mempraktekkan cara berwudlu mereka. Dan si bapak kemudian dibuat terkagum-kagum dengan cara berwudlu keduanya.


Dengan kejadian ini akhirnya si bapak menyadari kesalahannya. "Sungguh, cara berwudlu kalian berdua benar-benar sempurna. Justru cara berwudlu saya-lah yang selama ini salah. Hari ini kalian telah memberikan sebuah pelajaran penting kepada saya."

Meluruskan kesalahan
Image: tubasmedia

Dan, kita mengenal kedua kakak-beradik itu dengan nama Hasan dan Husain, putra Ali bin Abi Thalib yang sekaligus cucu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.


*dicuplik dari Permata Kisah Buat Anakku, Miftahul Asrar
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, April 07, 2014

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!