Friday, December 28, 2012

ujungkelingking - Dari status seorang teman, tentang memberi dan berharap balasan. Dia menganalogikan memberi sebagai pembilang, sedangkan mengharap balasan sebagai penyebut.

Secara matematis, suatu bilangan yang dibagi dengan bilangan lain, maka jika makin besar penyebutnya maka akan semakin kecil hasil yang didapat. Sebaliknya, jika makin kecil penyebutnya maka hasilnya semakin besar.

1/2 = 0.5

Lebih lanjut dikatakan, jika seseorang memberi dengan berharap sesuatu yang lebih besar (pada contoh, memberi 1 namun berharap mendapat 2), maka dia hanya akan mendapatkan separuh. Lebih sedikit dari yang diberikannya.

1/1 = 1

Kemudian dicontohkan lagi jika kita memberi seseorang namun berharap mendapatkan balasan yang sama, maka kita akan mendapatkan hal yang sama tersebut.
Lalu bagaimana jika kita memberi tanpa mengharap balasan apapun (nol)?

1/0 = ∞

Hasilnya adalah, TAK TERHINGGA!

Ternyata keikhlasan menjadikan kita jauh lebih beruntung, hehe...

***

nb: sepanjang yang saya tahu, hasil dari pembagian suatu bilangan dengan penyebut sama dengan nol masih diperdebatkan, apakah infinite (tak terhingga) ataukah undefined (tak terdefinisikan).
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, December 28, 2012

Monday, December 24, 2012

ujungkelingking - Pepatah lama yang mengatakan anak polah, bapa kepradah, yang kira-kira artinya bahwa apa yang dilakukan oleh seorang anak, orangtua akan tetap kena getahnya, barangkali memang benar adanya.

Hampir setiap hari, di media massa kita disuguhi berita-berita seperti itu. Mahasiswi hamil, narkoba dan siswa, video mesum pribadi, tawuran antar pelajar, dan sebagainya yang ujung-ujungnya orangtua-lah yang menanggung malu dan menanggung kerugian materi.

Tiba-tiba saja muncul pertanyaan, apakah selalu anak yang berulah?

Apakah tidak pernah terjadi orangtua yang berulah lalu kemudian anak yang menanggung malu?

Jika, iya, kenapa tidak ada pepatah yang berbunyi sebaliknya?

***

Faktanya adalah, buah apel jatuhnya tidak jauh dari pohonnya. Disini tersirat makna bahwa kebiasaan orangtua biasanya ter-copy kepada diri sang anak. Jadi jangan buru-buru anak disalahkan jika berulah. Jangan-jangan orangtuanya-lah yang mengajarinya, meski tidak secara sadar.

***

Maka, akhirnya menjadi jelas bahwa ulah orangtua akan menjadikan anak juga berulah. Dan selanjutnya dari ulah sang anak tersebut menjadikan orangtua-lah yang menuai malu.

Siapa yang salah sekarang?

(Selalu) belum terlambat untuk memperbaiki diri. Pendidikan anak selaku dimulai dari pendidikan keluarga (baca: diri si orangtua).

Jadi, yuk memperbaiki diri!

Bismillah,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, December 24, 2012

Friday, December 14, 2012

ujungkelingking - Ini cerita dari seorang teman.

Teman saya ini memiliki sebuah grup pengajian. Internal saja, hanya sekitar 20 orang anggotanya. Suatu ketika mereka akan mengadakan sebuah acara, pengajian rutin. Nah, salah seorang anggota grup tersebut berinisiatif mem-publish agenda tersebut di wall facebook-nya. Maksudnya mungkin benar, barangkali saja ada teman-teman lain yang berkenan hadir atau bergabung dengan grup tersebut.

Singkat cerita, saat pengajian berlangsung, memang tampak hadir seorang perempuan paruh baya berbusana muslimah. Wajahnya memang tidak familiar, namun teman saya ini menganggap perempuan tersebut adalah kerabat dari salah seorang anggota grup.

Ketika acara berlangsung pun, perempuan tersebut tampak antusias sekali dan terlibat diskusi menarik dengan penceramah. Maka teman saya pun semakin yakin bahwa perempuan ini memang orang baik-baik.

Namun, prasangka teman saya ini rupanya keliru. Ketika acara selesai dan dilanjut untuk sholat Maghrib berjamaah, perempuan ini menghilang. Belakangan baru diketahui ternyata ikut raib juga Blackberry yang sedang di charge dan sebuah tablet Samsung milik anggota yang lain.

Karena itulah, berkaca dari kejadian ini hendaknya kita berhati-hati bila ingin mem-publish acara yang sifatnya internal di media sosial. Barangkali SMS atau Grup Pribadi bisa menjadi alternatif jika ingin mengundang seseorang untuk ikut dalam acara kita. Kita, oleh agama, memang tidak diperbolehkan untuk bersikap su'udzon, namun kita tidak dilarang untuk bersikap waspada.

Nah, saya jadi tertarik untuk mencari tahu apa bedanya su'udzon dan 'bersikap waspada'?

Dan setelah saya coba blogwalking, saya bisa sedikit menyimpulkan bahwa su'udzon adalah: penilaian kita terhadap seseorang secara negatif; tanpa adanya bukti, dan; analisis yang bersifat subyektif. Sedang 'waspada' adalah: penilaian obyektif; didasarkan pada peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang kerap terjadi.

Hm, sepertinya cuma mudah untuk di-teorikan, ya? Namun, jika kita yakin Allah senantiasa bersama kita, maka kita bisa terhindar dari sikap su'udzon ini.

Hasbunallah wa ni'mal wakiil.

***

Salam hati-hati.

Cerita teman saya di sini: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/12/14/waspada-mempublikasi-acara-intern-di-media-sosial-506598.html
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, December 14, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!