Saturday, December 8, 2012

ujungkelingking - Bila kita mendengar istilah "salah pakai" atau "salah tempat", maka yang menjadi asumsi kita bahwa hal tersebut adalah hal yang salah, tidak benar, bisa juga memalukan dan membahayakan. Jadi, meskipun pada dasarnya hal tersebut adalah hal yang baik, namun jika salah kita dalam memakai dan menempatkannya maka hal tersebut bisa menjadi buruk.

Begitu juga dalam menerima dalil-dalil agama.

Islam adalah agama universal. Artinya penganut-penganutnya dari semua strata. Bisa orang-orang miskin atau orang kaya dan berpangkat, bisa rakyat biasa atau pemerintah, bisa laki-laki dan perempuan. Nah, ketika salah kita menempatkan dalilnya, akan menjadi salah pula dalam pentafsirannya. Ini yang kemudian mengkhawatirkan.

Ambil contoh sederhana, misalnya hadits yang menyebutkan bahwa senyum itu bisa menjadi sedekah,

"Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu." (Riwayat Tirmidzi) 

Menilik asbabu 'l-wurudh-nya (sebab-sebab turunnya hadits), hadits ini adalah untuk menjawab keluhan-keluhan shahabat yang gelisah ketika ingin bersedekah namun tidak memiliki kecukupan harta. Karena itu jika hadits ini diterapkan dan dijadikan pegangan oleh orang-orang yang memiliki kelebihan harta tentu tidak akan bisa menghasilkan impact yang diinginkan. Daripada menyedekahkan sebagian hartanya, tentu akan lebih "murah" menyedekahkan senyumannya. Padahal tidak demikian maksudnya.

Contoh lain, misalnya dalil tentang birru 'l-walidain (berbuat baik kepada kedua orangtua). Dalil-dalil yang seperti ini tentu lebih tepat bila dibaca oleh sang anak. Bila orangtua yang memakainya, bisa jadi dalil tersebut digunakan secara tidak bertanggung jawab. Eksploitasi, misalnya.

Dan tentu banyak lagi contohnya. Lalu bagaimana cara kita untuk menerima dalil-dalil semacam itu?


Berlaku adil adalah keharusan setiap Muslim

"...berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa..." (Al-Maaidah: 8)

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan..." (An-Nahl: 90)

Bahwa semua perintah dan larangan dalam Islam adalah baik, itu benar. Namun jangan lupa, agama ini juga mengajarkan untuk senantiasa berlaku adil. Adil adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, dan merupakan antonim dari dlolim. Dengan ini, seorang Muslim memiliki kecakapan untuk menempatkan diri dan beribadah sesuai dengan kapasitasnya.

Adil juga didefinisikan sebagai sikap pertengahan. Yaitu dalam menerima dalil (baca: hukum agama), kita tidak terjebak diantara dua kesalahan sikap ini: sikap meremehkan, dan; sikap melebih-lebihkan.

Meremehkan berarti menganggap biasa dan mengurangi antusiasme dalam melaksanakan ibadah, sehingga pada dalil yang menunjukkan hukum sunnah, diamalkan sebagai hal yang "seolah-olah" mubah saja. Sedang sikap melebih-lebihkan adalah bersikap terlalu ekstrim, sehingga yang seharusnya bisa dihukumi sunnah, dianggap sebagai amalan wajib yang karenanya jika tidak dilakukan menjadi berdosa.

Seorang Muslim harusnya seorang yang cerdas. Dikarunikan akal kepadanya agar dia bisa berhukum dengan akalnya (dalil aqli), namun tetap harus selaras dengan nash-nash Al-Qur'an dan hadits (dalil naqli).

Wallahu a'laam.
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, December 08, 2012

Tuesday, December 4, 2012

ujungkelingking - Putra pertama kami, Zaki, sekarang punya kesenangan baru. Dia suka sekali merekam dengan hape punya ibunya. Dengan fasilitas voice recorder ia merekam apapun, entah itu nyanyinya, tertawanya, atau celotehannya yang ndak ada di kamus manapun.

Namun ada satu kejadian yang membuat saya tergelak ketika istri saya menceritakannya kepada saya. Kejadiannya terjadi beberapa hari yang lalu...

