Friday, December 14, 2012

ujungkelingking - Pepatah malu bertanya, sesat di jalan memiliki makna agar kita selalu (baca: tidak malu) untuk mencari informasi tentang apa yang kita tidak tahu. Proses mencari tahu ini bisa dilakukan dengan cara bertanya langsung kepada orang yang memang tahu tentang hal tersebut, atau bisa juga melalui buku-buku atau internet. Banyak sekali contoh-contoh hal buruk terjadi disebabkan karena ketidak-tahuan ini.

Islam telah menjelaskan tentang hal ini,
"Dan Kami tidak mengutus kamu, kecuali lelaki-lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada ahli dzikir* jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl: 43)

* Mengenai kenapa Al-Qur'an menggunakan istilah ahli dzikir pada ayat di atas, insya Allah akan kita bahas pada tulisan yang lain. Untuk sementara ini kita mengikut terjemahan dari Depag saja, yaitu diartikan sebagai 'orang yang memiliki ilmu pengetahuan'.

Proses bertanya, dalam banyak tempat disinonimkan sebagai proses belajar. Banyak belajar nyatanya memang berbanding lurus dengan banyak bertanya. Kita menyebutnya, kritis.  Dengan semakin banyak bertanya, diharapkan informasi yang diterima semakin banyak dan semakin pahamlah kita. Oleh karena itu bertanya dan belajar hendaknya kepada orang atau guru yang benar, dalam hal ini, orang yang mengerti tentang hal tersebut.

Namun masalahnya, dalam konteks kekinian, proses bertanya ini dilakukan bukan lagi untuk pembelajaran, namun lebih kepada mencari alasan untuk menghindari tugas atau pekerjaan tersebut.

Satu contoh yang masyur terabadikan di dalam Al-Qur'an adalah kisah Bani Israel yang diperintahkan untuk menyembelih seekor sapi betina. Namun karena keengganan dari Bani Israel untuk melaksanakan perintah tersebut, maka mereka mencari-cari alasan dengan kasratu 's-su'al (mengajukan banyak pertanyaan yang tidak penting).  Mereka bertanya bagaimana warnanya, usianya, dan keadaan sapi tersebut. Sehingga pada akhirnya, akibat dari pertanyaan-pertanyaan tersebut menyebabkan semakin bertambahlah kriteria yang dimaksud, dan menjadi beratlah tugas mereka. (Lihat Al-Baqaraah: 67-71)

Lalu bagaimana kita membedakan antara kritis dan kasratu 's-su'al?

Jawabannya tentu dari substansi pertanyaan itu sendiri. Atau dengan kata lain, 'apa yang ingin dicapai dari pertanyaan tersebut'. Jika memang pertanyaan itu mengharapkan informasi agar kita bisa melaksanakan perintah tersebut dengan benar, maka itulah kritis. Namun, jika berharap agar yang ditanya tidak mendapatkan jawaban (buntu), sehingga terbebas dari tuntutan pekerjaan, maka kita bisa menyebutnya sebagai kasratu 's-su'al. Dan sifat terakhir ini sangat dibenci oleh Allah subhanahu wa ta'ala.
"Sesungguhnya Allah meridlai kalian pada tiga hal dan membenci kalian pada tiga hal pula. Allah meridlai kalian: bila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya; serta berpegang teguh kepada tali (agama) Allah seluruhnya; dan janganlah kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian: bila kalian suka qiila wa qaala (berkata tanpa dasar: katanya, katanya); kasratu 's-su'al (banyak bertanya yang tidak bermanfaat); serta menyia-nyiakan harta." (diriwayatkan Muslim)
 
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, December 14, 2012
ujungkelingking - Dalam masyarakat kita dewasa ini, istri berkarir (baca: bekerja) tak lagi menjadi hal yang tabu dan aneh. Tentunya ada banyak faktor yang mendorong terciptanya situasi tersebut. Yang paling sering saya dengar adalah faktor ekonomi, dimana kebutuhan hidup yang kian hari kian menanjak sehingga “memaksa” orang untuk menciptakan sumber pendapatan baru. Salah satunya, ya, dengan suami dan istri bekerja kedua-duanya.

