Friday, August 16, 2013

ujungkelingking - Besok (17/8/13), bangsa ini kembali memperingati hari bersejarahnya. Hari yang begitu membanggakan dada ini. Hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Dimana-mana tempat, di jalan-jalan, di kampung-kampung banyak bertebaran umbul-umbul dan spanduk dengan dominasi warna merah dan putih. Warna keberanian dan kesucian.

Namun sadarkah kita, di tengah gegap gempitanya kita memperingati hari besar ini, mereka yang di sana -rakyat Mesir- tengah sibuk berjibaku melawan kekejaman rezim militer. Ribuan warga sipil tak bersenjata dibunuh, ditembaki, dibakar, dilindas tank. Masjid dibumihanguskan, mushaf-mushaf dihancurkan. Yang terjadi di sana bukan lagi kudeta politik, tapi sebuah kejahatan kemanusiaan!

Gambar: dari beberapa sumber
Dunia Barat mungkin diam, namun kita mengutuk!

Karena itu hari ini (16/8/13) ditetapkan sebagai hari kemurkaan umat Islam sedunia. Dan mereka hari ini -setelah sholat Jum'at- akan melakukan aksi damai #saveEgypt #pray4Egypt

Sementara di Indonesia sendiri, berikut sentra aksi hari ini:
  1. Jakarta, Istiqlal
  2. Bandung, PUSDAI
  3. DIY., DPRD DIY
  4. Solo, Sriwedari
  5. Majalengka, Bundaran Munjul
  6. Jambi, Tugu Juang
  7. Lampung, Masjid At-Takwa
  8. Semarang, Masjid Baiturrahman
  9. Surabaya, DPRD Surabaya
  10. Samarinda, MAF
  11. Aceh, Masjid Raya Baiturrahman
  12. Riau, Tugu Ikan Selais
  13. Purwokerto, Alun-Alun
  14. Pontianak, Univ. Tanjung Pura
  15. Batam, Simpang
  16. NTB, Arena Budaya Unram
  17. Palembang, Bundaran Air Mancur
  18. Banjarmasin, Masjid Raya Sabilal Muhtadin
  19. Pati, Masjid Agung Simpang 5
  20. Cirebon, Masjid At-Taqwa
  21. Medan, Masjid Agung
  22. Tegal, Masjid Agung Alun-Alun
  23. Makasar, flyover Km 4
  24. Tuban, Gedung Bea Cukai
  25. Balikpapan, Masjid At-Taqwa

"Tidak perlu menjadi warga Mesir untuk berempati, anda hanya perlu menjadi manusia."
(Erdogan, PM Turki)

"Wajib bagi yang telah menggulingkan Mursi untuk bertaubat dan mengembalikan hak-hak yang dirampas."
(Syaikh Dr Nasser bin Sulaiman, Sekjen Ikatan Ulama Muslim)
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, August 16, 2013
ujungkelingking - Tepat 68 tahun yang lalu, sejarah mencatat, negeri ini memproklamirkan kemerdekaannya. Sebuah sejarah yang membanggakan... pada masanya.

Tanpa bermaksud melankolis, tapi sejarah hanyalah sejarah.

Sejarah hanya akan menjadi kenangan -tidak akan bisa berbicara banyak- bila ia hanya dibaca untuk disampaikan di depan kelas atau dihafal demi menjawab lembar-lembar soal ujian.

Sejarah banyak berkisah tentang hukum sebab-akibat, sunnatullah atau kausalitas. Sejarah banyak bercerita tentang proses: bahwa jika kita begini, maka hasil yang akan diperoleh adalah ini. Maka mempelajari sejarah bukanlah dengan tujuan pengetahuan semata. Lebih dari itu, ia membimbing kita untuk mensyukuri karunia-Nya yang kita menyebutnya dengan, pengalaman. Karena itulah sejarah menjadi nyata manfaatnya ketika ia "dihidupkan" kembali dalam kehidupan kita.

