Friday, December 27, 2013

ujungkelingking - Sebelumnya, saya ingin mengucapkan selamat untuk putrinya mas Agus Setya yang mulai menapaki langkah-langkah pertamanya. Semoga dik Hayyu dan orangtuanya senantiasa diberikan kesehatan dan kebaikan selalu.

Tak lupa pula buat rekan-rekan blogger, facebooker, tweps, plusser yang sudah kembali dari liburannya, selamat memulai aktifitas kembali. Dan buat yang masih libur, selamat menikmati liburannya. Mudah-mudahan kita semua tetap bisa saling berbagi kebaikan.

Aamiin.

***

Ketika kemarin saya memposting tulisan tentang alasan kenapa kita tidak boleh bersikap sombong, ternyata masih menyisakan sebuah pertanyaan penting. Ada satu poin yang luput saya masukkan ke dalam tulisan tersebut. Terima kasih atas komentar "iseng" mbak Nophi yang mengingatkan saya tentang hal ini. Sebuah pertanyaan yang bagi sebagian kta masih memiliki jawaban yang absurd.

Pertanyaan tentang apa sebenarnya definisi sombong itu?

Apakah orang yang suka memamerkan mobil atau pakaian barunya itu disebut sombong? Atau mereka yang suka nampang narsis di sosmed yang disebut sombong? Atau orang-orang yang ngomongnya muluk-muluk itu yang dinamakan sombong? Atau yang gemar sekali menceritakan kebaikan-kebaikan yang diterimanya barulah bisa didefinisikan sebagai orang yang sombong?

Bagi rekan-rekan yang pernah membaca buku atau pernah mengikuti kajian tentang tema ini tentulah sudah memiliki penjelasannya. Definisi yang simpel namun tepat. Namun itu nanti, sabar dulu ya!

(+) Kok pake nanti?

(-) Biar penasaran, h-hee. Bentar, saya mau cerita dulu...

Seperti kita tahu bahwa tokoh yang memiliki sifat sombong ini adalah Iblis laknatullah 'alaihi. Sebuah statement yang pernah diucapkan menjelaskan betul hal itu.

"Anaa khairu minhu. Khalaqtanii min naar wa khalaqtahu min thiin"

Shaad ayat 76. Aku lebih baik dari dia. Engkau, ya Allah menciptakan aku dari api sedangkan dia (Adam) Engkau ciptakan dari tanah.

Unsur api dikatakan lebih tinggi daripada unsur tanah. Karena itulah Iblis menolak ketika diperintah melakukan sujud-penghormatan kepada Adam. Inilah sikap sombong yang pertama kali ada dalam sejarah alam semesta.

Dan karena kesombongannya inilah, Iblis kemudian diusir dari surga. Karena itu, siapa yang mengikuti Iblis -dalam hal kesombongan- maka iapun akan mengikuti jejak Iblis.

Dalam kasus yang lain, seseorang pernah mengatakan bahwa setiap orang memiliki karakter dan pemikiran sendiri-sendiri. Maka seseorang tidak boleh mendiktekan pemikirannya dan meminta orang lain untuk sama dengannya. Karena ya itu tadi, pemikiran setiap orang berbeda-beda.

Dalam beberapa hal, cara berpikir tersebut bisa dibenarkan. Namun bagaimana jika yang didiktekan itu adalah sebuah nasehat? Apakah dengan alasan 'pemikiran orang berbeda-beda' lalu kita boleh menolaknya?

Hm, menarik mencermati tingkah orang di sekeliling kita. Semenarik ketika Islam mendefinisikan tentang apa itu kesombongan. Kata Rasulullah yang disebut sombong itu adalah: batharu 'l-haq wa ghamtu 'n-naas. Sombong itu adalah [1] menolak kebenaran, dan [2] meremehkan manusia.

Dalam kisah Iblis, dia sama sekali tidak menolak kebenaran (Iblis tahu bahwa Allah yang menciptakan dia, Allah pula yang menciptakan Adam), namun dia meremehkan Adam yang dianggapnya lebih hina darinya. Sementara kasus lain yang saya contohkan di atas bisa kita golongkan sombong dalam arti menolak kebenaran. Dan inilah yang tanpa sadar sering kita lakukan.

Bukankah sering kita abai terhadap nasehat gara-gara kita tidak suka dengan si penyampai-nya? Atau kita tak mengacuhkannya karena kita merasa nasehat tersebut tidak cocok dengan kita? Lalu bagaimana sikap kita jika kita dalam kondisi tersebut?

Menurut saya, terima saja dulu nasehat tersebut. Perkara kita kerjakan atau tidak, biarlah itu soal nanti.