Saat itu istri saya hendak sholat Dhuhur. Si bungsu sedang terlelap, sedangkan kakaknya masih sibuk bermain-main sendiri. Sebelum sholat istri saya berpesan kepadanya untuk tidak naik ke atas kursi. Memang kami ada kursi kecil yang biasanya dinaiki anak kami untuk mengambil sesuatu di atas bufet. Kami memang jarang sekali melarang anak kami untuk -istilah saya- mengeksplorasi segala yang ada di ruangan. Hanya saja selalu dalam pengawasan saya atau ibunya.

Setelah berpesan begitu dan memastikan bahwa si sulung paham perintahnya, maka mulailah istri saya sholat.

Rakaat pertama..., rakaat kedua..., aman-aman saja. Namun menginjak rakaat ketiga terdengar bunyi kursi jatuh disusul kemudian tangisan anak kami. Ya, anak kami jatuh dari kursi! Istri saya mulai pecah konsentrasinya. Membatalkan sholat, atau teruskan saja? Tangisan anak kami semakin keras terdengar.

"Sakiitt, sakiitt... tolong, tolong..."

Istri saya semakin bingung. Akhirnya sholat dipercepat, sambil berdo'a mudah-mudahan tidak ada luka serius.

Selesai sholat, istri saya langsung menghampiri anak kami. Anda tahu apa yang dilihat istri saya?

Anak kami dalam posisi telungkup di lantai, masih menangis sesenggukan, sambil hape dengan kondisi "recording ON" berada tepat di depan bibirnya. Lalu dengan tampang innocent-nya, dimatikan perekamnya, kemudian diputar lagi. Sambil tersenyum mendengar suara tangisannya sendiri.

*Gubrakkk!
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Tuesday, December 04, 2012

Saturday, December 1, 2012

ujungkelingking - Dalam Al-Qur'an, surah Al-Anfaal ayat 65, Allah subhanahu wa ta'alaa berfirman:


يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَفْقَهُونَ

 "Hai, Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada duapuluh orang yang sabar diantara kami, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti." (Al-Anfaal: 65)

Ini menarik.

Secara ringkas, ayat di atas menyebut bahwa 20 orang yang sabar dapat mengalahkan 200 orang kafir, dan 100 orang yang sabar mampu mengalahkan 1.000 orang kafir. Secara matematis bisa kita katakan perbandingan untuk keduanya adalah 1:10.

Nah, pertanyaannya adalah, kenapa Al-Qur'an tidak langsung saja menyebut "satu orang yang sabar bisa mengalahkan sepuluh orang kafir"?

***

Jawabannya tentu rasional. Karena memang cukup mustahil bila satu orang melawan sepuluh orang sekaligus. Akan tetapi -ini yang tadi saya katakan menarik- menjadi bukan mustahil jika 20 orang bisa mengalahkan 200 orang. Kuncinya ada pada, team-work.

Satu orang bisa saja kewalahan melawan sepuluh orang. Namun dengan kerja-sama yang solid, strategi yang apik dari hanya beberapa orang akan mampu mengalahkan jumlah yang jauh lebih besar. Sejarah banyak berbicara tentang ini.

Dengan kerja-sama banyak hal yang tidak mungkin dilakukan menjadi mungkin saja terjadi. Sama seperti filosofi sapu lidi, dengan bekerja dalam tim, kelemahan bisa menjadi kekuatan yang diperhitungkan.

Dalam konteks makro, kerja-sama ini bisa diartikan dengan banyak hal. Dalam kehidupan bernegara misalnya, kerja-sama bisa dimaknai sebagai hubungan yang terintegrasi antara pemimpin, pemegang kekuasaan, penasehat (ulama), dan rakyat biasa. Dalam hal pekerjaan, bekerja-sama berarti saling melengkapi antara atasan, operator dan sesama rekan kerja.

Namun, yang tetap penting untuk digaris bawahi sebagaimana judul tulisan ini bahwa kerja-sama itu haruslah dalam hal yang bersifat kebaikan.

"... Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya." (Al-Maaidah: 2)
Written by: Pri Enamsatutujuh
UJUNGKELINGKING, at Saturday, December 01, 2012

Popular Posts

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!