Sebagai seorang suami yang notabene adalah kepala keluarga tentu memiliki alasan yang cukup benar sehingga harus mempersilahkan istrinya bekerja juga. Sang istri juga harus memiliki batasan-batasan tatkala ia meninggalkan rumahnya untuk mencari penghasilan dan tetap bisa melakukan kewajibannya ketika kembali ke rumah.

Sang suami, terlepas dari penghasilan mana yang lebih besar, tetaplah memegang fungsinya sebagai kepala keluarga. Tidak terlalu menjadi masalah jika gaji sang istri lebih kecil atau cuma sebagai tambahan saja, namun bagaimana jika gaji istri mendominasi? Inilah yang jika sang istri tidak pandai menempatkan diri akan bisa memicu titik-titik api dalam rumah tangga. Stigma bahwa laki-laki harus menghidupi keluarganya, pastilah akan menumbuhkan gengsinya. Di titik inilah sang istri harus bisa memberi pengertian kepada suami bahwa tetap dirinyalah (suami) yang menjadi penentu setiap keputusan yang harus dibuat.

Kemarin sore, secara tak sengaja saya mendengar obrolan dua rekan kerja saya. Intinya adalah bahwa suami masing-masing tidak pernah mereka beri tahu berapa pastinya gaji mereka. Dan suami-suami mereka toh juga tidak pernah protes.

Timbul pertanyaan menggelitik, apakah seorang suami (memang) tidak ingin tahu berapa gaji istrinya?

Hehe…, suami -dalam pandangan subyektif saya- sebenarnya yang dia tahu adalah dia harus membiayai kehidupan keluarganya. Jika istrinya memiliki penghasilan, berapa pun itu, maka terserah sang istri mau dipakai untuk apa uang itu. Gengsi laki-laki itu tinggi. Mungkin itu sebabnya dia kurang suka jika untuk melakukan kewajibannya harus dibantu dengan gaji sang istri.

Namun seperti yang ditulis diawal, jika ekonomi yang menjadi faktor penyebab bolehnya istri bekerja, maka mau atau tidak mau, gengsi atau tidak, sang suami harus sedikit bersusah-payah untuk menurunkan egonya agar permasalahan ekonomi keluarga bisa teratasi.

Toh, itu juga untuk kebaikan bersama.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Friday, December 14, 2012

Monday, December 10, 2012

ujungkelingking - Kita sering mendengar ungkapan take and give. Biasa diartikan hak dan kewajiban atau menerima dan memberi.

Namun, ternyata ungkapan tersebut tidak terpakai di negara-negara lain. Di Amerika, misalnya, yang biasa dipakai adalah "give and take". Memberi dahulu, baru kemudian menerima. Melaksanakan kewajiban terlebih dulu, baru mendapatkan hak.

Secara kronologis hal tersebut tentu benar. Adalah salah besar jika kita bersikukuh menuntut hak, sementara terhadap kewajiban kita abai. Kita baru mau memberi ketika sudah menerima. Alangkah sempitnya hidup ini. Dan sudah barang tentu jika setiap kita mampu melaksanakan kewajiban dengan baik, maka secara otomatis dan tanpa perlu diminta pun, hak akan kita dapatkan. Jika kita sering memberi, maka sesering itu pula kita akan menerima.

Sebuah contoh klise, jika kita sebagai seorang pegawai maka kewajiban kita adalah bekerja dengan sebaik-baiknya dan membantu agar tujuan perusahaan tercapai. Sedang bagi sebuah perusahaan, maka kewajiban yang ada adalah menggaji pegawai dengan pantas. Jika dibalik, hak kita sebagai pegawai adalah mendapatkan upah, sedang hak bagi perusahaan adalah tercapainya tujuan mereka.

Jika kita hubungkan dengan aturan-aturan prinsip dalam Islam, maka inilah yang disebut dengan prinsip tawakkal. Lakukan yang menjadi bagian kita setelah itu serahkan hasilnya hanya kepada Allah.
"Dan memberinya rejeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusannya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (Ath-Thalaaq: 3)

Maka, usaha keras dan doa yang sungguh-sungguh bagi seorang Muslim adalah keharusan. Dan mengenai hasilnya -baik atau buruk- Allah-lah yang Maha Mengetahui apa-apa yang menjadi hak kita.

nb. Ditulis sebagai catatan pribadi
sebagai pengingat bagi penulis.
Bismillah,
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Monday, December 10, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!