*Pertanyaan lainnya yang mungkin juga mengusik, apakah artikel ini termasuk nasehat juga?
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, December 27, 2013

Monday, December 23, 2013

ujungkelingking - Tujuan hidup seorang muslim adalah untuk beribadah kepada Allah, Rabb sekalian alam. Nah, dalam perjalanannya ternyata kita juga membutuhkan "modal" agar dapat bertahan hidup untuk menunjang ibadah kita tersebut. Modal inilah yang kemudian kita namakan rejeki. Kita -dalam konteksnya sebagai manusia- kemudian dipersilahkan mencari sebanyak-banyaknya rejeki yang Dia kucurkan.

Namun, dalam posisi sebagai seorang muslim, rejeki yang kita cari ini haruslah memenuhi beberapa kriteria ideal. Kriteria tersebut adalah halal, baik, banyak, dan berkah (halaalan-thayyiban-waasi'an-mubaarakah).

Kriteria Satu: Halal

Kriteria ini merupakan harga mati bagi seorang muslim. Rejeki yang dicarinya seharusnya terpenuhi unsur ini. Jangan sampai rejeki yang kita dapatkan -yang kemudian dimakan oleh anak-istri kita- tercampur dengan hal-hal yang haram karena pasti akan ada dampaknya terhadap kita. Dampak-dampak itu antara lain: tidak diterimanya amalan kita, menjadi sebab tidak terkabulnya do'a, merusak keimanan, mengeraskan hati dan tentu saja menjerumuskan kita kepada nerakanya Allah subhanahu wa ta'ala (soal dalilnya, googling aja ya? H-hee).

Kriteria Dua: Baik

"Baik" dalam pengertian saya adalah menyehatkan. Satu contoh soal makanan. Sekarang ini banyak sekali jenis makanan atau jajanan, yang secara "status" memang termasuk makanan yang boleh dikonsumsi (halal). Namun karena banyaknya kandungan kimia di dalamnya menyebabkan makanan tersebut justru mengundang penyakit. Di sini seorang muslim harus teliti. Rejeki yang halal saja tidak cukup, namun juga harus baik.

Kriteria Tiga: Banyak

Manusiawi memang. Allah sendiri sudah memberikan keleluasaan kepada kita untuk meminta kepada-Nya. Justru saya menganggap seseorang yang tidak pernah memohon sesuatu kepada Allah adalah seseorang yang sombong. Tapi, eh, bisa jadi dia orang yang sangat qana'ah juga sih, h-hii...

Kriteria Empat: Berkah

Saya pribadi mengartikan keberkahan ini sebagai kebermanfaatan. Bahwa rejeki yang kita terima lebih terasa manfaatnya. Atau istilahnya lebih 'tepat sasaran'. Barangkali kita sering mendapatkan rejeki (suatu barang, misalnya) lalu pada akhirnya barang tersebut hanya tergeletak saja di sudut rumah kita, tanpa pernah terjamah. Jadi terlihat kurang manfaatnya. Mungkin seperti itulah keberkahan itu (tapi sekali lagi, ini pendapat pribadi lho).

Lalu bagaimana agar kita bisa mendapatkan keempat kriteria di atas pada rejeki yang kita terima?

Ulama ahli tasawwuf, Abu Lais Samarqandi, merumuskan ada 2 hal yang harus dilakukan agar rejeki model ini bisa kita dapatkan:

  • Satu, jangan pernah menunda-nunda kewajiban kepada Allah

Klise, ya? Tapi seperti itulah. Ketika kita banyak memohon kepada Allah, maka sudah sepantasnyalah kita juga mengikuti aturan-aturan-Nya. Tapi tidak hanya itu, mendahulukan kepentingan-Nya di atas kepentingan kita sendiri menjadi sebuah keniscayaan.

Allah itu Maha Pemurah. Ketika Dia tahu (dan Dia memang Maha Tahu) bahwa kita senantiasa mendahulukan perintah-Nya dibandingkan dengan kebutuhan kita sendiri, maka berlakulah apa yang difirmankan-Nya, "Berdoalah, maka pasti akan Aku kabulkan!"

  • Dua, selalu ingat bahwa rejeki yang kita dapatkan tidak sepenuhnya milik kita

Senantiasa membuka mata dan telingan terhadap kondisi di sekeliling kita. Memperbanyak sedekah. Bukankah janji Allah bahwa balasan dari suatu sedekah itu akan dikalikan 10, 70, atau 700 kali?

Namun ada satu catatan di sini, bahwa di dalam kita bersedekah hendaknya cerdas dalam menentukan "target". Tidak membabi-buta dalam memberikan sedekah, sebab bisa jadi sedekah kita yang salah alamat itu merupakan proyek dari orang-orang non-Muslim yang bertujuan untuk menyerang kaum muslimin di bagian lain di dunia ini.