Menghidupkan sejarah tentu bukan berarti Bung Karno harus bangkit kembali dan membacakan teks proklamasi. Pun juga tidak berarti Bung Tomo musti tampil lagi demi membakar semangat arek-arek Suroboyo. Menghidupkan sejarah lebih memiliki arti menerapkan "pelajaran"-nya dalam kehidupan kita. Dari pelajaran itulah kita kemudian mensikapi diri.

***

Dahulu, rakyat Indonesia begitu "welcome" dengan Belanda. Masyarakat kita selalu menganggap baik apapun yang datang dari luar. Namun dari situlah Belanda tahu bahwa rakyat mudah dibohongi, yang dengan devide et impera-nya mereka mulai menjajah bangsa ini.

Bagaimana dengan sekarang?

Faktanya, sekarangpun masih tak jauh beda. Kita masih bersikap permisif terhadap segala yang berlabel asing atau -dalam kasus ini- yang berbau teknologi. Memang tidak semua yang dari luar negeri itu buruk, tidak selalu teknologi itu merusak. Namun ibarat mata uang, tidak seluruhnya juga bisa diterima; oleh adat ketimuran kita, atau oleh budaya reliji kita. Perlu adanya usaha untuk men-filter itu semua. Ini yang penting.

Mungkin bagi generasi yang ada sekarang, kita masih dapat membantu untuk memilah mana yang baik untuk diterima dan mana yang merusak untuk dibuang. Namun bagaimana dengan anak-anak kita, pengganti kita nantinya? Sedangkan kita saksikan sekarang, sebagai contoh, begitu mudahnya mereka mengakses internet dengan tanpa pengawasan. Banyak situs-situs berbahaya -yang merusak cara berpikir- yang mereka lahap dengan semangatnya, dan mereka beranggapan bahwa mereka sedang belajar?

Apa kita bisa menjamin bahwa anak-anak itu -dengan logika kanak-kanaknya- bisa menyaring hal-hal yang mereka temui disana, sedangkan kita yang diharapkan sebagai pengawas justru sibuk dengan urusan-urusan yang lain? Maka terjadilah penjajahan tak kasat mata. Penjajahan konsep pemikiran yang dampaknya jauh lebih luas dan jauh lebih panjang dari sekedar penjajahan fisik semata.

Dan pada akhirnya kita memang tidak harus menjadi paranoid untuk selalu berprasangka buruk terhadap apapun yang datang. Namun dengan mau melakukan "banding" pada sejarah-sejarah yang telah lalu kita bisa sedikit menjaga jarak untuk lebih dahulu menganalisa apakah hal tersebut berefek negatif atau tidak.

Dan sejarah, ternyata adalah karunia dari Tuhan yang paling dekat dengan kita untuk mengajari manusia bagaimana bertingkah-laku dalam kehidupannya.

Maka, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
[An-Nahl: 16]
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, August 16, 2013

Wednesday, August 14, 2013

ujungkelingking - Alhamdulillah, akhirnya saya bisa kembali masuk kerja hari ini setelah mengambil cuti lebaran beberapa hari. Tidak ada acara "mudik ke desa" untuk tahun ini, lha wong baik saya maupun istri tidak punya desa, hehehe... Palingan cuma muter-muter ke sanak famili yang masih di seputar kabupaten saja.

Meski kantor tempat saya bekerja sudah mulai aktif per tanggal 12 Agustus kemarin, tapi dalam perjalanan berangkat tadi pagi tidak terlihat adanya kemacetan, padahal saya lewat jalan utama (biasanya saya harus lewat "jalan tikus" untuk menghindari macet). Ini berarti masih banyak perkantoran atau para pegawai yang masih menikmati sisa-sisa libur mereka.

Karena itulah -meski (sedikit) terlambat- saya pribadi mengucapkan:

"TAQABBALALLHU MINNA WA MINKUM"

Semoga semua amal ibadah kita selama bulan Ramadhan kemarin mendapat tempat di sisi-Nya. Aamiin.