Kalau rekan-rekan pernah membaca tulisan saya yang berjudul Ini Tentang Pengemis yang (Tak) Layak Diberi, maka di sini rekan-rekan bisa mengambil jalan tengahnya. Ketika kita mendapati pada target sedekah kita ada tanda-tanda ketidaklayakan untuk diberi sedekah, maka kita bisa memilih untuk mengalihkan sedekah tersebut ke target yang lain. Namun bila tanda-tanda itu tidak nampak jelas, saya kira tidak perlu kita menduga-duga demi menghindari sikap su'udhan. Nah, "tanda-tanda" itu saya serahkan kepada masing-masing individu saja untuk menentukan kriteria-kriterianya.

(+) Berarti sampeyan ini plin-plan, mas.

(-) Plin-plan bagaimana?

(+) Katanya kalau sedekah ke pengemis gak usah pilih-pilih. Langsung kasih aja. Tapi sekarang kok bilangnya harus cerdas kalau bersedekah?

(-) Lho, dalam tulisan saya terdahulu kan mbahasnya tentang kalau kita bersedekah kepada pengemis. Bayangkan saja kakek/nenek yang sudah renta berdiri di pinggir jalan dengan pakaian lusuh. Nah, kalau tulisan yang ini membahas target secara umum. Kita bersedekah tidak hanya kepada pengemis saja kan? Bisa jadi ke kotak infaq masjid, panti asuhan, dsb. Atau ke orang-orang yang pakai mobil trus sambil baca shalawat, atau ada yang datang door to door sambil mengajukan map. Lahhh, yang model begini inilah yang menurut saya (menurut Khatib, ding!) kita harus cerdas peruntukannya benar atau tidak.

(+) Ooo, begitu...

(-) Ho'oh, begitu aja.

Mudah-mudahan kita semua dijauhkan dari segala macam sifat kikir ini, dan sifat-sifat buruk lainnya.
Dan mudah-mudahan semua sedekah kita bisa bermanfaat bagi si penerima dan sekaligus menjadi amalan jaariyah bagi kita sendiri.
Dan semoga limpahan rejeki yang halal, baik, banyak dan berkah senantiasa mengucur kepada kita dan keluarga kita semua.

Aamiin, ya Rabba 'l-'aalamiin.


*Dari sebuah khutbah Jum'at, 20 Desember 2013
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, December 23, 2013

Thursday, December 19, 2013

ujungkelingking - Ada sebuah ungkapan bahwa sombong itu pakaiannya Tuhan. Maka seorang manusia -apapun statusnya- tidaklah pantas memakai pakaian Tuhan ini. Dan saya kira, agama apapun dan kultur budaya manapun pasti menolak sifat sombong ini.

Rekan-rekan mungkin masih ingat ketika saya menulis tentang saya yang terjebak hujan di toko buku, lalu saya pergi mencari-cari buku yang tidak bersegel. Nah, saat saya sedang berkeliling itulah, saya mendapati sebuah buku berjudul "Taurat" (penulisnya lupa).

Di dalam buku tersebut, sang penulis mencoba memecahkan misteri (salah satunya) tentang banjir maha-dashyat yang pernah terjadi di zaman Nabi Nuh alaihissalaam berdasarkan literatur-literatur dari Kitab Taurat (Torah). Menurut penulis, Kitab Taurat yang pernah ditemukan, masih memiliki nilai ke-otentik-an yang tinggi. Salah satu bahasan dalam buku tersebut yang menarik minat saya adalah pertanyaan kemana air itu menghilang ketika surut? Seperti kita tahu bahwa banjir pada kejadian itu menggenang hingga menenggelamkan gunung.

Oleh sang penulis, pembaca disodori foto-foto tentang bumi yang dari itu kita akan tahu bagaimana mudahnya Dia, Yang Maha Besar melenyapkan atau mengadakan sesuatu yang menurut kita mustahil. Dari foto-foto ini pula kita akan menyadari betapa mungilnya diri kita dan dari situ mudah-mudahan kita bisa mengikis sifat sombong dari hati kita.

Foto-foto yang sama, saya unduh dari google.

Bumi, kelihatan lebih besar dibandingkan Mars, Mercurius dan Pluto
Bumi, menjadi tampak kecil bila dibandingkan Jupiter dan Saturnus
Bumi menjadi seperti debu dibandingkan dengan Matahari

Lanjut...

Matahari malah jauh lebih kecil dibanding Arcturus
Arcturus malah se-upil-nya Antares dan Betelgeuse
Antares-pun masih kalah besar dibandingkan VY Canis Majoris

Lalu pertanyaannya sekarang, di mana kita (bumi)?



Sumber gambar:
prisiliamondigir.blogspot.com | wwwmutiarabangsa1.blogspot.com | majalah-blog.blogspot.com
b371ny03.blogspot.com | thoha.wordpress.com | lintasfacebook.blogspot.com
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Thursday, December 19, 2013

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!