***

Ada yang menarik ketika saya sedang menikmati liburan kemarin. Datangnya dari sebuah broadcast yang ditunjukkan seorang teman kepada saya. Isinya tentang pembagian Ramadhan dalam 10 hari. Mungkin ini termasuk broadcast lama, namun harus saya tulis di sini karena ada yang penting pada poin terakhirnya.

Nah, berikut pembagian bulan Ramadhan dalam 10 hari:


10 Hari I: Masjid penuh

Hal ini bisa dimaklumi, karena ibarat sebuah pertandingan maka 10 hari I di bulan Ramadhan adalah babak seleksi (penyisihan). Banyak kontenstan yang unjuk kebolehan. Semuanya bertanding dengan energi penuh. Karena itulah kita akan lihat penuh-sesaknya masjid-masjid untuk sholat tarawih, riuhnya musholla dengan lantunan ayat-ayat suci Kitabullah, dan ramainya orang-orang membagi-bagikan sedekah.

10 Hari II: Mall penuh

Saya tidak bisa mengatakan bahwa ini adalah sebuah gaya hedonism atau memang sebuah kebutuhan, atau malah hanya sekedar mengikuti tradisi semata. Dewasa ini, hal-hal semacam itu semakin samar batas-batasnya.

10 Hari III: Terminal-bandara penuh

Yang ini mungkin bisa dijawab sama yang punya desa. :)
Katanya, lebaran tanpa mudik bukanlah lebaran, hehehe...
Tapi, yang ingin saya sampaikan adalah poin yang terakhir ini,

10 Hari IV: Dosa-dosa (kembali) penuh

Di's wi aa. Naudzubillahi min dzalik. Inilah potret dari sebagian besar masyarakat kita (termasuk penulis sendiri, nih!). Berapa banyak dari kita yang setelah 'id justru kembali lagi kepada "kehidupan lama"?

Banyak dari kita yang ketika Ramadhan rajin sholat malam, namun setelah hari raya justru untuk sholat 5 waktu kembali bolong-bolong. Banyak pula yang bulan kemarin begitu gemar membaca Al-Qur'an, setelah hari ini malah mushaf itu akan dibiarkan kembali berdebu. Pun juga yang tadinya senang bersedekah, lalu kembali lagi sifat kikirnya. Yang sudah mampu mengendalikan ucapannya, akhirnya kembali disibukkan dengan menggunjing sesama. Naudzubillah.

Padahal kita tentu paham bahwa label "muttaquun" bukanlah gelar musiman yang disematkan Allah kepada seorang hamba hanya ketika bulan Ramadhan saja. Lebih dari itu, ia adalah sebuah refleksi dari sikap hidup yang akan terus mendarah-daging pada diri seorang muslim. Ketika ia sudah lepas dari bulan Ramadhan, maka pelajaran dan pengajaran yang didapatnya dari bulan tersebut tetap dibawanya hingga ke sebelas bulan berikutnya.

Maka yang bisa menjadi tolok ukur dari keberhasilan puasa yang kita lakukan kemarin adalah perubahan (baca: perbaikan) sikap hidup di dalam keseharian kita. Tentang hal ini, tentu masing-masing kita yang bisa menilainya.

Meningkatkan ibadah itu suatu keharusan. Akan tetapi jika hal itu masih terlalu sulit, setidaknya, kita tetap istiqomah menjaga apa yang sudah kita kerjakan pada bulan kemarin. Pertahankan, jangan kurangkan. In sya Allah itu menjadikan kita lebih baik dari sebelumnya. Dan semoga Allah subhanahu wa ta'ala berkenan memberikan hidayah-Nya agar kita semua dapat sampai kepada tingkatan "muttaquun". Aamiin, ya rabbal 'alamiin...

Bismillah.



Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Wednesday, August 14, 2013

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!